4.09.2014

PDIP dan Perkara "Politik Ingatan"


From: dewanto


Karena mustahil saya memilih Gerindra dan Hanura atas keterlibatan para pemimpinnya pada kasus-kasus kejahatan HAM di masa lalu, bisakah saya memberi cek kosong kepada PDIP hanya karena faktor Jokowi?

PDIP, hampir dalam semua survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang punya kredibilitas, ditempatkan sebagai kandidat terkuat sebagai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 ini. Ini kabar baik karena, sampai batas tertentu, memastikan partai-partai yang dipimpin orang-orang yang bermasalah dengan isu HAM tidak akan menjadi mayoritas di parlemen.

Pertanyaannya kemudian: benarkah PDIP, kandidat terkuat pemenang Pileg 2014 ini, juga tanpa cela dalam soal HAM ini?

Terkait isu HAM ini, yang hampir semuanya diarahkan pada Gerindra dengan Prabowo-nya dan Hanura dengan Wiranto-nya, agak sedih juga melihat bagaimana "politik ingatan" bekerja dengan tebang pilih.

Selama masa kampanye kemarin, PDIP dan Megawati bukannya tak menerima serangan balik sama sekali. Daftar dan jumlah kader PDIP yang melakukan korupsi beredar dalam berbagai medium. PDIP terutama hampir kesulitan dan sesak napas untuk menjawab serangan terkait penjualan aset-aset negara di era kepemimpinan Megawati sebagai presiden (2001-2004) dan di era di mana PDIP berkuasa di parlemen dengan 154 kursi.

Tapi tidak banyak pembicaraan mengenai persoalan HAM di masa ketika Mega dan PDIP berkuasa. Isu ini sedikit sekali diarahkan pada PDIP, mungkin karena isu HAM ini "tali kekang wacananya" sedang berada di genggaman simpatisan PDIP atau simpatisan Jokowi yang rajin mempertanyakan kejahatan-kejahatan HAM yang terkait Prabowo dan Wiranto.

Hampir tidak ada yang berbicara bagaimana rezim Megawati dan PDIP pada Mei 2003 mengeluarkan beleid (Inpres) yang menyatakan Aceh sebagai daerah darurat militer.

Beleid ini dikeluarkan oleh presiden yang pada saat partainya (PDIP) menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan raihan suara 33% -- raihan yang tak pernah lagi dapat diraih partai mana pun selama Orde Reformasi -- membacakan pidato politik yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Cut Nyak yang "tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong".

Beleid itu dikeluarkan karena Mega menganggap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tak segera menjawab satu-satunya tawaran yang diberikan yaitu otonomi khusus. Pihak GAM menganggap tawaran itu tak membuka ruang negosiasi yang cukup dan menganggapnya tak lebih seperti status daerah istimewa sebagaimana yang sudah disandang Aceh berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pidato itu diutarakan pada 30 Juli 1999. Beberapa sumber yang saya baca menyebutkan Mega mengucapkan pidato itu sambil mengisakkan air mata.

Dua tahun 10 bulan kemudian, "Cut Nya" yang sama ini, yang berjanji tak akan menumpahkan darah rakyat Aceh sembari menitikkan air mata, memerintahkan operasi militer terbesar sepanjang sejarah Orde Reformasi dan disebut-sebut yang terbesar setelah Operasi Seroja di Timor Leste pada 1975: sekitar 40 ribu pasukan (mayoritas tentara, sisanya polisi) dikirim ke Aceh mengejar para kombatan GAM. 

Cerita yang sama dengan yang dilakukan Orde Soeharto terjadi: darah kembali tumpah, tak hanya para kombatan, tapi juga rakyat sipil tak berdosa.

Tidak ada satu pun para aktivis yang diculik dan mengalami berbagai intimidasi selama menggelar perlawanan terhadap Soeharto bisa membayangkan bahwa orde yang mereka ikut dirikan akan mengambil kebijakan yang sama berdarahnya dengan Orde Baru.

Di situ ada janji yang diingkari, ada pidato penuh air mata yang tumpah dengan sia-sia.

Lalu mestikah kita lupakan bagaimana PDIP (tentu saja atas restu dan sepengetahuan Megawati) memutuskan mendukung Sutiyoso dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2002? Ya, orang yang selama ini dianggap sebagai salah satu yang mesti bertanggungjawab untuk peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996, saat itu Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya, justru diberi karpet merah untuk berkuasa di jantung Indonesia.

Mencoba berdamai dengan masa lalu, dalam hal ini peristiwa 27 Juli 1996, sampai batas tertentu dan dengan argumentasi yang didesak-desakkan mungkin saja menjadi hal yang bisa diterima. Tapi mendukung orang yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa itu adalah hal yang sangat berbeda dan nyaris tak bisa diterima akal sehat.

Jangan lupa juga bagaimana tokoh Papua non-kombatan, yang berjuang di podium-podium demokrasi dan bukan mengokang senapan di hutan-hutan Puncak Jaya, Theys Eluay, juga tewas pada 11 November 2001. Itu adalah bulan-bulan pertama kekuasaan Megawati setelah mengambilalihnya dari Gus Dur yang dijatuhkan.

Lalu Munir? Pemberani yang mengorbankan banyak hal dalam hidupnya untuk kepentingan banyak orang ini juga terbunuh saat Mega masih berkuasa, pada 7 September 2004, 1,5 bulan sebelum Istana berpindah tangan ke SBY.

Hitung saja berapa jenderal-jenderal Orde Baru yang diakomodasi oleh Megawati dan PDIP pada fase keemasan mereka ini. Hendropriyono, yang jejaknya dalam menumpahkan darah rakyat sipil di Talangsari, juga mendapat tempat yang baik di rezim PDIP dan Mega.

Jika benar Munir dibunuh oleh BIN, bukan hal yang kelewat mengada-ada bukan jika kita menyalahkan Megawati yang membiarkan nama-nama seperti Hendropriyono (yang terang terlibat dalam peristiwa berdarah di Talangsari) masih dapat posisi strategis di Orde Reformasi?

****

Memastikan kepemimpinan negara ini tidak jatuh pada pribadi-pribadi yang pernah menganggap enteng nyawa manusia adalah hal penting. Tapi memastikan PDIP tak akan mengulangi hal yang sama dan berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM juga sama pentingnya.

Setiap orang bisa berubah, setiap partai bisa berubah menjadi lebih baik. Tentu saja itu benar, tapi untuk kasus dunia politik Indonesia, kita bisa belajar terus menerus untuk tak memberi cek kosong. Jika memang berubah, bagaimana itu dilakukan? Apa yang akan diperbuat? Kita tak mendengar jawaban yang meyakinkan.

Aceh sudah jauh lebih baik sekarang. Tapi Papua masih jauh dari reda. Kasus-kasus kekerasan masih berlanjut. Dengan "waham NKRI ala Megawati", salahkah jika ada yang meminta standing point jelas dari Megawati dan PDIP bahwa tak akan ada lagi Theys Eluay? Apakah "jenderal berdarah panas" seperti Ryamizard Ryacudu masih akan dapat tempat (saya tak akan lupa ekspresi Ryamizard saat berbicara tentang Aceh)?

Menilik bagaimana Sutiyoso dan jenderal-jenderal Orde Baru dulu diberi karpet merah oleh PDIP, salahkah jika sebelum 9 April ini kita menagih kejelasan sikap PDIP untuk tak mengulanginya lagi?

Melihat bagaimana PDIP dan Megawati memperlakukan Sutiyoso yang tersangkut kasus penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996, salahkah kalau kita cemas bahwa kasus Munir juga tak akan pernah jadi apa-apa di era Megawati/Jokowi dan PDIP nantinya?

Menilik bagaimana Mega dan PDIP membiarkan jenderal yang sudah jelas menumpahkan darah sipil tetap berkuasa di BIN, apakah ada janji dari Mega dan PDIP untuk memastikan lembaga-lembaga angker seperti BIN tak akan lagi diduduki oleh orang-orang yang bermasalah dan punya rekam jejak buruk?

Bisakah Anda mengejar-ngejar Prabowo dan Wiranto untuk kekerasan-kekerasan yang terjadi saat mereka menjadi pemimpin militer tapi melupakan begitu saja kekerasan terhadap Aceh pada 2003, Theys pada 2001, atau berdamai begitu saja dengan korban-korban 27 Juli 1996? Adakah korban yang satu lebih penting dari yang lain? Seperti apa peringkat korban itu disusun? Atau bagaimana?

Saya tidak percaya teman-teman saya yang sekarang, dengan alasan yang masuk akal, memilih mengkampanyekan Jokowi itu, sudah lupa dengan handicap-handicap kelam yang lahir pada rezim Mega dan PDIP. Saya percaya mereka tak melupakannya. Mereka tidak lupa dengan kasus itu.

Hanya saja, mungkin, kali ini izinkan saya sedikit berprasangka buruk, mereka hanya sedang mencoba menyusun skala prioritas.

Tapi bagaimana skala prioritas harus disusun dalam praktik "politik ingatan"? Semacam menyusun loker-loker ingatan, di mana ingatan ini ditaruh di loker depan dan ingatan yang lain disimpan di loker belakang? Tidakkah ini semacam praktik penyuntingan terhadap ingatan dan kekerasan terhadap ingatan?

Bolehkah kita, demi mencegah orang-orang yang pernah menganggap enteng nyawa manusia menjadi presiden, mempraktikkan "politik ingatan" yang seperti ini?

Ini bukan tentang prasangka buruk. Tapi ini tentang serangkaian preseden buruk yang pernah terjadi. Kecemasan itu tak berpangkal dari prasangka, tapi dari preseden yang punya pijakan faktualnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar