4.19.2014

Apik iki



Sabtu, 19 April 2014 | 13:03 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com -- Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Bachtiar Effendi, menyayangkan kecenderungan partai berbasis massa Islam yang kerap berkoalisi dengan partai nasionalis. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa partai Islam tidak percaya diri dengan kekuatan yang mereka miliki.

"Ini ironisnya, partai Islam merasa Islam itu penting, tapi tidak pede. Maunya mendukung partai lain. Sekarang PPP sudah bergabung dengan Gerindra, PKS mau bergabung dengan Golkar, PKB mau merapat ke PDI-P. Untuk apa?" kata Bachtiar dalam diskusi bertajuk "Membaca Arah Politik Islam" di Jakarta, Sabtu (19/4/2014).

Bachtiar menyoroti PKB yang memiliki suara cukup tinggi dalam pemilu legislatif kemarin. Berdasarkan hasil hitung cepat pileg dari berbagai lembaga, PKB diperkirakan mendapat suara sekitar 9 persen, sementara parpol Islam lain paling besar hanya mendapatkan sekitar 6 persen.

"Saya tidak tahu kenapa Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) tidak pede. Kenapa dia tidak memelopori koalisi partai Islam. Padahal PKB bisa mengajukan calon presiden kalau koalisi. Tidak harus Muhaimin, (tetapi) bisa Mahfud, bisa Rhoma, atau orang lain," ujarnya.

Padahal, lanjut Bachtiar, nantinya koalisi yang dibentuk tidak selalu harus menang. Jika kalah pun, menurutnya, koalisi parpol Islam masih bisa mendapatkan banyak keuntungan. Sistem politik di Indonesia memungkinkan hal itu.

"Politik di Indonesia sistemnya tidak winner takes all, (tetapi) pasti dapat sesuatu walaupun kalah. Kenapa tidak koalisi saja? Kalau kalah dalam koalisi pilpres, bisa koalisi lagi dengan yang menang. Tidak masalah," ujarnya.

Jika terus tak percaya diri dan mengandalkan koalisi dengan partai nasionalis, dia khawatir, nasib partai Islam tak akan pernah berubah ke depannya.

"Partai Islam hanya akan terus menjadi pelengkap politik, tidak akan pernah penting sebagai sejarah politik Indonesia. Tidak akan jadi partai besar," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar