4.06.2014

Duwit ng njero batik


From: <syauqiyahya@gmail.com>


Suap di Kepolisian: Upeti Dolar Dalam Batik Sutra

BUDI ALIMUDDIN - Harian detik

Jakarta - "Untuk reformasi polisi harus dimulai dengan bidang pendidikan. Tapi sudah menjadi rahasia umum untuk masuk pendidikan Polri di semua tingkatan, dari tamtama sampai Sespati, calon harus membayar pungli. Dan di zaman reformasi bukannya mereda bahkan makin ganas seakan-akan sudah membudaya."

Kalimat itu ditulis Inspetur Jenderal Ursinus Elias Medellu, yang dikenal sebagai peletak dasar pada 17 Februari 2002. Surat ia tujukan kepada Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar.

Tak jelas benar apa respons Da'i. Juga para kepala polisi sesudahnya, hingga kini. Yang pasti, Jumat siang pekan lalu, terbetik kabar bahwa dua perwira polri ditangkap karena membawa uang tunai Rp 200 juta. Keduanya diduga akan menyuap seorang petinggi di Mabes Polri demi meraih jabatan atau pangkat tertentu.

Kabar itu beberapa hari kemudian sedikit benderang, dengan penyebutan inisial kedua perwira, yakni Ajun Komisaris Besar ES (Edi Suroso) dari Polda Jawa Tengah dan Komisaris JAP (Juang Abdi Purwanto) dari Polda Metro Jaya.

"Tujuan yang bersangkutan, masih berkelit mau ke sana mau ke sini. Tidak jelas, karena di lantai 1 saat mau masuk lift yang bersangkutan langsung diperiksa petugas," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Ronny F. Sompie, Selasa.

Soal kemungkinan uang itu untuk menyuap pejabat di bagian sumber daya manusia, Sompie berkelit, "Itu yang tengah didalami Dit Tipikor Bareskrim Polri."

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane menyatakan tradisi jual beli jabatan di lingkungan kepolisian sudah mendarah daging. Sejak proses perekrutan untuk tingkat brigadir, atau akademi kepolisian di tingkat perwira bau amis suap-menyuap itu sudah tercium.

Ia mengaku punya pengalaman tentang hal ini. Saat tengah asyik menyantap nasi goreng usai melakukan kunjungan ke Boyolali, Jawa Timur beberapa waktu lalu, tiba-tiba si tukang nasi goreng menghampiri. Rupanya di mengenali dirinya sebagai aktivis yang kerap bicara soal kepolisian sehingga dianggap punya banyak relasi.

"Bapak itu minta saya memasukkan anaknya jadi anggota polisi, dia siap menyiapkan dana yang dibutuhkan, dengan cara menjual sawahnya untuk menyogok panitia," ucapnya.

Modus-modus jual beli jabatan di kepolisian kata dia tak hanya melulu dengan transaksi uang. Penelusuran IPW di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri, mengungkapkan, jual beli jabatan sudah menjadi tradisi. Bahkan di tingkat perwira menengah, bila ingin mendapat promosi kepangkatan atau jabatan struktural strategis biasanya menggunakan teknik "masuk melalui dapur" si atasan.

Temuan lain, kata Neta, setiap perwira yang ingin lulus saat menempuh pendidikan di Sespim (sekolah staf pimpinan), biasanya dimintai upeti berupa batik oleh para seniornya. Ketika batik diserahkan, di dalamnya sudah diselipkan sejumlah uang.

"Kalau senior meminta batik sutra berarti di dalam batik harus ada uang dollar," paparnya. Tentu saja tradisi suap atau sogok semacam ini, kata Neta, tak pernah diakui oleh kepolisian.

Seorang perwira menengah yang bertugas di salah kota provinsi di bagian timur Pulau Sumatera meneguhkan pernyataan Neta. Si perwira lulusan Akademi Kepolisian 1991, sebut saja Sony, mengaku pernah memberikan sesuatu kepada para atasan terkait agar meraih dua melati di pundaknya.

Hal itu ia tempuh karena sudah 10 tahun lamanya, melati di pundak tak pernah bertambah. Padahal untuk perwira seusianya, seharusnya ia sudah menyandang tiga melati di pundak atau Komisaris Besar alias Kolonel.

Tapi karena 'oleh-oleh' yang diberikan alakadarnya, Sony pun tak mendapatkan posisi puncak di suatu daerah tapi cuma sebagai orang kedua. "Ya karena dana yang disetor seadanya, jabatan yang diberikan pun bukan yang seharusnya," ujar Sony.

Sejak menjadi Inspektur Satu sampai Kapten, Sony mengaku tak pernah menghadapi masalah sehingga kenaikan pangkat atau promosi jabatan berjalan lancar-lancar saja. Tetapi begitu akan naik menjadi mayor, ia mengaku para atasan terkait melontarkan isyarat-isyarat tertentu kepadanya bila hendak mengikuti pendidikan agar naik pangkat.

"Setelah kita bereskan di kesatuan, eh di tingkat Polda begitu juga," ujarnya. Meski akhirnya lulus dan meraih satu melati di pundak, ia harus mematrinya hingga 10 tahun. Sebab dirinya dianggap tak bisa diajak kerja sama sehingga merugikan para koleganya di kesatuan. Selain itu, Sony mengaku kerap berseberangan pendapat dengan atasannya.

Kembali ke kasus penangkapan dua perwira di Mabes Polri, si penangkap disebut-sebut adalah penyidik yang pernah bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Neta sempat memuji langkah tersebut, dan menunjukkan polisi alumnus KPK menunjukkan kelasnya tersendiri. Tapi Komisioner KPK yang juga pernah menjabat Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), Adnan Pandu Praja punya pendapat bereda.

Ia menyatakan sebagian mantan penyidik KPK yang kembali ke Polri biasanya memang mendapat promosi jabatan dan tugas-tugas strategis. Tapi integritas mereka sangat mungkin kembali tergerus oleh kultur institusi kepolisian yang belum mampu mereformasi diri. "Integritas sebagian mereka tinggal kenangan," ujarnya.

Adnan malah mensinyalir ada sebagian polisi yang ditugaskan untuk menjadi penyidik di KPK, snegajah menjatuhkan diri agar tak lulus seleksi. Padahal mereka punya kompetensi tinggi dan rekam jejak bagus. Tapi karena terbiasa bekerja dalam lingkungan yang longgar dalam menerapkan integritas, mereka menjadi tidak nyaman jika harus di KPK yang ketat. "Saya enam tahun di Kompolnas, saya tahu betul seluk-beluk dan kultur di Polri," ucapnya.
Andri Haryanto | Arif Arianto | Budi Alimuddin
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar