1.29.2020

Ayam yang bagus

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.28.2020

Ornate Flying Snake of the Western Ghats!

The Reptilian Ornament!
Ornate Flying Snake of the Western Ghats!

Ornate Flying Snake is the most widely distributed Chrysopelea species
found in many countries of Oriental region. In India its distribution is in
patched form and regularly sighted in Western Ghats, whole of North-east
region, few parts of Central India and Gujarat. Due to colorful and
attractive morphology this species is exploited by snake charmers of West
Bengal and Odisha.

Photo by @avinashrn
.
.
.
.
. .
.
.
.
.
.
@repost @wildkarnataka
#indiansnakes #snakesofindia #reptilesofIndia #snakesofinstagram
#wildlifeonearth #wildlifeowners #wildlifephotography #indianwildlife
#seewildlife #destination_wild #ourwildlifedays#wildglobe #natgeowild
#igscwildlife #animalelite #exclusive_wildlife #ornateflyingsnake
#westernghats #wildworldfriend #wildlifeplanet #wildlifefriend
#animal_sultans#indianphotography #i_hobbygraphy #yourshot_india
#featured_wildlife #indian_wildlifes #world_bestanimal #splendid_animal
@animalplanetindia @lonelyplanetind

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Menyemangati

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Icip

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.27.2020

Makan nebeng

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Telur

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

What a wonderful perspective of the social scalloped hammerhead

What a wonderful perspective of the social scalloped hammerhead...very
rarely do you see them doing their thing at the surface and this pic makes
you feel like your following in behind 💥 found via @diveasy pic by
@real_life_is_underwater
#shark #sharks

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Trump

Disini ada yg ngitung juga kah?

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Gelada monkey

Gelada monkey alpha male sending a clear warning signal to an approaching
gang of bachelors, letting them know that he is willing to defend his
females 📸 by @mogenstrolle
#wildestafrica



Click the link in our bio for amazing wildlife sightings from the wildest
places on earth! Don't forget to subscribe 😁

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Miung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.26.2020

Buaya ketangkap

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.25.2020

Anjing barongsay

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Saber tooth

How do we know so much about Smilodon (Saber tooth)? The saber tooth has
been extinct for roughly 10,000 years now. We know so much about them
because of the bones and fossils found in California in the La Brea Tar
Pits! This is a paleontologists dream come true. So many Smilodons have
been caught and preserved in this area.
Scientists have been able to study fully preserved skulls, their blade like
teeth, and a variety of other bones that help us to piece together how
large this animal could get! Many scientists believe they could be over
1,100 pounds!
Photo via BBC
#Smilodon #Sabertooth #SWRExtinctFiles #ShizzysWildcatRescue

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.22.2020

Koki nya merumput

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Anti nyamuk

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.20.2020

Ikannya punya sayap

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Rumput nya bagus banget

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

The Red Eye Ballon Tetra

The Red Eye Ballon Tetra 🔥🔥🔥 📷 @underwaterscapes

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.19.2020

Cocookk

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Kurang gede

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Cuzzzz

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.18.2020

Siripnya panjang banget

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Discus

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.17.2020

Aksi bagus

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Istri jujur

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Gurita

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.16.2020

Putsa

Buah putsa atau apel india yang bersemangat.
.
.
.
#putsa #apelundia #tanamputsa

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.15.2020

Pinguin

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.14.2020

Saling membunuh

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.13.2020

Ice Fishing

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Kasihan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Mau

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

an orange-throat pike blenny

Have you ever seen an orange-throat pike blenny? Neither have I… 😳 This
one here is a male! It can be identified by its bright orange coloration,
while on the other hand, females are a consistent light brown color! These
guys are indigenous to the waters of Mexico and are commonly distributed
throughout the aquarium hobby! ——
➡️ Tag a friend who needs to see this!! ➡️ Follow @topqualityaquatics for
more! 🐠
——
📢 Turn On My Post Notifications To Stay Updated With All of My Latest
Content! ↗️
——
📸: @newlifespectrum 💎




————————————————————————————
#reeftank #marinebiology #aquarium #tropicalfish #saltwaterfish

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.12.2020

Dolanan doro

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Mancing karangan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.11.2020

Gede banget

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Lambat

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.10.2020

Goreng pasir

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Jump

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Sarang ikan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Adu jago

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Nah

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Aquarium pembatas ruang

--
Sent from myMail for Android

1.09.2020

Disambar

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Perangkap ikan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.08.2020

Nasi uduk

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.07.2020

1.06.2020

Gede

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Cina knapa ya banyak banget bikin vidio ginian..??

Cina knapa ya banyak banget bikin vidio ginian..??

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Nak nan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Kapok

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.04.2020

1.03.2020

Bakpia kukus yg rasanya bukan bakpia

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Jabrik

Kura-kura dari sungai Mary, Queensland, Australia

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Ngasih makan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Petasan monster

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Makan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 340

@bende mataram@
Bagian 340

Maka tak mengherankan, begitu kena cempuling, binatang itu kaget setengah
mati. Mengira ia kena marah majikannya, terus saja melesat membabi buta.
Tak mau lagi ia mengambil jalan besar. Sebaliknya, menerjang sawah dan
ladang dan larinya kian nubras-nubras sejadi-jadinya. Untung, Sangaji kini
bukan Sangaji satu tahun yang lampau. Ilmu saktinya sudah hampir mencapai
suatu tataran kesempurnaan. Dengan tangkas ia menjepit kudanya dengan kedua
kakinya sambil mulutnya membujuk halus. Tangannya menepuk-nepuk lembut. Dan
sejenak kemudian, Willem kena dikuasainya lagi. Tetapi bayangan kedua guru
dan paman-paman gurunya telah lenyap dari penglihatan. Perlahan-lahan ia
mengarahkan Willem mengambil jalan besar. Di dekat pengempangan sawah, ia
turun dan memeriksa paha Willem. Ternyata binatang itu tiada luka. Terang
gurunya tadi tidak bermaksud menyakiti Willem. Karena itu ia sangat masgul.
Di dalam hati, ia menyesali diri sendiri yang perlu diperlakukan demikian
oleh gurunya. "Guru sangat kasih kepadaku." Ia berkata di dalam hati.
Melihat hatiku lemah ia terpaksa melakukan suatu hal yang bertentangan
dengan kemampuannya sendiri. Tak terasa ia menghela napas. Mau ia melompat
ke atas kudanya lagi, tiba-tiba terdengarlah suatu suara gemeresek. Ia kini
memiliki pancaindera yang luar biasa tajam. Dahulu saja, pendengarannya
bisa menangkap napas Fatimah yang menggeletak di antara tebing sungai. Kali
inipun demikian pula. Ia menoleh cepat. Dan berbareng dengan itu, ia
mendengar suara menggeru. "Hai tolol! Kau ini memang benar-benar anak
siluman! Sudah kutunggu sekian lamanya, masih juga kau tak mau datang?
Dasar laki-laki. Apa kubilang dulu? Semua laki-laki seluruh dunia ini
memang busuk!" Sangaji melengak. Itulah Fatimah, gadis angin-anginan yang
kini sudah sembuh kembali seperti sediakala, duduk berjuntai di tepi
pengempangan sawah. Tubuhnya terlindung rumpun padi setinggi kanak-kanak,
karena itu tidak segera tampak. "Kau sudah berada di sini sepagi ini?"
Sangaji heran menebak-nebak. "Kau ini gendeng, berpura-pura tak tahu atau
tolol?" Teringat akan watak Fatimah, Sangaji segera bersedia meladeni. Maka
ia menjawab menyenangkan. "Aku memang tolol." "Ia, kau memang tolol," sahut
Fatimah cepat. Mendadak suaranya meninggi. "Hai! Masih saja kau tak
mendekat? Benar-benar kau anak siluman!" Seperti kanak-kanak takut kena
gablok, Sangaji menghampiri terbata-bata. Kalau menuruti hatinya, mau ia
tersenyum geli. Tapi terhadap gadis angin-anginan itu, tak berani ia
berbuat begitu. Hatinya terlalu mulia, sehingga takut akan menyakitkan
hatinya. "Aku tahu, kau bakal pergi. Karena itu aku menghadang di sini. Dan
kulihat penyakit gendengmu kumat lagi. Masakan kau membiarkan kudamu lari
menubras-nubras sawah? Sawah siapa yang kau rusak tadi? Memangnya kau ini
tuan besar? Iddiiih ... tak tahu malu." Tak berani Sangaji menerangkan apa
sebab kudanya sampai lari menubras-nubras. Ia malu kepada dirinya sendiri.
Ia mencoba, "Guru dan paman-paman guru hanya sampai di perbatasan lembah
dan selanjutnya aku akan meneruskan perjalanan seorang diri." "Kau tak usah
ngomong perkara tetek-bengek. Dahulu hari kau pernah bilang ibumu mirip
aku. Apakah kau terkenang ibumu?" "Tentu." Sahut Sangaji cepat sambil duduk
di sampingnya. "Hanya saja kau lebih cantik." "Ih! Kau ini memang anak
siluman. Memangnya aku cantik?" "Ya. Kau cantik." "Ibumu sudah tua. Kenapa
kau persamakan dengan aku?" "Aku bilang kau lebih cantik," Sangaji gugup.
Fatimah melengos. Tiba-tiba berkata, "Kau mau kuracuni tidak? Bilang!"
Peralihan pembicaraan itu bukan main cepatnya, sampai Sangaji jadi
kelabakan. Dasar ia tak pandai berbicara, maka tak pandai pula
menggerayangi hati gadis angin-anginan itu dengan cepat. "Racun bagaimana?"
ia minta keterangan. "Racun ya racun. Kau mau tidak?" potong Fatimah. Belum
lagi Sangaji bisa menebak, gadis itu mengeluarkan sebuah mangga muda.
Berkata, "Dahulu hari kau menggeletak di tanah seperti siluman sekarat.
Tapi aku senang, karena kau mau menggerogoti manggaku. Tadinya kau takut,
jangan-jangan mangga itu kuracuni. Kenapa kau akhirnya mau menerima
pemberianku?" Diingatkan perkara mangga itu, teringatlah Sangaji pada waktu
kena cekik Bagas Wilatikta. Itulah yang pertama kalinya ia berkenalan
dengan Fatimah. Maka setelah melongong sejenak, ia menjawab: "Kalau tak
salah ... bukankah engkau sudah memakannya sebagian?" "Bagus!" Fatimah
bergembira. Terus ia menggerogoti mangga itu sebagian. Kemudian diberikan
kepada Sangaji seraya berkata, "Sekarang kau berani makan mangga ini tidak?
Awas, kali ini benar-benar ada racunnya." Sangaji terhenyak kalau menuruti
hati sudah barang tentu ia akan menolak pemberian itu. Tetapi hatinya
sedang pepat. Lagi pula, semenjak pertemuannya dahulu ia tertarik kepada
sepak-terjang Fatimah yang lucu dan tak terduga-duga. Maka dengan lapang
hati, ia menerima pemberian itu. Ia tahu, gadis itu cuma menggertak. Tetapi
andaikata benar-benar beracun betapapun takkan bisa mengatakan dia. Sebab
kecuali ilmu kepandaiannya kini sudah hampir mencapai puncak kesampurnan,
kesaktian getah Dewadaru membuat tubuhnya tak mempan dari segala bisa dan
racun. "Darimana kau memperoleh mangga ini?" Sangaji bertanya iseng sambil
menggerumuti mangga. "Dari mencuri atau membegal, kau peduli apa?" sahut
Fatimah tak senang. Tetapi diam-diam ia bersyukur melihat Sangaji memakan
mangganya. "Dahulu kau hampir mampus. "Dan kau kuberi mangga. Kemudian kau
tolong aku dari liang kubur, bukankah aku wajib memberimu mangga pula?" Ia
berhenti mencari kesan. Kemudian tiba-tiba menaikkan suaranya. "Hai! Di
manakah kawanmu yang galak dahulu?" Sangaji tahu, yang dimaksudkan Fatimah
adalah Titisari. Justru oleh pertanyaan tak terduga-duga itu, semangatnya
terasa nyaris kabur. Tak setahunya sendiri, ia berhenti mengunyah. Dan
melihat keadaannya, Fatimah tertawa terpingkal-pingkal. "Baru saja aku
bertanya, nyawamu sudah terbang ke langit. Masakan kau takut aku bakal
merebutnya?" Sangaji menundukkan kepala. Dengan suara dalam ia menyahut,
"Dia meninggalkan aku." "Ah, masakan begitu? Hm "siapa percaya mulut
laki-laki. Semua laki-laki di seluruh dunia ini busuk. Bukankah kau yang
meninggalkan dia?" Sangaji tergugu. Sekalipun tidak demikian, tetapi mirip
pula. "Nah "kenapa tak menjawab? Huuuh... dasar anak siluman. Karena itu,
aku benci padamu. Aku benci! Sana, pergi! Dan kalau kau tak mau pergi,
akulah yang pergi!" damprat Fatimah. Dan benar-benar ia melompat dan lari
meninggalkan. Keruan saja, Sangaji jadi gugup. Ingin ia menerangkan
persoalannya, tetapi terhadap gadis demikian apakah ada gunanya. Namun ia
berteriak juga: "Fatimah! Kenapa kau benci padaku?" "Aku benci atau tidak,
apa pedulimu?" sahut Fatimah sambil lari. Sangaji benar-benar tak tahu apa
yang harus dikatakan. Ia berdiri terlongong-longong. Tiba-tiba teringatlah
dia kepada tutur kata gadis itu sendiri, bahwa kekasihnya meninggalkannya
pula. Bahkan setelah mencaci, menghina dan menghajarnya. Tetapi siapa
kekasihnya itu, sampai kini belum terang. "Agaknya setiap kali ia
bersentuhan dengan persoalan yang mirip dengan persoalannya, dia jadi benci
kepada segalanya. Sampai-sampai akupun dibencinya pula. Baiklah. Memang
Sangaji patut dibenci dan dikutuk! Ia berkata bermurung-murung kepada
dirinya sendiri. Seolah-olah orang terbangun dari kelelahan, ia berjalan
tertatih-tatih menghampiri Willem. Dalam benaknya terjadi suatu rumun suara
kacau-balau. Bayangan Titisari lantas saja tercetak kuat dalam ingatannya.
"Titisari! Aku tahu, kau menderita. Tetapi aku seorang laki-laki. Aku harus
bisa menetapi janji, betapapun bertentangan dengan suara hatiku. Kau tahu,
bukan?" la bergumam seorang diri sambil menaiki kudanya. Tetapi justru ia
berkata demikian, wajah Titisari nampak kian jelas. Mendadak ia merasa
seperti ada seorang yang mengamat-amati. Cepat ia menoleh. Ternyata
pancainderanya yang luar biasa tajam, tidak membohongi. Ia melihat Fatimah
berdiri tegak di kejauhan. Gadis itu, kemudian mendatangi dengan tingkah
acuh tak acuh. "Kau marah padaku?" katanya setelah berada dalam jarak
sepuluh langkah. Suatu kebahagiaan tiba-tiba terasa merayap dalam tubuh
Sangaji. Apa sebabnya dia mempunyai perasaan demikian tak tahu ia
menerangkan. Terus saja ia menggelengkan kepala dengan wajah berseri. "Aku
memang laki-laki busuk," akhirnya pemuda itu berkata. "Siapa bilang? Kau
manusia yang paling baik. Manusia siluman yang pernah kukenal. Kau jauh
berlainan dengan manusia yang tak keruan juntrungnya," potong Fatimah. "Kau
lain pula dengan kelakuan kekasihku yang banyak perempuannya." "Siapa dia?"
"Kau tak pernah menghajar, mencaci atau menghina kawanmu yang galak itu,
bukan?" Fatimah seperti tak mendengar pertanyaan Sangaji. "Tidak." "Nah,
itulah bedanya dengan kekasihku yang jahanam." "Apakah dia bengis
terhadapmu?" "Tidak cuma bengis. Memang dia laki-laki edan. Dia setan dan
iblis." "Siapakah kekasihmu itu?" "Kekasihku ya kekasihku. Kau mau apa?"
Ditanya demikian. Sangaji kelabakan. la mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Pastilah kekasihmu itu seorang yang hebat. Setidak-tidaknya dia ..." "Dia
bukan pemuda lagi. Kau ingin tahu?" Sangaji berbimbang-bimbang.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Slayer

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Ayo

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.02.2020

@bende mataram@ Bagian 339

@bende mataram@
Bagian 339

Fatimah pun mendapat gilirannya pula. Dengan demikian, ingatannya kepada
Titisari agak berkurang. Fatimah pulih dengan cepat. Tenaganya kini bahkan
makin bertambah berkat tenaga sakti Sangaji. Ia sudah mulai berlatih lagi
menekuni ilmu kepandaiannya di bawah pengawasan gurunya Suryaningrat.
Wirapati pun sudah memperoleh kesehatannya kembali. Ia seolah-olah bangun
kembali dari liang kubur. Tubuhnya nampak kuat dan perkasa. Pandangnya
berseri-seri di antara wajahnya yang bersih suci. Ia selalu bersama Jaga
Saradenta, membicarakan pengalamannya dan Sangaji. Apabila mendengar kabar
tentang kemajuan Sangaji, ia nampak berbahagia. Senyumnya puas luar biasa.
Ia merasa diri telah sampai pada puncak kemampuan dalam menunaikan tugas
yang dipikulnya selama itu. Sangaji sendiri tak mau berpisah dari dia. Anak
muda itu bisa membawa diri. Tak pernah ia membicarakan tentang
kemajuan-kemajuannya. Kecuali apabila dia sedang berlatih. Juga masalah
yang sedang dihadapi tak pernah pula disinggungnya. Namun betapapun juga,
akhirnya Wirapati mendengar juga. Ini terjadi sewaktu gurunya itu mendadak
teringat kepada anak Adipati Surengpati. Belum lagi Sangaji memberi
keterangan, si sembrono Jaga Saradenta sudah membeberkan peristiwa yang
disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Maka terpaksalah Sangaji
meriwayatkan kisah perhubungannya. Dan mendengar hal itu, wajah Wirapati
nampak suram. "Jadi engkau harus kembali ke Jakarta?" tanyanya penuh
perasaan. Sangaji mengangguk. "Hebat! Sungguh hebat persoalanmu," katanya
lagi perlahan. Ia tak mengerti sendiri bagaimana penyelesaiannya kelak.
Sebagai seorang guru yang sudah bergaul semenjak Sangaji masih menjadi
pemuda tanggung, ia tahu belaka keadaan hati muridnya. Pemuda itu hanya
menganggap Sonny de Hoop sebagai kawannya bermain. Sebaliknya terhadap
Titisari, agaknya Sangaji mempunyai pengucapan naluriah yang lain. Tetapi
dia harus berani menemui Sonny. Sebagai seorang guru, sudah tentu ia
mengharap muridnya berhati jantan dan berwatak ksatria sejati. Dan seorang
ksatria harus bisa mengatasi kepentingannya sendiri demi panggilan
nilai-nilai hidup. Dia pun pernah memberikan contohnya. Memikir demikian,
tak terasa ia menghela napas. "Ocapan seorang laki-laki memang tak ternilai
harganya." Akhirnya dia berkata. "Lainlah halnya, apabila Sonny ternyata
mengingkari janji..." ia berhenti merenung-renung. Lalu menegakkan kepala
seraya minta ketegasan. "Kapan engkau berangkat?" Sesungguhnya semenjak ia
berpisah dari Ki Tunjungbiru segera ia ingin berangkat. Tetapi bukan untuk
Sonny melainkan oleh rasa rindunya kepada ibunya. Maka begitu mendengar
pertanyaan Wirapati, ia seperti tergugah. Menjawab singkat, "Sekiranya guru
mengizinkan, esok pagi aku akan berangkat." "Aku sudah sehat kembali. Kau
tak perlu lagi memikirkan aku. Dua tiga bulan lagi aku akan pulih seperti
sedia kala," kata Wirapati dengan tertawa gelak. "Ha—bagus!" sambung Jaga
Saradenta. "Meskipun kepandaianku kini tak nempil dengan ilmu kepandaianmu,
tapi aku masih berani menggerembengimu. Nah, berangkatlah! Aku tak
menginginkan engkau masih menjadi anak tolol. Sekiranya kau kelak jadi
orang, jenguklah kuburanku kalau aku sudah tak bernyawa lagi. Saat itulah
kau baru benar-benar bebas dari pengawasanku." Sangaji tahu, gurunya yang
satu itu berwatak uring-uringan dan keras hati. Namun diantara bunyi bait
kekerasannya, sesungguhnya bersembunyi suatu rasa cinta kasih mendalam.
Karena itu, tak terasa ia menitikkan air matanya begitu mendengar
ucapannya. Ia segera duduk bersimpuh menyembah. "Eh, apa artinya ini?"
damprat Jaga Saradenta. "Aku menghendaki engkau jadi seorang laki-laki yang
tegak perkasa. Bukan sebagai makhluk yang hanya pandai main sembah dan
berpura-pura." Wirapati tertawa panjang. Dengan menepuk pundak Sangaji ia
berkata: "Tentang hal ini, biarlah aku nanti membicarakan dengan eyang
gurumu. Kau sekarang berkemaslah! Dan kelak kalau bertemu dengan ibumu,
sampaikan salamku dari jauh. Akupun akan titip oleh-oleh sedikit untuk
ibumu ..." Wirapati kemudian memasuki kamarnya dan kembali dengan membawa
sebuah mata tombak yang sudah berkarat. Itulah mata tombak yang ditemukan,
sewaktu dia singgah di rumah keluarga Sangaji di Karangtinalang. "Menurut
Nuraini, inilah mata tombak almarhum ayahmu. Sewaktu dipergunakan untuk
melawan gerombolan orang-orang Banyumas, benda ini ternyata selamat dari
lautan api yang membakar rumahmu." Diingatkan tentang peristiwa keluarganya
dan mendengar pula asal-usul mata tombak yang sudah berkarat itu, Sangaji
tergetar hatinya. Tatkala menerima benda itu, ia gemetaran. Maka hatinya
bertambah terharu. Terus saja ia menangis terisak-isak. "Hm, sudah! Sudah!"
kata Jaga Saradenta. "Dunia ini tak cukup hanya kau tangisi belaka. Kau mau
pulang kepangkuan bunda kini. Lebih baik engkau memikirkan bagaimana caramu
hendak menggembirakan hati ibumu. Sebaliknya kalau datang-datang lantas
menangis, ibumu akan rontok hatinya." Sebenarnya di balik kegarangannya,
orang tua itu bersedih hati akan berpisahan dengan muridnya. Namun sebagai
seorang tua yang sudah banyak pengalamannya, tak sudi ia memperlihatkan
kesedihan hatinya. Sangaji sendiri tak pandai berbicara. Apalagi hendak
mengutarakan keadaan hatinya. Karena itu setelah isaknya berhenti, ia hanya
diam berlongong-longong. Wirapati selamanya bersikap lembut kepadanya.
Melihat muridnya dalam kesulitan ia segera berkata mengalihkan pembicaraan.
"Nah, sekarang berkemaslah! Aku akan menghadap eyang gurumu!" Terhadap
gurunya yang bersikap lembut, Sangaji memujanya sebagai dewa, meskipun ilmu
kepandaiannya kini jauh melampauinya. Maka dengan memaksa diri, ia bangkit
dan memasuki kamarnya untuk berkemas-kemas. Keesokan harinya, Sangaji
menghadap eyang gurunya. Orang tua itu telah mendapat keterangan jelas
tentang persoalan cucu muridnya. Namun dia tak berkata sepatah katapun. Ia
hanya memberi pangestu. Setelah itu memberi isyarat kepada sekalian
murid-muridnya agar mengantarkannya turun gunung. Pagi hari itu sangatlah
cerahnya. Sarwa alam terang benderang. Angin menyanyi di sepanjang deret
tetanaman. Gunung Sumbing nampak gagah perkasa di antara bukit-bukit yang
mengelilingi pertapaan Gunung Damar. Di seberang menyeberang jalan,
terdengarlah suara gemericik air meraba sawah dan ladang yang telah mulai
menghijau. Di udara awan putih nampak berarak-arak di antara tirai biru
yang melingkupi segenap cakrawala. Namun semuanya itu tak dapat merasuk ke
dalam lubuk hati Sangaji. Hati Sangaji penuh rasa haru. Tatkala dia harus
berpisah dari kedua gurunya serta paman-paman gurunya, hampir saja ia
menangis. Jaga Saradenta lalu menghampiri dan membentak. "Ah, anak tolol!
Apakah engkau berpikir, bahwa selama hidupmu kami semua harus menyertaimu?
Memang, dahulu hari kau bersama kami memasuki wilayah Jawa Tengah. Kini kau
sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan dengan
seorang diri, seperti waktu kau dilahirkan di dunia. Seperti kelak saatnya
kau kembali kepangkuan hidup, engkau hanyalah seorang diri tanpa teman dan
tanpa penasihat. Karena itu engkau harus belajar mempunyai keputusan cepat,
tegas dan tepat. Hidup ini tak ubah gelanggang perkelahian. Kau akan diajak
dan didorong untuk berkelahi. Dan satu-satunya senjata untuk menentukan
segala hal, adalah keputusanmu. Lamanya hanya sedetik dua detik. Kalau kau
selalu beragu, kalau kau tak mempunyai suatu keputusan, kalau kau selalu
kasep menentukan suatu sikap, engkau akan digulung dan dipilin-pilin. Ah,
tolol! Kulihat engkau pandai bertempur sewaktu melawan pendekar besar Kebo
Bangah. Dan engkau menang. Siapakah yang menentukan kemenanganmu ini?
Itulah keputusanmu yang cepat, tegas dan tepat. Karena itu, hayo tegakkan
kepalamu! Di depanmu tergelar banyak persoalan yang pelik. Dan semuanya
menunggu keputusanmu. Mati atau hidup, bukan soal. Kalau kau mati, matilah
sebagai ksatria. Karena semuanya ini hanya tergantung kepada keputusanmu
belaka, maka eyang gurumu hanya memberimu pangestu. Kau mengerti? Nah,
berangkatlah dengan genderang dada laki-laki tulen!" Hebat kata-kata Jaga
Saradenta sampai semua yang mendengar ikut tergetar hatinya. Memang
kadangkala, guru yang sok uring-uringan itu bisa menemukan butir-butir
mustika dunia yang tak ternilai harganya. Itulah disebabkan, karena ia
sendiri sesungguhnya berat berpisahan dengan muridnya. Kata katanya yang
garang berwibawa itu, lebih membidik dirinya sendiri. Tak mengherankan,
bahwa setelah berkata demikian, napasnya jadi tersengal-sengal. Sangaji
terhenyak di atas punggung Willem. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia
tak tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak saja ia melihat Jaga Saradenta
menarik cempulingnya, kemudian dihantamkan ke paha Willem. Kalau ia mau
mengelak atau menangkis, mudahnya seperti membalik tangan sendiri. Karena
kini, ilmu kepandaiannya tiada taranya dalam jagat. Tetapi ia tak berani
menghalang-halangi gerakan gurunya. Tahu-tahu, Willem melompat tinggi di
udara dan melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari gendewanya. Selama
hidupnya, Willem tak pernah diperlakukan dengan kasar.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 338

@bende mataram@
Bagian 338

BAGUS KEMPONG SEGERA MEMERINTAHKAN PARA CANTRIK mempersiapkan suatu
perjamuan. Tamu-tamu padepokan Gunung Damar dipersilakan memasuki ruang
dalam, karena serambi depan telah rusak. Mereka membungkam seribu bahasa.
Kesan pertempuran tadi benar-benar hebat merumun dalam otak mereka
masing-masing. Mereka yang sedikit banyak menganggap dirinya tergolong
manusia-manusia gagah, jadi malu sendiri. Dibandingkan dengan ilmu
kepandaian Kebo Bangah dan Gagak Seta bagaikan bumi dan langit. Untung
mereka mempunyai hubungan baik dengan Sangaji. Bahkan pernah pula ikut
menyumbangkan kebajikan kepadanya. Diam-diam mereka bisa menghibur diri.
Ditengah perjamuan itu setelah lama merenung-renung. Sangaji mengisahkan
semua pengalamannya kepada Kyai Kasan Kesambi dan sekalian paman-pamannya.
Mendengar kisah aneh yang berada di luar kemampuan manusia, semua yang
mendengar jadi tercengang-cengang dan takjub. "Baiklah," kata Kyai Kasan
Kesambi. "Kalau diurut Ki Hajar Karangpandanlah yang berjasa. Coba, kalau
dia tidak membawa dua benda pusaka Bende Mataram, di dunia ini mataku yang
sudah lamur tidak akan melek. Kukira ilmu kepandaian yang dicapai manusia
kini merupakan puncak-puncak kesanggupan dan kemampuan zaman." "Tetapi
kalau aku yang dikatakan berjasa, tidaklah benar!" sahut Ki Hajar
Karangpandan. "Sebaliknya Ki Jaga Saradenta dan murid Kyai Kasan keempatlah
yang besar jasanya dalam mengasuh dan mendidik Sangaji menjadi manusia
besar di kemudian hari." Menyinggung nama Wirapati, Sangaji segera teringat
akan nasib gurunya. Dia menoleh kepada paman gurunya Gagak Handaka dan
Ranggajaya. Mereka cepat-cepat berdiri dan membungkuk hormat kepada Kyai
Kasan Kesambi. Kemudian mengabarkan tentang obat pemunah yang diketemukan
Sangaji pula. Betapa besar bahagia Kyai Kasan Kesambi tak terperikan.
Perlahan-lahan ia mengelus-elus jenggotnya dan tertawa penuh perasaan.
Matanya berseri-seri memandang atap rumah. "Ah! Betapa hebat orang
menyangkal, ternyata yang Maha Pengasih tahu membalas budi. Wirapati bakal
hidup kembali seperti sedia kala." Orang tua itu segera memeriksa obat
pemunah, la manggut-manggut puas penuh yakin. Segera ia memerintahkan
menggotong Wirapati keluar dari kamar. Dan begitu mereka melihat keadaan
Wirapati, semua jadi terharu. Jaga Saradenta menangis perlahan.
Terisak-isak ia berkata, "Kau harus bisa pulih seperti sediakala. Kau harus
melihat dan ikut menyaksikan kehebatan muridmu Sangaji. Dia bukan bocah
tolol seperti sangkaku semula..." Jaga Saradenta pernah menjadi kawan
seperjuangan dekat dengan Kyai Kasan Kesambi dalam Perang Giyanti. Oleh
suatu hal yang tidak terduga-duga ia bisa bertemu kembali, setelah menyekap
diri menjadi Gelondong Segaluh. Hanya saja, ia belum memperoleh kesempatan
untuk berbicara banyak. "Ki Jaga Saradenta!" sahut Kyai Kasan Kesambi.
"Meskipun mataku sudah lamur, tapi aku segera mengenalmu. Ah, dunia ini
memang aneh. Siapa menyangka, bahwa engkau mempunyai perhubungan rapat
dengan muridku Wirapati. Selama dalam perantauan, apakah dia pernah berbuat
di luar angger-angger kesusilaan?" "Tidak! Tidak! Dia seorang laki-laki
sejatii Dan kalau Kyai Kasan mengira dia senang membawa adatnya sendiri,
tidaklah benar. Malahan akulah orang yang tak tahu adat. Dalam kebanyakan
hal, dia suka mengalah terhadapku," kata Jaga Saradenta dengan penuh
semangat. Kyai Kasan Kesambi segera bekerja. Obat pemunah itu ternyata
dibagi tiga. Yang satu untuk diminumkan. Yang kedua untuk diborehkan. Dan
yang ketiga untuk penyambung tulang-tulang patah. Setelah itu, Wirapati
dibebat erat dan diletakkan hati-hati di atas tempat tidurnya kembali, la
masih saja belum bisa bergerak, walaupun telah memperoleh kesadarannya
kembali. "Dalam dua bulan lagi kalau tiada halangan ia sudah bisa pulih
kembali," kata Kyai Kasan Kesambi yakin. Perjamuan malam itu dilanjutkan
hampir mendekati fajar hari. Jaga Saradenta segera mengisahkan
perhubungannya dengan Wirapati. Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Ki
Hajar Karangpandan dan para murid Gunung Damar tak mau kalah menyumbangkan
kisahnya masing-masing yang berhubungan dengan Sangaji. Sangaji sendiri
setelah melihat keadaan gurunya, berdiam diri. Justru ia berdiam diri,
teringatlah dia kepada Titisari dan ibunya yang masih berada di daerah
barat. Di belakang kursinya duduk Wirasimin dengan bersimpuh. Kalau tadi
sore ia masih meragukan kesanggupan Sangaji, kini ia berbalik mendewakan.
Ia selalu siap meladeni kebutuhan anak muda itu. Dan kalau kisah para
pendekar menyinggung keadaan Sangaji, ia menumpahkan seluruh perhatiannya
sampai mulutnya ternganga-nganga. Kadang-kadang ia menyambung, "Ah! Di
dunia ini mana ada suatu riwayat ajaib melebihi riwayat hidup Gus Aji..."
Sebagai puncak perjamuan itu, Sangaji mengeluarkan kedua pusaka sakti di
atas meja. Para pendekar hanya melihat saja selintasan. Mereka sadar tiada
keuntungannya apabila memiliki kedua pusaka tersebut, mengingat tenaga
sendiri tak mencukupi untuk berlatih menurut bunyi ukiran keris Kyai
Tunggulmanik. Sebaliknya para cantrik yang masih penuh angan-angannya,
segera merubung meja dengan nafsu. Mereka baru kendor nafsunya, tatkala
Kyai Kasan Kesambi berkata kepada Sangaji. "Aji! Meskipun engkau
membawa-bawa kedua pusaka itu, tidaklah berbahaya lagi. Sebab segera para
pendekar akan sadar, bahwa mereka takkan bisa memperoleh hasilnya, manakala
tenaga jasmaninya tidaklah seperti yang kaumiliki. Itu disebabkan engkau
berhasil melebur tenaga sakti getah Dewadaru, ilmu Bayu Sejati dan ilmu
Kumayan Jati oleh cekikan pendekar Bagas Wilatikta. Sebaliknya, apabila
kedua pusaka ini sampai jatuh di tangan Kebo Bangah atau Adipati Surengpati
akan lain halnya. Barangkali di dunia ini bakal ada cerita lain lagi."
Keesokan harinya, Ki Hajar Karangpandan yang biasa hidup liar segera
berpamitan hendak kembali ke padepokannya. Ia pergi bersama kakak
seperguruannya Panembahan Tirtomoyo. Ki Tunjungbiru pun hendak meninggalkan
padepokan pula. Ia menyerahkan sisa madu Tunjungbiru yang mempunyai kasiat
ajaib kepada Kyai Kasan Kesambi untuk mempercepat sembuhnya Wirapati.
Sedangkan Jaga Saradenta masih tinggal di pertapaan. Ia memutuskan hendak
menunggu Wirapati sampai sembuh. "Perkara perjodohanmu sangat gawat,
anakku." kata Panembahan Tirtomoyo. "Kau harus selalu waspada dan
bijaksana. Meskipun kata-kata pendekar Gagak Seta benar, tetapi kau harus
pandai membebaskan hatimu. Kesejahteraanmu sendiri itulah yang harus
kauperhatikan." "Itu benar!" sambung Ki Hajar Karangpandan. "Jodoh adalah
urusan Tuhan. Kalau kau pandai menyerahkan diri ke haribaannya, dia akan
memilihkan jodohmu yang benar. Tetapi semenjak itu, janganlah kau
menyianyiakan isterimu." Mendengar, ucapan kedua pendekar itu tentang
perjodohan Sangaji. Kyai Kasan Kesambi melengak. Sebagai seorang tua yang
berpengalaman, ia menduga cucu muridnya mempunyai persoalan rumit. Namun ia
tak berkata apa-apa. Demikianlah kedua pendekar itu meninggalkan padepokan
Gunung Damar. Ki Tunjungbiru yang pendiam tak lama kemudian berangkat pula.
Sangaji mengantarkan sampai di kaki gunung. "Apakah Aki akan terus langsung
berangkat ke Jakarta?" Sangaji menegas. "Tentu saja, anakku." Jawab Ki
Tunjungbiru. "Aku dilahirkan di daerah barat. Pada sisa hidupku, aku bisa
berharap tinggal di sana sampai mati. Kaupun akan ke Jakarta pula, bukan?
Baiklah aku nanti mengunjungi ibumu. Akan kuceritakan semua pengalamanmu.
Meskipun kau belum berhasil menuntut dendam kematian ayahmu, ibumu pasti
gembira mendengar kabarmu. Bagi seorang ibu, bakal melihat anaknya pulang
sudah merupakan suatu karunia besar. Bisa-bisa ia bertambah umur." Terharu
Sangaji mendengar ucapan Ki Tunjungbiru. Ia jadi diingatkan kepada
masalahnya sendiri. Benaknya lantas menjadi kacau. Karena tak pandai
mengutarakan bunyi hati sendiri, ia tegak seperti batu. Sewaktu bayangan Ki
Tunjungbiru lenyap di langit barat, tak disadarinya sendiri ia menarik
napas panjang. "Semua meninggalkan aku. Semua yang baik hati dan luhur
budi." Ia mengeluh kepada diri sendiri. "Apakah aku bisa bertemu kembali
dengan mereka?" "Teringat akan hal itu, ia jadi makin bersedih hati,"
kemudian perlahan-lahan ia kembali ke padepokan. Ternyata padepokan nampak
sunyi sepi. Eyang dan paman gurunya tak berada lagi di luar. Gurunya pun
demikian. Mereka telah memasuki kamar peristirahatannya. Yang mengisi
kesunyian, hanyalah para cantrik belaka. Mereka bekerja memperbaiki serambi
dan dinding yang jebol. Pohon-pohon patah yang menutupi halaman mereka
singkirkan sambil menimbuni bumi yang amblong. Tak terasa dua bulan telah
lewat dengan diam-diam. Selama itu Sangaji menerima petunjuk-petunjuk dan
warisan ilmu kepandaian dari Kyai Kasan Kesambi. Ilmu Mayangga Seta dan
puncak-puncak ilmu perguruan Gunung Damar telah dipahami pula. "Sangaji
pandai menghibur diri." Untuk melupakan kerisauan hatinya, ia berlatih pada
siang dan malam hari penuh. Hanya di saat-saat tertentu, ia membantu eyang
gurunya menyembuhkan gurunya dengan tenaga saktinya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Wafer

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

pete teri cabe ijo.. Mkn sm nasi jagung.

pete teri cabe ijo.. Mkn sm nasi jagung.

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Caru pasiran

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Nduren

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1.01.2020

@bende mataram@ Bagian 337

@bende mataram@
Bagian 337

Kau harus tahu, ini zaman perang. Kau bisa dibunuh siapa saja. Kemari!"
Pandangnya berkesan luar biasa kasih. Dan setelah berkata demikian, ia
melompat meng-hampiri Sangaji. Semua yang hadir segera sadar, bahwa keadaan
Kebo Bangah tak wajar. Dari ucapannya yang kacau, terang sekali ia
kehilangan kewarasan otaknya. Itulah akibat gempuran Sangaji. Tenaga sakti
Sangaji memang benar-benar ajaib. Kehebatannya di luar perhitungan manusia.
Kebo Bangah boleh sakti atau kebal, namun tak tahan menangkisnya. Meskipun
kulitnya tak terlukai, tetapi jalan darahnya jadi jungkir-balik. Urat
syarafnya tergetar. Dan setelah memperoleh kesadarannya kembali, ia jadi
gendeng. Suatu keajaiban lagi terjadi di luar dugaan manusia. Menurut
perhitungan lumrah, pastilah ilmu sakti Kala Lodra akan ikut musnah kena
pukulan itu. Sebaliknya bahkan terjadi suatu perkembangan baru. Seperti
Sangaji dahulu tatkala kena cekek Bagas Wilatikta, mendadak saja jalan
darahnya tertembus: Kini bisa berputar-putar cepat dan merayapi seluruh
tubuhnya dengan bebas tanpa rintangan. Sudah barang tentu, tenaga Kebo
Bangah jadi berlipat ganda seumpama seekor harimau memperoleh sayap.
Peristiwa yang aneh itu, tidak segera nampak dari luar. Tetapi begitu Kebo
Bangah melompat hendak menghampiri, suatu kesiur angin bergulungan dahsyat.
Kyai Kasan Kesambi dan Gagak Seta kaget berbareng. Lalu berteriak
memperingatkan, "Aji! Awas!" Sangaji sendiri, waktu itu seperti kehilangan
diri sendiri. Anak muda itu terlalu mulia hatinya. Mendengar kata-kata Kebo
Bangah memanggil nama Dewaresi, sekaligus teringatlah dia bahwa pendekar
itu kena dibunuh Sanjaya di dalam benteng. Selama itu, ia tetap menganggap
Sanjaya sebagai bagian dari hidupnya. Maka begitu teringat perbuatan
Sanjaya, ia merasa diri seolah-olah ikut bersalah dan ikut pula memikul
tanggung jawab. Karena itu, meskipun dia mendengar kesiur angin akibat
tenaga lompatan Kebo Bangah, ia tak sampai hati membuat pendekar besar itu
bersengsara lagi. Untung Kebo Bangah dalam keadaan tidak waras. Waktu itu
ia benar-benar tak berniat jahat. Ia datang menghampiri dengan maksud
hendak memeluk Sangaji yang dikiranya Dewaresi. "Ha—Dewaresi! Ayo pulang!"
katanya nyaring. Oleh suara nyaring itu, Sangaji seperti ter-sadar. Secara
wajar ia mengelak. Meskipun demikian masih kasep juga. Tahu-tahu lengan
bajunya kena sambar. Bret! Ia terkejut. Tangannya lalu meliuk hendak
mengadakan perlawanan. Sekonyong-konyong Kebo Bangah berkata seperti
mengeluh. "Dewaresi! Kau tetap bandel juga? Bagaimana nanti ibumu kalau
sampai meng-gerembengi aku?" Mendengar ucapan Kebo Bangah, tangan Sangaji
turun lagi dengan lemas. Ia seperti menangkap nada keadaan hati orang itu
yang sangat sengsara. Apakah dia sudah bisa menduga, bahwa anaknya tertimpa
malapetaka, pikirnya. Sewaktu Sangaji dalam keadaan berbim-bang-bimbang,
Kebo Bangah melesat mener-kamnya. Dalam pikiran Kebo Bangah, Dewaresi
membandel emoh diajak pulang. Karena itu ia hendak memaksanya. Keruan saja,
tenaga yang dikeluarkan berlipat ganda jadinya. Gagak Seta dan Kyai Kasan
Kesambi terperanjat. Sebagai pendekar besar yang hampir mencapai puncak
kesempurnaannya, tahulah mereka bahwa tenaga Kebo Bangah sangat berbahaya.
Maka berbareng mereka maju mengulur tangan. Gagak Seta menggempur punggung
Kebo Bangah, sedangkan Kyai Kasan Kesambi menarik Sangaji keluar
gelanggang. Jalan darah Kebo Bangah telah menjadi bertentangan seluruhnya
dan tenaganya berubah kuat berlipat ganda. Biasanya untuk menangkis
gempuran Gagak Seta, ia perlu mengerahkan tenaga dahulu. Tetapi kini dalam
keadaan linglung ia tak bersiap-siap. Meskipun demikian, ia hanya kena
dijungkir-balikkan tanpa menderita luka sedikitpun. Inilah aneh, mengingat
kehebatan ilmu Kumayan Jati yang bisa menumbangkan sebatang pohon sepelukan
orang. Dan setelah kena gempuran, secara naluriah ia terus menyambar
membalas menyerang. Kedua orang itu lantas bertempur dengan serunya. Kebo
Bangah tidak lagi menggunakan ilmu Kala Lodra seperti biasanya. Ilmu itu
nampak kacau. Jurus-jurusnya jungkir-balik tak keruan. Namun demikian
hebatnya tak terkatakan. Gagak Seta kena didesaknya berulang kali dan
hampir-hampir kena balasan. "Anakku Sangaji, kau mundur dahulu!" teriak
Gagak Seta dengan nyaring. "Biarlah kulayani sendiri." Gagak Seta terus
bertempur dengan sung-guh-sungguh. Mereka jadi berkelahi dengan berputaran.
Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dengan selintasan dapat
melihat kelemahan lawan. Ia mengadu kegesitan. Itulah ilmu Ratna Dumilah
yang pernah diwariskan kepada Titisari. Tetapi Ratna Dumilah dalam
tangannya, jauh berlainan daripada kemampuan Titisari. Perbawanya dan
kewibawaannya mengagumkan. Sekali-kali ia memukul dengan ilmu Kumayan Jati.
Apabila terdesak, terus menggunakan ilmu petak untuk melejit lawan.
Diam-diam Kyai Kasan Kesambi mengagumi ilmu kepandaian pendekar bule itu.
Tatkala Gagak Seta hampir terjepit, mendadak bahkan bisa melepaskan pukulan
telak Kebo Bangah kaget sampai menjerit. Tapi akhirnya benar-benar
mengherankan. Bukan pendekar gendeng itu yang kena dipentalkan sebaliknya
Gagak Seta sendiri, la sampai terhuyung mundur tiga langkah. Dan belum lagi
tegak berdiri, Kebo Bangah sudah merabunya dengan pukulan-pukulan ilmu Kala
Lodra yang bertentangan dengan biasanya. Cepat-cepat Gagak Seta menjejak
tanah dan membebaskan diri dengan berjungkir-balik di udara. Ia turun ke
tanah sambil melepaskan pukulan keras jurus kesembilan. "Ah, bagus!" Kyai
Kasan Kesambi memuji. Kebo Bangah meloncat ke kiri dan secepat kilat
melejit. Mendadak saja meludahi dan menyembur-nyemburkan gumpalan liur.
Sudah barang tentu Gagak Seta tak sudi menerima semburan ludah itu. Dia
tahu, meskipun hanya ludah, tetapi apabila kena mata bisa celaka. Sebab
tenaga sakti lawannya bukan main besarnya. Dengan sebat ia menyambut dengan
gerakan tangan sambil terus menyerang. Menghadapi orang kurang waras,
bukanlah suatu hal yang gampang. Kebo Bangah bertempur dengan jurus-jurus
yang bertentangan dengan hukum. Seringkah dia menumbukkan tubuhnya, miring,
berdiri, merayap, merangkak, berjongkok atau merabu dengan tiba-tiba.
Meskipun demikian, semua gerak-geriknya berbahaya. Daerah geraknya membawa
kesiur angin dahsyat. Maka terpaksalah Gagak Seta melayani dengan
hati-hati. Meskipun agak keteter, namun sekali-sekali bisa membalas
menyerang juga. Diam-diam Kyai Kasan Kesambi memper-hatikan cara bertempur
Kebo Bangah yang kacau. Di dalam hal penelitian, keseksamaan dan kesabaran
dia menang daripada Gagak Seta. Diapun segera memperoleh jalan keluar. Lalu
mengajari Gagak Seta bagaimana cara melawan. "Gagak Seta!" katanya tenang
meyakinkan. "Kaupun harus memutar balikkan jurus-jurusmu. Anggaplah saja
ini suatu latihan. Nah— coba serang bawah kaki. Pastilah dia akan bertahan
dengan berdiri." Sebagai penonton, Kyai Kasan Kesambi dapat melihat dengan
tegas sekali. Maka hasilnya benar-benar mengagumkan. Gagak Seta percaya
benar kepada orang tua yang dihormatinya itu. Ia segera melakukan
petunjuk-petunjuknya. Tetapi di dalam hati, ia merasa malu sendiri.
Menghadapi Kebo Bangah, terpaksalah kali ini harus dikerubut. Pada suatu
saat, Gagak Seta bisa memberi pukulan tepat, Kebo Bangah meludah lagi
dengan tiba-tiba. Dengan demikian, Gagak Seta terpaksa membatalkan
serangannya, la harus berkelit dahulu. Justru itu, sekonyong-konyong Kebo
Bangah maju dan merabu dengan cepat. Gagak Seta melihat serangan itu. Ia
tak sempat lagi untuk menangkis atau mengelakkan. Dalam seribu
kerepotannya, ia hanya berhasil meneruskan kelitannya tadi. Ia hampir kena
pukulan. Setelah berjumpalitan di udara, ia turun ke bumi sambil membalas
menyerang. Kebo Bangah kena dimundurkan, tetapi diapun mundur terhuyung
juga. "Nah, apa kubilang," katanya terus terang. "Aku tinggal mewariskan
tulang-tulangku yang keropos kepada angkatan muda." "Tidak, tidak!" sahut
Kyai Kasan Kesambi. "Kau belum kalah dan dikalahkan. Kalau kau mengaku
kalah, akupun kalah pula. Kau tahu sendiri. Akupun tak bisa mengapa-apakan
dia." Tetapi Gagak Seta adalah seorang pendekar besar yang berwatak
ksatria. Dia tak sudi menyangkal kekalahannya. Lalu berdirilah dia tegak
sambil membungkuk memberi hormat. Katanya, "Kebo Bangah! Aku si jembel bule
dengan ini menyatakan kalah padamu." Setelah berkata demikian, ia menoleh
kepada Kyai Kasan Kesambi dengan pandang murung. Berkata pilu, "Kyai Kasan!
Maafkan aku, karena harus menyerahkan suatu kehormatan kepada seorang gila.
Tetapi memang aku tak becus melawannya. Kalau engkau masih mempunyai nafsu
untuk merebut nama besar, cobalah lawan. Aku sendiri—semenjak melihat
Sangaji telah mewarisi ilmu sakti sudah mendaftarkan jadi muridnya."
Nyaring dan terang ucapan Gagak Seta. Kyai Kasan Kesambi ternyata memanggut
pula seraya merenungi Kebo Bangah. Dia sudah lama menyekap diri dalam
pertapaan. Dalam hatinya, tiada lagi nafsu merebut nama besar. Sebaliknya
murid-muridnya jadi penasaran. Masakan gelar kehormatan nomor wahid jatuh
kepada Kebo Bangah yang kurang waras otaknya? Tetapi di dalam gelanggang
terjadi pula suatu kejadian aneh. Begitu mendengar Gagak Seta menyebut ilmu
sakti, tiba-tiba wajah Kebo Bangah berubah hebat. Wajahnya pucat lesi dan
ia jadi termangu-mangu. Sejenak kemudian menjerit seperti ketakutan dan
lari tunggang langgang meninggalkan halaman padepokan. Tatkala lewat di
depan kedua adik seperguruannya, ia seperti diingatkan sesuatu. "Hai!
Bukankah kau Keyongbuntet dan Maesasura? Di manakah Dewaresi? Apakah kalian
bunuh?" Pendekar besar itu kacau jalan pikirannya.


Kadangkala ia memperoleh kesadarannya kembali, mendadak tenggelam dan
saling bertubrukan. Justru begitu, tangannya terangkat dan menghantam
kepala Keyongbuntet dan Maesasura. Dan betapa besar tenaga sakti ilmu Kala
Lodra kala itu susah untuk dilukiskan. Kepala Keyongbuntet dan Maesasura
hancur berhamburan dengan berbareng. Mereka tewas seketika itu juga. Kebo
Bangah tertawa berkakakan. Ia lari turun gunung dengan cepat. Anak
buahnyapun cepat-cepat pula meninggalkan padepokan Gunung Damar setelah
terhenyak sesaat menyaksikan peristiwa pembunuhan itu. Mayat Keyongbuntet
dan Maesasura segera diangkutnya. Dengan demikian, dalam padepokan kini
tinggal para pendekar dengan pikirannya masing-masing. Keadaan malam itu
sunyi lengang menggeridikkan bulu roma. Pohon-pohon besar yang tumbuh
sekitar halaman padepokan tumbang berserakan akibat angin gempuran-gempuran
tenaga sakti. Di sana sini terlihat tanah amblong. Tetanaman lainnya tak
usah diceritakan lagi. Serambi padepokan sendiri runtuh bereyotan.
Dindingnya bobol dan hancur berpuingan. "Kyai Kasan," tiba-tiba Gagak Seta
berkata. "Sampai di sini kita bertemu. Kau sekarang tahu, aku manusia tak
berguna lagi. Tulang-tulangku sudah keropos." Kyai Kasan Kesambi berdiri
tegak dengan takzim. Menyahut, "Kau terlalu pagi untuk berbicara tentang
kalah dan menang. Aku masih melihat, engkau bakal mempunyai jalan keluar."
Gagak Seta tertawa perlahan melalui hidung. Kemudian mengalihkan pandang
kepada Sangaji. Berkata, "Anak tolol! Dalam dunia ini ternyata hanya pusaka
Bende Mataram yang tinggal abadi. Kau melihat sendiri tadi. Begitu Kebo
Bandot mendengar aku menyebut pusaka Bende Mataram, ia takut setengah mati.
Karena itu, untuk selanjutnya engkaulah yang akan bertanggung-jawab kepada
kekacauan dunia. Sebentar lagi, dunia ini akan kacau balau. Kekuasaan
berada di tangan orang gila. Aku tak mampu mengatasi Kebo Bandot. Eyang
gurumu tak sudi berebutan nama kosong. Mertuamu Adipati Surengpati, masih
menganggap dirinya seorang pendekar nomor wahid. Hm... aku yakin, begitu
ketemu Kebo Bandot bakal menumbuk batu." Teringat kepada Adipati
Surengpati, mendadak Gagak Seta meninggikan alis. Lalu minta keterangan
dengan suara tinggi. "Hai! Di manakah calon isterimu? Kau jangan semberono.
Mertuamu bukan manusia baik-baik. Kalau kau membiarkan dia berada satu hari
di sampingnya, kau bakal kehilangan. Dan kalau kau kehilangan Titisari,
meskipun kau boleh gagah, tetapi engkau tak bisa bekerja. Aku pun bakal
kehilangan segalanya." Sangaji terperanjat. Hatinya tergetar. Gap-gap ia
hendak menyahut, tetapi Gagak Seta telah menghilang dari penglihatan.
Padepokan jadi sunyi kembali. ***

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Baronang bakar warung Yayat

Baronang bakar warung Yayat

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Peacock bass

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Beli criping telo di pabriknya ternyata harganya selisih lumayan jauh

Ngeterke tuku criping

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Ngopi

Cuma ini doang om....kuat gak sampe jam 11 nih... 😩

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Mandi

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Kerapu motif bagus

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Gemes

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 336

@bende mataram@
Bagian 336

Bahkan tepat sekali. Kalau saja tubuh Kebo Bangah tak kena disambarnya,
pastilah pendekar besar itu sudah tamat riwayatnya. Ternyata Kebo Bangah
hanya pingsan saja. Tubuhnya yang luar biasa kuat bisa menahan gempuran
ilmu sakti Sangaji. Namun urat syarafnya kacau balau tak teratur lagi.
Jalan pernapasannya jungkir balik. Itulah sebabnya, ia kehilangan
kesadarannya. "Eh, tua bangka!" kata Gagak Seta kepada Kyai Kasan Kesambi
sambil meletakkan tubuh Kebo Bangah di lantai. "Kau masih kelihatan segar
bugar. Nampaknya kau masih sanggup hidup seratus tahun lagi." Terhadap
Gagak Seta, kesan Kyai Kasan Kesambi tidak buruk. Meskipun Gagak Seta
seorang pendekar edan-edanan, tetapi berwatak ksatria. Apalagi kini ada
hubungannya dengan cucu muridnya. Maka dengan tersenyum seri ia menyambut.
"Kaupun masih gagah juga. Kalau tidak, masakan cucu muridku bisa menjadi
orang." "Eh, eh! Siapa bilang?" Gagak Seta ter-sipu-sipu. "Aku bisa
mengapakan dia? Malahan akulah kelak yang harus disulapnya menjadi seorang
manusia yang ada gunanya hidup dalam dunia ini." Dengan runtuhnya pendekar
besar Kebo Bangah, habislah sudah kegarangan pen-dekar-pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Apalagi kini pendekar sakti Gagak Seta yang disegani
orang gagah di seluruh penjuru nusantara, datang pula. Bisa dibayangkan
sudah, apabila mereka berani banyak bertingkah lagi. Maka diam-diam mereka
mengundurkan diri dan lari ngacir meninggalkan gunung. Kini tinggal
gerombolan anak buah Kebo Bangah belaka yang jumlahnya tak lebih dari dua
puluh orang. Mereka tak berani bergerak, tetapi pula tak berani
meninggalkan majikannya yang masih saja kehilangan kesadarannya. "Kebo
bangkotan ini memiliki ilmu bukan sembarangan," kata Gagak Seta lagi.
"Meskipun kita tak usah takut, untuk meruntuhkan dalam dua tiga gebrakan
adalah mustahil. Tetapi melawan tenaga sakti cucu muridmu, dia mati kutu.
Nah, kau mau bilang apa? Bukankah hidup ini selalu bersemi tiada
berkeputusan? Hidup ini bagaikan gelombang samudera. Yang satu disusul
lainnya. Yang lebih besar dan yang lebih dahsyat. Di kemudian hari tinggal
kisah tentang tulang belulang kita yang kian jadi keropos." Setelah berkata
demikian, Gagak Seta tertawa mengguruh. Dan diam-diam Kyai Kasan Kesambi
berpikir, bocah ini memang besar rejekinya. Dia telah menemukan suatu
mustika tiada taranya dalam dunia. Tenaga saktinya luar biasa dahsyatnya.
Bakatnya kuat dan pengucapan hatinya bagus pula. Hanya saja meskipun hebat,
belum terhitung luar biasa. Nanti, kalau dia sudah sadar apa arti kebajikan
hidup untuk bangsa dan negaranya, itulah baru luar biasa. Sedikit banyak ia
bisa menyumbangkan hamemayu hayuning jagat '. Meskipun berpikir demikian,
Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut juga. Mendadak sinar matanya yang
tenang beku, berki-latan tajam. Kemudian berkata seolah-olah kepada dirinya
sendiri. "Betapa banyak rakyat jelata yang sudah menjadi korban keganasan
bangsa asing dan suatu kelaliman, tak terhitung jumlahnya. Justru kini
kudengar, rakyat seluruh Mataram sedang bergerak menegakkan keadilan. Dan
kalau kita yang tua-tua ini bisa menyumbangkan sisa hidup untuk sekedar
menyiramkan darah di atas bumi pertiwi ini, bukanlah sia-sia hidup kita
ini. Orang hidup semenjak dahulu siapalah yang tidak akan mati. Dan kita
sudah bekerja sebisanya. Biarlah sedikit meninggalkan semangat hidup kepada
angkatan mendatang." Mendengar ucapan Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta
terkejut sampai tergetar hatinya. Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Ki
Hajar Karangpandan, Jaga Saradenta dart para pendekar muda lainnya berubah
pula wajahnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang keadilan. Karena itu tak
mengherankan, hati mereka terhanyut dalam keharuannya masing-masing.
"Semenjak dahulu, kita yang menamakan diri orang-orang gagah, merasa takluk
padamu." kata Gagak Seta. "Seumpama engkau kini lebih muda lima enam puluh
tahun lagi, hari ini akan kuajak turun gunung untuk berlomba memercikkan
darah yang tak berharga ini." "Itulah tak perlu," potong Kyai Kasan
Kesambi. "Engkau sudah bekerja sebisa-bisamu. Nyatanya engkau berhasil
menyulap cucu muridku menjadi manusia lain." "Eh, eh! Siapa bilang? Siapa
bilang?" Gagak Seta menolak pemberian jasa itu untuk yang kedua kalinya.
"Kalau saja anakku Sangaji bisa menjadi manusia lain sebenarnya engkaulah
yang berjasa. Kau tak percaya? Lihat!" Sehabis berkata demikian, mendadak
saja ia melesat menyerang Sangaji. Sudah barang tentu Sangaji yang tak
menduga sama sekali akan diserang gurunya, gugup setengah mati. Kalau saja
Gagak Seta berniat jahat, dia akan kena hantaman telak. Meskipun tidak akan
melukai, setidak-tidaknya bakal kesakitan juga. "Hai, tolol!" damprat Gagak
Seta. "Mengapa kau diam saja? Dalam dunia ini, tidak semuanya berjalan
lancar. Kau harus mengenal kelicikan dan kelicinan orang. Belum tentu
gurumu, sanak saudaramu dan sahabatmu sejujur detak jantungmu. Kalau
kaukena serangan mendadak, bukankah baru sadar setelah engkau memasuki
liang kubur? Sekarang, siaplah!" "Guru!" kata Sangaji gugup. "Bagaimana
bisa aku ..." "Aku ingin menguji ilmu kepandaianmu. Bukankah engkau sudah
sanggup meruntuhkan pendekar besar Kebo Bandotan?" Setelah berkata
demikian, kembali Gagak Seta menyerang dengan mendadak. Secara wajar,
Sangaji mengelak cepat sambil berseru gap-gap: "Guru...! Bagaimana aku..."
"Bocah tolol!" Gagak Seta mendamprat lagi. "Dalam suatu adu ilmu
kepandaian, siapa yang lengah dia bakal tewas." Dalam hidupnya, orang yang
memanggilnya dengan istilah tolol hanyalah empat orang. Gagak Seta,
Titisari, Jaga Saradenta dan Fatimah. Karena itu mendengar Gagak Seta
memanggilnya dengan istilah tolol, ia tak bersakit hati. Meskipun dia kini
jauh berlainan daripada dahulu. Namun panggilan itu sendiri membuat
ingatannya kembali kepada pertemuannya yang pertama dengan Gagak Seta.
Karena itu hatinya lemas dengan sendirinya. "Kau memang anak tolol! Apakah
engkau akan membiarkan dirimu kumakan mentah-mentah? Meskipun kau kini
memiliki suatu keperkasaan, bukankah engkau terdiri dari darah dan daging?
Tangkislah tolol! Aku hendak mengujimu, apakah tubuhmu benar-benar lebih
keras dari sebatang pohon!" Melihat sikap gurunya dan mendengar kata-kata
menguji, Sangaji seperti memperoleh sebintik cahaya. Lantas saja ia hendak
mencoba pula ilmu Kumayan Jati dengan dasar tenaga sakti yang sudah
diperolehnya. Maka sebentar saja mereka telah berkelahi dengan cepat.
Sambaran angin mereka hebat bukan main sampai atap paseban bergoyangan.
Karena itu akhirnya mereka keluar halaman. Mereka semua lantas saja ikut
lari keluar. Para cantrik pontang-panting menyalakan obor dan lampu. Dengan
demikian gelanggang pertempuran jadi terang benderang. Diam-diam Gagak Seta
bergirang hati melihat kemajuan muridnya. Tenaganya hebat, sampai ia tak
berani menangkis dengan berhadapan. Pikirnya dalam hati, benar-benar
berhasil dia melebur tenaga saktinya menjadi satu. Tapi kalau aku yang
dikatakan berjasa, sama sekali tidak. Setelah berpikir demikian dia
berseru, "Anak tolol! Kumayan Jati berasal dariku. Betapa hebat tenagamu
kini, tapi kau tak bakal bisa berbuat banyak terhadapku. Kau adalah khas
cucu murid Gunung Damar. Masakan eyang gurumu tak ikut berbicara dalam
membentuk dirimu?" Diingatkan demikian, Sangaji terus merubah jurusnya.
Kini ia menggunakan ilmu ciptaan eyang gurunya Sura Dira Jayaningrat Lebur
Dening Pangastuti. Sewaktu memunahkan dan menangkis serangan Kebo Bangah
diapun menggunakan salah satu jurusnya dibarengi dengan dasar tenaga
saktinya. Tetapi aneh. Meskipun menghadapi gurunya ia tak meng-gunakan
tenaga penuh, namun jurus ilmu itu sendiri sama sekali tak dapat menyentuh.
Bahkan menyambar selembar bulunyapun tidak. Semua yang hadir di situ adalah
para pendekar jempolan. Merekapun tadi melihat dan menyaksikan sewaktu
Sangaji menggempur Kebo Bangah. Karena itu mereka heran apa sebab ilmu itu
macet menghadapi Gagak Seta. Apakah Gagak Seta lebih hebat daripada Kebo
Bangah? Hanya seorang belaka yang tahu apa sebabnya. Yakni, Kyai Kasan
Kesambi sendiri. Seperti diketahui, ilmu ciptaan itu terjadi sewaktu
melihat nasib muridnya Wirapati yang remuk tulang belulangnya oleh aniaya
musuh. Meskipun tak pernah terucapkan. tetapi orang tua itu teringat kepada
lawan besarnya yang sangat licik, licin dan serba pandai. Itulah Kebo
Bangah dan Adipati Surengpati. Terhadap Gagak Seta, ia tak mempunyai
prasangka. Sebab meskipun berwatak angin-anginan Gagak Seta adalah seorang
ksatria. Itulah sebabnya, maka cip-taannya itu merupakan ilmu pemunah dan
penggempur kedua lawan besarnya. Sekarang Sangaji menggunakan ilmu
ciptaannya melawan Gagak Seta. Tentu saja hilanglah daya gunanya. Gagak
Seta dapat bebas bergerak tanpa rintangan. Untung tenaga sakti Sangaji
bukan main hebatnya dan Gagak Seta sendiri tak berniat berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian ilmu sakti Kuma-yan Jati dan Sura Dira
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, tak dapat saling menyentuh. Gagak
Setapun akhirnya sadar. Terus saja ia melompat ke luar gelanggang dan
menghampiri Kyai Kasan Kesambi. Lalu berkata nyaring, "Terang sekali, bahwa
engkaulah yang berjasa membentuk anakku Sangaji menjadi manusia lain. Kalau
tidak, masakan Kebo Bangah bisa terjungkal dengan gampang. Hebat! Sungguh
hebat! Memang semenjak siang-siang aku merasa takluk. Engkaulah pendekar
besar utama dalam zaman ini." "Belum tentu. Buktinya ilmu ciptaanku sama
sekali tak berdaya menghadapimu," sahut Kyai Kasan Kesambi tenang. Tetapi
Gagak Seta menggoyang-goyangkan tangan. Mau ia berkata lagi,
sekonyong-konyong terdengarlah suara tertawa bergelora. Semua yang berada
di situ terperanjat sampai menoleh. Itulah Kebo Bangah yang tiba-tiba
memperoleh kesadarannya kembali. "Lho! Aku ini siapa?" Kebo Bangah
berteriak, Ia mengawaskan Sangaji. "Hai! Kau selama ini ke mana? Dewaresi!
Kau ini memang bandel, sampai setengah mati aku mencarimu.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Iwak ternyata seneng guyonan....

Iwak ternyata seneng guyonan....

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Lemadang

Whip it Wednesday 🤙🏼
.
.
.
.
@aftco 📸
#fishing #instagramfishing #saltlife #outdoors #mahi #fishingtrip #gopro

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail