9.25.2015

Metropolis


From: A.Syauqi Yahya 


Metropolis

SENIN, 14 SEPTEMBER 2015

Ada sebuah kota fantasi yang terbelah. Tapi barangkali tak istimewa. Tiap kota besar selalu terbelah.
Di satu lapis, ruang hidup dibentuk penduduk yang kaya raya; di lapis lain, orang-orang yang miskin dan terpojok. Di satu sisi, ada bagian yang selalu ingin diperlihatkan, sebagai scene; di sisi lain, bagian yang hendak disembunyikan, obscene.
Metropolis, karya Fritz Lang yang termasyhur, menampilkan keterbelahan itu dengan gamblang--meskipun kota dalam film ini cuma sebuah fantasi tentang masa depan. Diproduksi pada 1927, film bisu ini bercerita tentang sebuah kota raya nun pada tahun 2026, yang berdiri dengan bangunan dan infrastruktur yang di mana pun di dunia waktu itu belum pernah ada.
Tapi pesan moralnya amat tua.
Di balik gedung-gedung megah yang menjulang ke langit dan jalan-jalan raya yang terbentang jauh di atas tanah, kekuasaan berada di tangan keras satu orang: Joh Fredersen. Ia bukan tokoh politik. Ia pemilik modal. Ia tampak sendirian, tanpa saingan, tanpa bergandengan tangan (atau berhadapan) dengan kekuasaan lain. Bahkan di layar putih itu, kita mendapatkan kesan sebuah kota besar yang amat lengang. Tak ada manusia berkerumun. Tak ada Negara. Fredersen Dewa Modal Yang Maha-Tunggal.
Tapi sejak film ini bermula kita tahu, ada yang mengerikan dan menyedihkan di balik itu: ribuan pekerja yang tak berwajah tampak menggerakkan seantero metropolis dari sebuah ruangan mesin di dunia bawah.
Mereka, seperti kemudian tampak dalam film Modern Times Charlie Chaplin, bekerja dengan murung di celah keperkasaan mesin. Mereka adalah barisan panjang yang berseragam dan berjalan kaku seperti boneka. Hidup mereka diarahkan waktu yang terukur persis. Dengan disiplin yang absolut. Tanpa senggang. Tanpa percakapan.
Film ini memang sebuah imajinasi tentang masa depan yang mencemaskan, sebuah dystopia. Bertahun-tahun setelah karya Fritz Lang, kita temukan kembali thema itu dalam film seperti Blade Runner dan Children of Men: masa depan adalah kegelapan. Kelak adalah neraka. Harapan dihabisi dengan anti-utopia.
Tapi tiap dystopia pada dasarnya sebuah kritik tentang hidup di hari ini. Tak ada masa depan yang tak disemai sekarang. Fritz Lang dan filmnya hidup sezaman dengan para pelukis Ekspresionis Jerman di masa Republik Weimar, setelah Perang Dunia I. Pada dua dasawarsa awal abad ke-20 itu, seniman-seniman ini menyaksikan ambruknya kehidupan justru di tengah optimisme sebuah kota modern.
Grosz, misalnya, melukis Berlin dalam Großstadt (1916-1917): dengan warna merah muram di angkasa, metropolis itu, Berlin, tampak sebagai ruang tanpa akhlak. Kanvas Grosz menampilkan secara karikatural orang-orang kaya dengan perut menggelembung; lelaki, berpakaian necis di sebuah kafe yang menatap perempuan yang duduk hampir telanjang; pria dengan wajah babi yang berciuman mulut dengan wanita bugil....
Seperti Metropolis Fritz Lang, ada bayang-bayang kesalihan di sini: uang adalah akar mala dan kekejian, kata Injil. Fritz Lang menampilkan alegori dari Alkitab tentang pelacur Babilonia dan angkuhnya menara Babil; Großstadt juga mengumandangkan kembali kecaman agama kepada tubuh dan syahwat--meskipun Grosz seorang komunis, dengan sikap antikapitalis yang sengit. Mungkin karena yang hendak diperlihatkannya sebenarnya sebuah kota yang ingin menyembunyikan bagian dirinya sendiri yang obscene.
Ia pernah mengatakan, ia sendiri seperti sosok-sosok yang digambarnya; di satu saat ia "orang kaya... yang memadati perutnya dengan makanan dan menenggak sampanye". Tapi di saat lain ia juga orang yang berdiri di luar pintu, diguyur hujan, mengemis. "Aku seakan-akan terbelah dua."
Persoalannya: apa yang akan terjadi dengan keterbelahan ini? Apa yang bisa dilakukan? Revolusi? Baik Fritz Lang maupun Grosz mengelak.
Grosz kemudian pindah ke Amerika, bosan dengan kanvasnya sendiri yang karikatural. Dalam Metropolis, konflik antara Fredersen, sang superkapitalis, dan para buruhnya yang tertindas tak diselesaikan dengan pemberontakan. Metropolis akhirnya hanya sebuah melodrama.
Sang Dewa Kapital yang digambarkan tak punya hati kemudian jadi insaf karena rasa sayang kepada anaknya yang tunggal, Freder. Seperti Sidharta Gautama, Freder dilindungi di istana agar tak pernah melihat penderitaan. Tapi suatu ketika ia bertemu dan jatuh cinta kepada Maria, perempuan muda pelindung si miskin. Seperti Gautama, Freder berubah. Ia memihak yang ditindas.
Tapi film ini diakhiri dengan jabat tangan. Yang semula sebuah dystopia berujung pada utopia. Dengan gampang.
Dalam banyak hal, Metropolis--yang pekan lalu diputar di Teater Jakarta, dengan iringan musik hidup dari Orkestra Babelsberg, sebagai awal festival German Season--adalah sebuah prestasi sinematik yang mengagumkan, yang mendahului masanya. Tapi ia juga sebuah cerita yang itu-itu saja: membawakan petuah tua.
Ajaran moral sering sangat menyederhanakan sejarah, seakan-akan hidup hanya dihuni ide-ide yang sudah jadi. Tapi Metropolis cocok dengan itu: karya ini megah tapi tampak lebih mengutamakan gambar bidang-bidang yang tertib, ketimbang apa yang tak terduga-duga dalam manusia. Di awal film, orang-orang yang di bawah itu ditertibkan Fredersen dan kekuasaannya. Di akhir film, mereka ditertibkan Maria dan kemuliaannya.
Si lemah tetap tak berwajah, tak bernama. Jangan-jangan mereka tak dianggap hidup, hanya jembel dalam sebuah kota yang terbelah.
Tak mengherankan bahwa Partai Nazi bertepuk tangan untuk Metropolis.

Goenawan Mohamad

http://www.tempo.co/read/caping/2015/09/14/130012/metropolis

--

Luka


From: A.Syauqi Yahya 


Luka

SENIN, 21 SEPTEMBER 2015

Seorang tua yang hampir bisu, kehilangan ingatannya, juga kehilangan anaknya dalam sejarah yang menakutkan: dia kakek pikun dalam film Joshua Oppenheimer, The Look of Silence.
Dalam film yang hendak menampilkan kekejaman di Indonesia di pertengahan 1960-an itu, tokoh setengah lumpuh ini seakan-akan sebuah alegori tentang berat dan bisunya masa lalu.
Saya menonton The Look of Silence di sebuah bioskop di Glasgow, Skotlandia, dua pekan yang lalu. Sebagian besar hadirin tak kenal Indonesia. Agaknya film Oppenheimer ini introduksi pertama tentang kepulauan yang jauh, rumit, eksotis, dan tak tenteram itu.
Adegan awal: di sebuah rekaman video, dua lelaki tua usia 70-an. Kemudian kita ketahui mereka hidup di Deliserdang, 30 kilometer dari Medan. Dengan bangga mereka ceritakan bagaimana dulu mereka habisi "orang komunis" di tepi Sungai Ular.
Kemudian ditunjukkan kedua lelaki tua itu datang ke sungai itu. Di sini cerita lebih rinci: misalnya, untuk mematikan seorang korban yang kuat, mereka tebas kemaluannya dari belakang. Sang pembunuh menirukan suara orang yang dibunuhnya ketika berteriak minta tolong.
Di adegan lain pembunuh itu bahkan menunjukkan sebuah buku panjang di mana ia menuliskan pengalamannyaâ€"dengan gambar adegan kebuasan yang dilakukannya.
Di latar yang lain, pembunuh yang satunya mengisahkan bagaimana ia memotong buah dada seorang perempuan sebelum menyembelihnya. Tiap kali membantai, ia minum darah korbannya. Agar tak jadi gila, katanya. Seorang tua lain, duduk di sebelah anaknya, menceritakan ia selalu membawa gelas sebelum menyembelih. Dari mana darah ditakik? Dari leher yang dilubangi. Suatu kali ia mengirim sepotong kepala ke sebuah toko orang Cina; hanya untuk menakut-nakuti.
The Look of Silence: sebuah karya sinematik yang ulung. Kameranya pas mengambil angle, gambarnya cemerlang, tokohnya hadir kuat, editingnya membentuk suspens yang memukau. Konstruksi film ini begitu apik hingga dunia yang direkamnya seakan-akan siap dijadikan sebuah narasi.
Mengagumkan bahwa Oppenheimer berhasil menghadapkan para tokoh sejarah yang mengerikan itu dengan Adi. Laki-laki berumur 44 tahun itu punya abang, Ramli namanya, yang dibantai. Adi menanyai orang-orang tua itu, mencoba menarik maaf dari mereka, mendorong agar mereka ungkapkan masa lalu yang ganas itu.
Dari situlah cerita film ini terbentuk.
Sehabis film, sayaâ€"tamu dalam festival Discover Indonesiaâ€"diminta menjawab pertanyaan. Segera saya sadar: begitu besar jurang informasi antara The Look of Silence dan penontonnya yang kagum. Penduduk Glasgow itu tak tahu apa sebenarnya para pembunuh itu: petani, buruh, tuan tanah, algojo profesional? Mengapa bangga akan kebuasan mereka? Mereka menyatakan diri antikomunis. Tapi tak jelas mengapa sikap itu saja membuat mereka jadi pembunuh yang fanatik. Dari mana kebencian seintens itu?
Dalam perjalanan pulang, seorang penonton bertanya soal yang lain: siapa sebenarnya korban para pembantai itu? Mereka dianggap anggota PKI, jawab saya. Tapi jawaban itu tak memuaskan tampaknya. Apakah PKI waktu itu partai ilegal, organisasi musuh yang sembunyi-sembunyi? Tidak. PKI salah satu partai yang kuat di tahun 1960-an, jawab saya lagi. Dari film dapat disimpulkan korban dan pembunuhnya lama hidup bertetangga; tentunya mereka saling tahu pilihan politik masing-masing. Mengapa mendadak bangkit keinginan membasmi? Dan mengapa PKI tak memukul balik?
Saya ingin menjelaskanâ€"tapi saya sadar, untuk itu perlu sebuah ceramah panjang tentang sejarah politik Indonesia (yang setengahnya tak saya ingat). Mungkin perlu juga sejarah sosial: penonton yang tak kenal perbedaan bahasa, logat, dan kelompok sosial Indonesiaâ€"karena hanya membaca teks dalam bahasa Inggrisâ€"tak akan tahu bahwa ibu Ardi berbahasa Jawa dan ayahnya, pak tua yang sudah kehilangan ingatan itu, mungkin pendatang dari Jawa yang sudah bertahun-tahun hidup di wilayah orang Melayu dan Tapanuli; dalam kepikunannya, ia hanya ingat sebuah lagu Melayu. Kenapa ia di sana, kenapa mereka di sana, dan mungkinkah konflik jadi sengit karena asal-usul, saya hanya menduga.
Yang pasti saya tak bisa menjelaskan kenapa Ramli, kakak Adi, diceritakan dihajar dan akhirnya dibantai. Dan saya terdiam ketika datang pertanyaan yang lebih mendasar: kenapa masa lalu perlu diungkapkan jika hasilnya bukan rekonsiliasi, bukan pula penyesalanâ€"malah resah risau dan mungkin kembalinya kebencian?
Masa lalu itu sebuah "luka", kata seorang lelaki yang lepas dari genosida Sungai Ular. Luka lama, kata seorang penggerak aksi pembantaian. Dan pemotong buah dada itu marah ketika Adi menggali lebih jauh apa yang dulu terjadi. Ibu Adi takut. Ada kecemasan bila luka itu dibuka lagi, koreng malah menjadi-jadi.
Sebaliknya bagi Adi dan Joshua: membuka balut luka itu justru akan menyembuhkan. Lupa berbahaya, kekejaman serupa bisa berulang.
Tapi mungkin karena mereka berdiri di luar luka itu. Mereka tak mengalami kepedihan, kerumitan, dan kebengisan itu; mereka lahir setelah 1965. Joshua anak Texas; Adi lahir setelah tak ada lagi Ramli. Mereka ingin tahu.
Tapi tentu saja pengetahuan berbeda dari ingatan. Mengetahui adalah menguasai realitas; mengingat bahkan tak selamanya menguasai masa lalu.
"Mengingat semua perkara adalah satu bentuk kegilaan," kata Hugh, guru tua pemabuk dalam lakon Translations Brian Friel, sebuah cerita dengan latar konflik berdarah di Irlandia.
Dalam The Look of Silence, kakek setengah lumpuh itu, ayah Adi, tak gila. Ia hanya ingat sebuah nyanyi.

Goenawan Mohamad

http://www.tempo.co/read/caping/2015/09/21/130022/luka

--
--

Kretek


From: A.Syauqi Yahya


 
Kretek

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/09/20/1902/kretek

SABTU, 19 SEPTEMBER 2015 | 23:31 WIB

Putu Setia

@mpujayaprema

Di negeri yang banyak masalah ini, bukan hanya urusan asap dan gaji presiden yang membuat gaduh. Sebentar lagi sebuah kata akan ramai diperdebatkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kata itu adalah "kretek".
Yang unik, "kretek" tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada "keretek". KBBI memberi tiga arti: (1) bunyi daun terbakar, (2) rokok yang tembakaunya dicampuri serbuk cacahan cengkih, (3) kereta berkuda beroda dua, dokar.
Kata "kretek" muncul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sebentar lagiâ€"kalau DPR bekerja normal setelah tunjangannya dinaikkanâ€"akan dibahas. RUU ini sangat penting untuk bangsa yang dulu pernah berbudaya luhur. Semangat RUU ini adalah mari kita warisi dan lestarikan budaya asli Nusantara.
Pasal 36 berbunyi, "Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab, menghargai, mengakui, dan/atau melindungi sejarah dan warisan budaya." Lalu pasal 37 disebutkan apa-apa yang perlu diberi penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan itu. Ada 14 poin dan salah satunya: "kretek tradisional". Tak ada penjelasan, apa yang dimaksud "kretek tradisional" itu.
RUU Kebudayaan merinci ke-14 poin warisan budaya itu. Dalam pasal 49 disebutkan bagaimana memberi penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya terhadap "kretek tradisional". Caranya: (a) inventarisasi dan dokumentasi, (b) fasilitasi pengembangan kretek tradisional, (c) sosialisasi, publikasi, dan promosi kretek tradisional, (d) festival kretek nasional.
Ihwal "kretek tradisional" berhenti di pasal-pasal itu, pertanyaan besar yang akan bikin gaduh, apa "kretek" itu? Jika yang dimaksudkan adalah "keretek" dan mengambil arti dalam kamus, "bunyi daun terbakar", tentu mengada-ada. Meski kita tahu DPR sering bikin ulah, membuat undang-undang tentang "daun yang terbakar" (dan bukan hutan yang terbakar) tentu kebangetan. Maka para pemerhati pun beralih ke arti yang lain dalam kamus: berurusan dengan rokok. Lantas RUU ini "diduga" mau mengatur soal rokok kretek yang sengaja kata "rokok" dihilangkan untuk kamuflase. "Undang-undang ini pasti permainan raja-raja rokok untuk kepentingan bisnisnya," begitulah mungkin aktivis kesehatan bereaksi.
Supaya tulisan ini juga berpotensi bikin gaduh, anggap saja benar yang dimaksud dalam RUU Kebudayaan itu adalah soal rokok-merokok yang dibalut dengan keretek. Apakah itu pantas menjadi warisan budaya? Pada masa tembakau belum ditanam, leluhur kita mewariskan kebiasaan makan sirih dicampur buah pinang. (Di Bali lantas dinamai "nginang"). Ketika tembakau didatangkan dari Eropa, dan Belanda "memaksa" petani tanam tembakau, leluhur kita menggunakan tembakau sebagai "penutup makan sirih".
Munculnya tembakau yang dibakar dan kemudian disebut rokok justru dianggap sebagai budaya yang menyimpang. Para perokok digolongkan "pemberontak budaya" setidak-tidaknya "imannya meragukan", begitulah kisah sejak Roro Mendut, perokok (non-kretek) sejati. Kini, di abad modern, rokok disebut pembunuh (di bungkusnya ada peringatan "Rokok Membunuhmu"). Pembatasan merokok dilakukan di banyak tempat. Bukankah itu menjadi aneh kalau ada undang-undang yang menyebut kretek (meski tak ada kata rokok) harus dilindungi, dipromosikan, difestivalkan, dan seterusnya?
Akhirnya, mari berpikir adem, mudah-mudahan "kretek" dalam RUU Kebudayaan ini dimaksudkan "keretek" yang berarti kereta berkuda yang memang layak difestivalkan. Semoga DPR bijak, jelaskan dulu apa arti "kretek" dalam RUU itu sebelum ada yang berniat gaduh.

--
--

9.01.2015

1945


From: A.Syauqi Yahya 


1945

http://www.tempo.co/read/caping/2015/08/17/129982/1945

SENIN, 17 AGUSTUS 2015

"...dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

—Bagian dari teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945
Revolusi tak pernah "seksama". Tak ada revolusi yang dikerjakan dengan teliti, sistematis, terjaga dari kemelesetan. Revolusi justru memelesetkan. Ia tak hendak mengikuti apa yang sudah digariskan kekuasaan yang mendahuluinya.
Itu sebabnya 17 Agustus 1945 sebuah momen revolusi: di pagi itu dinyatakan lahirnya sebuah negeri baru. Penguasa Hindia Belanda, yang rapi dan represif, telah runtuh, juga rezim militer Jepang, yang kokoh dan bengis, telah kalah. Mereka tak ada lagi. Hubungan-hubungan kekuasaan di Indonesia berubah secara radikal.
Pelbagai tatanan terguncang, juga acuan tentang waktu dan kesabaran. Semua hendak dikerjakan "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Chaos menyusul sebelum dan sesudahnya.
Dua bulan setelah 17 Agustus 1945, di tiga kota Pantai Utara Jawa kaum pemuda militan kelas bawah meledakkan dendamnya kepada para pamong praja yang di masa penjajahan dianggap membantu Belanda dan Jepang. Para priayi dibunuh atau dianiaya. Raden Ayu Kardinah, adik Kartini yang menikah dengan Bupati Tegal, diarak keliling kota dengan diberi pakaian kain goni.
Hampir setahun kemudian, kekerasan merebak di Sumatera Utara dan Timur, ketika rakyat yang selama itu dipinggirkan menumpas kekuasaan para bangsawan Kesultanan Melayu. Dari Langkat sampai dengan Simalungun, sejumlah aristokrat, termasuk penyair Amir Hamzah, disembelih.
"Pemindahan kekuasaan" yang dijanjikan teks Proklamasi tak benar telah disiapkan "dengan cara seksama". Selama tahun 1940-an itu, Indonesia terguncang-guncang. Pada 1948, Surakarta menyaksikan gerakan pelbagai kelompok politik, bersenjata atau tidak, kian eksplosif. Culik-menculik terjadi. Pasukan pemerintah dilucuti pasukan pro-PKI. Setelah Musso, yang datang ke Tanah Air dari Uni Soviet, memaklumkan berdirinya republik "soviet" di Madiun, Divisi Siliwangi datang. Dalam rangkaian kejadian itu, pertumpahan darah yang mengerikan berlangsung....
Kekerasan, chaos, jatuhnya ribuan korban, semua atas nama "revolusi", tidak hanya terjadi di Indonesia. "Revolusi bukan jamuan makan malam," kata Mao Zedong dari sejarah RRT. Ia berbicara dari pengalaman Tiongkok yang keras, tapi agaknya juga berdasarkan catatan sejarah.
Bahkan juga sejarah Revolusi Amerika. Revolusi ini umumnya dibayangkan sebagai peristiwa besar yang berpusat pada selembar deklarasi yang ditandatangani. Tanpa darah. Tak ada gedung penjara besar yang dihancurkan (seperti Revolusi Prancis), tak ada peluru meriam ditembakkan dari kapal sebagai aba-aba penyerbuan pasukan pemberontak (seperti Revolusi Rusia). Dari jauh tampak bahwa yang terjadi, seperti dalam Revolusi Indonesia, hanya satu teks yang ditulis, diumumkan, diterima.
Jika dilihat lebih dekat: kekacauan.
Republik federal baru yang dibentuk dari pelbagai state itu (dalam bahasa Indonesia disebut "negara bagian") tak segera bersatu-padu. Kongres tak mampu menghimpun pajak yang memadai dari mereka, sementara dana diperlukan buat biaya pemerintahan. Konflik antara pendatang dan penghuni wilayah baru meletus di sana-sini. Perselisihan agama di antara gereja Kristen yang berbeda-beda berkecamuk. Perbudakan tak berubah, hak pilih perempuan dibatasi.
Mengamati itu semua, di awal 1800-an Thomas Jefferson, salah satu bapak pendiri republik baru itu, yakin bahwa Amerika berjalan mundur, bukan maju. Bahkan seorang penanda tangan Deklarasi Kemerdekaan, Benjamin Rush, menulis pada 1812: "Eksperimen revolusi Amerika... pasti akan gagal." Ia pun membakar semua catatannya yang semula ia siapkan untuk disusun sebagai memoar. Beberapa puluh tahun setelah itu, Amerika Serikat berdarah-darah oleh Perang Saudara.
Sebenarnya, kekecewaan selalu membayang dalam proses revolusi mana pun. Revolusi adalah anak waktu. Semangatnya dilecut waktu, dan gagasannya dibimbing waktu sebagai garis lurus dengan optimisme "idea of progress". Tapi waktu juga yang kelak akan memudarkannya.
Mungkin, secara instingtif, itulah yang disadari para perumus Proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka mengharapkan—kalaupun bukan menjanjikan—cara yang "seksama" dan sekaligus proses kerja "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Akan aneh seandainya mereka tak tahu ada kontradiksi dalam kedua bagian kalimat itu.
Kontradiksi itulah kemudian terbukti yang menyebabkan revolusi Indonesia (sebagaimana revolusi Amerika dan lain-lain) tak jelas rumusan hasilnya.
Tapi tak berarti revolusi tak punya arti. Revolusi tak akan jera bangkit. Revolusi adalah teriak dan tindakan yang menolak keadaan hari ini, sekaligus teriak dan tindakan berangkat ke perjalanan lepas—seperti satu sajak Rivai Apin pada 1940-an itu.
Sang penyair mengutuk kebekuan sekitarnya:
Apa di sini

Batu semua!
Yang ia inginkan adalah "taufan gila" dan "ombak tinggi" yang "perkasa" yang mengguncang hingga "kayu kapal berderak-derak". Jika kita rasakan semacam kegetiran di sana, mungkin itulah yang disebut Nietzsche sebagai "pesimisme Dionysian": muram tapi berani menemui "yang menakutkan dan penuh tanda tanya".
Tak ada tujuan yang mengikat. Tujuan macam itu berarti kemandekan baru: sesuatu yang dipatok sebelum sauh diangkat. Bagaimanapun yang dihadapi adalah masa depan yang secara radikal terbuka—masa depan yang tak kita kuasai dan menguasai kita, masa depan yang juga menyiapkan kita untuk kecewa.
Jangan-jangan itulah perspektif terbaik abad ke-21: abad yang kian cepat berubah, tujuh puluh tahun setelah 1945.

Goenawan Mohamad

--

Merdeka


From: A.Syauqi Yahya 


Merdeka

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/16/1862/merdeka

MINGGU, 16 AGUSTUS 2015 | 00:12 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema

Begitu melihat saya, Romo Imam langsung berteriak, "Merdeka... merdeka...." Saya tertawa. Sudah sebulan lebih saya tak berkunjung ke padepokan Romo. Beliau begitu sumringah tampaknya. "Tujuh puluh tahun merdeka, kita harus semangat. Ayo kerja," katanya lagi.
"Tapi Romo, apa masyarakat juga semangat? Tak ada gapura yang saya lihat di mulut gang seperti dulu. Tak ada patung pejuang dengan senjata bambu runcingnya," kata saya. Kini Romo yang tertawa, "Zaman sudah berubah. Untuk apa membuat gapura, cukup membuat baliho besar. Lebih murah. Masyarakat juga sulit diajak gotong-royong membuat gapura. Apalagi ada bambu runcingnya, memang anak-anak sekarang mengenal makna bambu runcing?"
Romo Imam sangat ceria. Saya pun berani bebas bicara. "Kalau begitu, tradisi merayakan tujuhbelasan sudah mulai bergeser, ya, Romo? Bukan lagi teringat kepada pejuang yang membuat negeri ini merdeka. Yang lebih diingat adalah bagaimana bisa memanfaatkan perayaan tahunan ini untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok. Atau juga membagikan hadiah kepada para kolega dengan dalih telah berjasa luar biasa kepada negara. Hadiah itu, misalnya, piagam yang diterima para tokoh atau bisa pula hadiah remisi untuk narapidana, termasuk para koruptor."
Romo mendadak memelototi wajah saya. Lalu katanya, "Sampeyan tidak setuju koruptor diberikan remisi tujuhbelasan?" Saya langsung menjawab, "Bukan soal setuju atau tidak, tetapi kan ada aturan yang membuat remisi untuk koruptor diperketat. Sekarang malah ada yang disebut remisi dasawarsa karena ulang tahun kemerdekaan ini pada kelipatan sepuluh."
"Apa yang sampeyan maksudkan dengan piagam tahunan itu? Pemberian bintang kehormatan mahaputra dan bintang jasa kepada para tokoh itu? Sampeyan tidak setuju?" tanya Romo lagi. "Lagi-lagi bukan masalah setuju atau tidak, Romo," kata saya cepat. "Saya pun tak bermaksud nyinyir, nanti ada tuduhan kalau saya cuma iri. Padahal apalah saya ini."
Romo tak lagi menatap saya dengan tajam. Saya pun menyesal berbicara terlalu bebas. Tiba-tiba Romo berkata lebih kalem, "Memang bintang kehormatan tahun ini banyak dipertanyakan. Seseorang yang menduduki jabatan komisioner hanya satu periode, apakah itu di komisi pemilihan umum, komisi yudisial, hakim mahkamah konstitusi, sudah mendapat bintang kehormatan sejajar dengan budayawan yang sepanjang hidupnya berkarya? Penghargaan dari negara ini semestinya mengandung unsur keteladanan. Seseorang yang diberi bintang sebagai tokoh pers, bagian mana dari orang itu yang harus diteladani? Padahal tokoh itu pemilik stasiun televisi yang menggunakan frekuensi publik, tetapi siarannya banyak untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya."
Romo berhenti sebentar dan saya kaget karena sikapnya yang berubah. Saya langsung memilih diam. "Presiden Jokowi memang susah ditebak, reshuffle kabinet saja dilakukan pada saat orang-orang tak lagi meributkannya," kata Romo. Saya tetap diam, tanpa komentar. "Rizal Ramli yang suka mengkritisi kebijaksanaannya diangkat jadi menteri koordinator. Menteri yang selama ini dianggap menghinanya, malah tak diganti. Ya, kita lihat, mudah-mudahan antar-menteri jadi akur, bukan saling mencampuri dapur masing-masing."
"Apakah ada kemungkinan menteri saling merecoki dapur tetangganya?" tanya saya. Romo menjawab kalem, "Bisa saja jika para menteri punya ego tinggi dan masih beranggapan bahwa presiden itu sebenarnya tak banyak tahu." Wah, saya spontan nyeletuk, "Kalau begitu, Jokowi harus berteriak: merdeka... merdeka... ayo kerja...."

--
--

Wallace


From: A.Syauqi Yahya


Wallace

SENIN, 24 AGUSTUS 2015

http://www.tempo.co/read/caping/2015/08/24/129992/wallace

Ilmu dimulai dengan sifat seorang anak yang takjub.

Dalam salah satu catatannya, Alfred Russel Wallace—orang Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan "teori evolusi"—menyatakan betapa ia, bak seorang anak, terkesima melihat kumbang. Kumbang adalah "keajaiban di tiap ladang". Siapa yang tak mengenalnya "melewatkan sumber kesenangan dan keasyikan yang tak pernah pudar".
Kesenangan dan keasyikan itulah yang membuat Wallace bertahun-tahun mengamati makhluk hidup dari pelbagai jenis dan habitat, meskipun ia bukan ilmuwan dalam arti yang lazim. Karena orang tuanya jatuh miskin, pada umur 14 tahun ia harus putus sekolah. Kemudian ia pindah ke wilayah Wales membantu kakaknya yang punya usaha survei pertanahan.
Di pedalaman itulah ia terpikat pada kehidupan tumbuh-tumbuhan. Ia mulai menelaah pelbagai tanaman dengan penuh antusiasme. "Siapa yang pernah melakukan sesuatu yang baik dan besar kalau bukan orang yang antusias?" ia pernah berkata.
Pada usia 25 tahun ia berangkat ke rimba Brasil, di sekitar Sungai Amazon dan Rio Negro—menjelajah lebih jauh.
"Di sini, tak seorang pun, selama ia punya perasaan kepada yang tak tepermanai dan yang sublim, akan kecewa," tulisnya dari belantara tropis itu. Ia seakan-akan tak bisa berhenti menyebut pepohonan besar yang rimbun, akar dan serat yang tergantung-gantung, burung langka dan reptil yang cantik.
Keajaiban, kata orang, tak ada lagi di dunia modern. Tapi pesona? Bagi Wallace, pesona itu bukan tentang sesuatu yang magis. Ketika kemudian ia menemukan seekor kupu-kupu di Pulau Bacan, Indonesia, ia terpukau menatap sayapnya: "...jantungku berdebar hebat, darah naik ke kepalaku, dan aku merasa seperti akan pingsan."
Ia seperti seorang sufi yang menemukan tanda-tanda Tuhan, atau penyair yang tergerak melahirkan sajak.
Tak mengherankan bila sejumlah seniman merespons dengan ketakjuban baru pelbagai spesimen Wallace dalam "Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam" di Galeri Salihara (15 Agustus-15 September)—sebuah pameran yang menarik: persentuhan seni dan ilmu.
Tapi berbeda dengan bagi perupa, dan bagi sufi, bagi Wallace, seperti patutnya sikap ilmuwan, ketakjuban menghadirkan alam sebagai "problem"; bukan sebagai kasih Tuhan, bukan misteri. Problem adalah sesuatu yang dilemparkan di depan kita untuk dipecahkan. Wallace beranjak dari pesona ke dalam tanya.
Mengapa hewan di Papua dan di Kalimantan berbeda, meskipun kedua wilayah itu beriklim sama dengan geografi yang mirip? Mengapa ada persamaan dunia hewan di Australia dan Papua, meskipun alam yang satu gurun dan yang lain hutan tropis? Bukan karena keajaiban langit.
Adakah spesies X satu varietas dengan Y? Apa beda antara "spesies" dan "varietas?" Adakah "varietas yang permanen"? Bukankah "varietas yang permanen" sebuah konsep yang mustahil? Bukankah dalam alam perbatasan kabur dan dalam evolusi, perbedaan hanya aksidental?
Januari 1858, di ulang tahunnya yang ke-35, dalam penjelajahannya Wallace sampai di Ternate; ia tinggal di sebuah rumah rusak yang disediakan seorang Belanda penguasa pulau. Ia datang untuk menemukan jawab. Suatu hari, dalam keadaan demam, ia terus merenungkan problem ini: teori evolusi yang dirumuskannya mengatakan spesies berubah, tapi bagaimana dan mengapa mereka berubah jadi spesies baru dengan kekhususan yang jelas? Mengapa mereka bisa beradaptasi penuh dengan modus hidup yang berbeda?
Dalam dua jam yang meriang, Wallace merumuskan jawabannya. Dua malam berikutnya ia tuliskan lengkap teori "seleksi alami" dengan survival of the fittest yang termasyhur itu. Ia telah menjelaskan mekanisme perubahan spesies dalam proses evolusi.
Itu juga yang ditemukan Darwin, setelah hampir 20 tahun sebelumnya menyiapkannya—meskipun tak pernah mempublikasikannya. Satu kebetulan yang bersejarah terjadi. Pada 1 Juli 1858, di pertemuan para ilmuwan London, penemuan Darwin dan Wallace dibacakan. Darwin sendiri tak bisa hadir karena berkabung atas kematian anaknya. Wallace berada nun jauh di timur.
Beberapa penulis kemudian mengatakan Darwin hanya mengambil alih buah pikiran Wallace. Dalam The Heretic in Darwin's Court yang ditulis Ross A. Slotten tentang riwayat ilmuwan otodidak yang hampir mati di Ternate itu, disebutkan Darwin memang cemas ketika ia membaca surat Wallace yang memaparkan teorinya—cemas kalau orisinalitas teorinya diragukan. Tapi Wallace tak berkata begitu. Baginya, pengarang The Origin of Species itu penemu sejati teori evolusi.
Tampaknya, bagi Wallace, yang terpenting bukan keunggulan diri. Teorinya belum tentu jawab terakhir. Ia bahkan menelaah apa yang oleh para ilmuwan dalam zaman positivisme itu dianggap "takhayul": pertemuan manusia dengan dunia roh. Wallace, yang menolak jawaban agama yang mengaku paling benar tentang hidup, juga menolak ilmu yang ogah bertanya tentang mati. Keberaniannya adalah ingin tahu.

Goenawan Mohamad

--
--

Papua tetap terasa jauh


From: A.Syauqi Yahya 


Papua

MINGGU, 23 AGUSTUS 2015 | 01:18 WIB

Putu Setia

@mpujayaprema
Tiap kali ada kecelakaan pesawat terbang di Papua, saya selalu membayangkan betapa beratnya Tim SAR menemukan reruntuhan dan mengevakuasi korban. Hutan masih perawan, jalan setapak pun jarang. Papua bergunung-gunung dan lapangan terbang perintis itu lebih banyak di lembah yang dikelilingi bukit. Sudah kondisinya seperti itu, cuaca pun ekstrem, antara cerah dan berkabut tak menentu kapan gilirannya datang.
Sesekali saya merenung, kenapa orang Papua atau mereka yang mencari hidup di Papua, suka naik pesawat? Tentu saja ini renungan salah fokus. Ini bukan persoalan suka atau tidak. Ini persoalan harus bepergian. Kalau tidak naik pesawat, lalu naik apa? Tak ada cara lain, di bumi yang luas itu, jalan darat sangat sedikit. Antar-ibu kota kabupaten belum dihubungkan dengan jalan darat, bahkan yang paling sederhana pun. Antara Sentani dan Oksibil, rute pesawat Trigana Air yang jatuh pada pekan lalu, jaraknya lebih dari 200 kilometer, itu sama dengan berkeliling di Bali yang melintasi delapan kabupaten.
Trigana Air yang jatuh itu tergolong pesawat besar dan mewah untuk ukuran Papua. Bandara Oksibil pun, seperti halnya Bandara Sentani, sejatinya bukanlah bandara perintis. Tidak kecil-kecil amat, tapi fasilitas dan tingkat pengawasan bandaranya tetap saja lemah, jika dibandingkan dengan Bandara Timika yang berstatus internasional. Masih banyak bandara yang lebih kecil dan betul-betul perintis yang hanya bisa disinggahi pesawat jenis Twin Otter. Jangan kira penumpangnya nyaman karena di pesawat itu bisa ditemukan ada kambing atau babi. Kalau ada jeriken-jeriken bahan bakar minyak itu sudah umum. Pengawasan untuk keselamatan penumpang tentu standarnya semakin minim lagi. Lihat saja catatan musibah, sejak 2006 sudah ada sembilan pesawat yang jatuh di Papua. Total korbannya 100 orang lebih.
Papua itu masih wilayah Republik Indonesia, jangan lupa. Tapi terasa jauh. Jauh dari Jakarta. Jauh pula dari perhatian pemerintah. Mungkin banyak yang tak setuju dengan kalimat terakhir ini. Kalau begitu, mari bandingkan dengan Jawa, sebut misalnya Jakarta-Bandung. Dua kota besar ini jaraknya cuma 150 km, lebih pendek daripada Sentani-Oksibil. Penghubung Jakarta-Bandung bisa lewat jalan mulus agak macet lewat Puncak, bisa lewat tol Padalarang, bisa dengan kereta api Parahyangan cuma 2-3 jam, bisa pula lewat udara. Pilihan begitu banyak. Toh, masih juga mau ditambah dengan kereta api cepat yang menghabiskan biaya US$ 5,5 miliar, setara dengan Rp 70 triliun. Orang Jakarta mau dalam tempo 30 menit sampai di Bandung, begitu pula sebaliknya. Tapi untuk apa kalau sampai di Gambir menuju Senayan macetnya berjam-jam?
Jika saja Rp 70 triliun dilempar ke Papua, berapa bandara perintis yang bisa diperbesar? Atau malah bandaranya ditutup karena jalan darat penghubung antar-kabupaten sudah berhasil dibuat. Jika Sulawesi dan Kalimantan iri, ya, sudahlah dibagi saja. Tapi tidak untuk Jakarta-Bandung. Cobalah kita lirik sejenak daerah yang jauh-jauh.
Sulit menjadi pemimpin di negara yang luas ini. Kalau keadilan antar-wilayah tidak diperhatikan, janganlah heran kalau muncul kemudian gejolak-gejolak kecil. Memang bisa diredam dengan janji. Misalnya, ribuan hektare sawah akan dibangun di Merauke, ratusan kilometer jalan darat akan dibuat, bagi hasil tambang Freeport akan difokuskan membangun Papua. Tapi kapan itu? Yang jadi, berita jalan tol di berbagai pelosok Jawa sudah ditenderkan dan perbaikan jalan di Pantura Jawa selalu dikerjakan menjelang Lebaran. Papua tetap terasa jauh.

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/23/1872/papua

--
--

diduga terjadi mega korupsi di kota tercinta, http://berita.suaramerdeka.com/bpkp-didesak-tuntaskan-audit-kasus-pasar-rejowinangun/


From: 'agung widhiantoro' 


BPKP Didesak Tuntaskan Audit Kasus Pasar Rejowinangun

19 Agustus 2015 19:52 WIB Category: Suara Kedu Dikunjungi: kali A+ / A-
Foto Istimewa
Foto Istimewa
SEMARANG, suaramerdeka.com - KP2KKN Jateng mendesak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jateng untuk mempercepat audit atau penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi pada pembangunan kembali Pasar Rejowinangun Kota Magelang Tahun 2011. Surat permohonan itu disampaikan langsung pada Rabu (19/8) dan telah diterima Kepala Bidang Investigasi BPKP Jateng Sotarduga Hutabarat didampingi auditor Imron Rusidi.
Koordinator Divisi Monitoring Aparat Penegak Hukum (APH) KP2KKN Jateng, Eko Haryanto mengungkapkan, sudah 3,5 bulan atau tepatnya 5 Mei 2015 sejak dilakukannya gelar perkara antara Penyidik Kejari Magelang dan Auditor Perwakilan BPKP namun hingga kini masih belum tuntas. "Ada risalah permintaan kepada penyidik untuk melengkapi berkas yang diperlukan dan dari informasi BPKP penyidik Kejari Magelang sudah dua kali paparan terakhir 5 Mei silam," papar Eko Haryanto, Rabu (19/8).
Pihaknya melihat proses penyelidikan kasus itu sudah berlarut-larut padahal bukti-bukti perbuatan merugikan keuangan negara yang diduga dilakukan Wali Kota Sigit Widyonindito, Sekda Sugiharto dan rekanan Direktur PT Putra Wahid Pratama Salatiga Sugiharto Husodo juga sudah mencukupi. Menurutnya jika memang kejaksaan serius menangani kasus tersebut, sudah seharusnya statusnya dinaikkan menjadi penyidikan. "Dari audiensi penyerahan laporan masalahnya ada pada audit BPKP sehingga menghambat penuntasan kasus ini," imbuhnya.
Pasar Rejowinangun yang terbakar habis pada Juni 2008 itu diduga telah mengalami penyimpangan dalam proses pembangunan kembali. Dugaan penyimpangan pembangunan pasar dengan pola investasi bangun guna serah kota Magelang itu diketahui dari investor yang ditunjuk langsung secara lelang. "Sekretaris Daerah Kota Magelang selaku TKKSD atas persetujuan Walikota Magelang telah menunjuk langsung PT Putra Wahid Pratama (PWP) dan kemunculannya seolah menggantikan PT Galatama, namun kenyataannya PT PWP menjadi lead firm dari KSO antara PT Kuncup-PT PWP," ujarnya. (Modesta Fiska/CN38/SM Network)

--
--

8.09.2015

Penghinaan


From: A.Syauqi Yahya



Penghinaan

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/09/1852/penghinaan

MINGGU, 09 AGUSTUS 2015 | 00:28 WIB
Putu Setia

Presiden itu mirip pendeta. Yakni orang yang masih hidup tapi menyandang simbol. Presiden adalah simbol kepala negara yang harus dijaga kehormatannya. Bendera kebangsaan saja harus kita hormati dalam setiap apel tatkala dikibarkan ke atas tiang. Padahal wujud nyatanya hanyalah dua potong kain berwarna merah dan putih yang disambung. "Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela...." demikian himne untuk menjaga kehormatan simbol itu.
Pendeta simbol dari orang suci penuntun umat dan dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Pendeta kalau dicaci dan dihina tak boleh marah-begitu teorinya. Ada keyakinan, setiap hinaan dan caci yang diterimanya, justru mengurangi dosanya. Dosa itu mental kepada sang pemaki. Akan halnya presiden, karena yang diurusi masalah duniawi, tentu wajar marah jika dihina. Ini bedanya. Namun ternyata Presiden Jokowi berperilaku pendeta, ia tenang saja dan menyebut, "Caci dan maki itu adalah makanan sehari-hari."
Apakah ada yang berani menghina pendeta? Tentu ada, meski tak banyak. Pendetanya mungkin senyum-senyum, tapi umatnya tak bisa terima. Sang penghina bisa mendapat ganjaran dari umat. Jangan-jangan presiden juga begitu. Meski hinaan menjadi "makanan sehari-hari", tetap ada yang tidak terima. Yakni sekelompok masyarakat yang percaya bahwa kehormatan presiden sebagai simbol kepala negara harus ditegakkan.
Persoalan sekarang, apakah menghina dan melakukan kritik, sama atau tidak? Ini yang perlu diperjelas. Apalagi kalau itu dijadikan rambu dalam undang-undang. Ternyata merumuskan ini dalam bahasa hukum sulit, meskipun dalam "bahasa rasa" juga tak kalah sulitnya karena ada pengaruh budaya yang tak sama.
Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang sekarang, pasal penghinaan kepada presiden masih ada. Ini dianggap langkah mundur karena pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi pada 2006. Tapi, konon pasal ini tak persis sama, karena pasal penghinaan itu dengan rambu-rambu delik aduan. Jika dulu dalam status delik umum, setiap aparat hukum, apakah itu polisi atau jaksa, siap memberangus siapa pun yang dianggap menghina presiden dengan rumusan yang juga bisa melar seperti karet. Versi sekarang menjadi delik aduan. Kalau presiden secara pribadi tidak mengadukan penghinaan itu ke polisi, ya, tak ada masalah. Tergantung presiden, apakah hinaan dijadikan "makanan sehari-hari" atau tidak.
Jika benar bahwa terjadi perubahan dari delik umum menjadi delik aduan, tentu berbeda dengan yang dulu. Tapi tetap akan ada masalah jika rumusan penghinaan itu tidak dirinci dengan jelas. Kita membutuhkan rumusan yang lebih pasti, yang mana penghinaan dan yang mana hanya sekadar kritik atau koreksi. Kalau itu tetap saja sulit dilakukan, alangkah bijaknya kalau pasal itu dihapuskan sama sekali.
Toh, masih ada pasal tentang pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan, juga sebagai delik aduan. Pasal ini tinggal dipertegas dengan tak membedakan apakah pejabat negara atau bukan. Dalam bahasa hukum sering disebut "barang siapa". Jadi, presiden itu termasuk "barang siapa", tak ada bedanya dengan petugas parkir atau hakim. Begitu merasa dicemarkan, "barang siapa" itu bisa mengadu ke polisi.
Cuma, simbol-simbol negara yang harus dihormati jadi kabur. Terkesan pula kita membiarkan ketidaksantunan makin subur, padahal memberi kritik bisa dilakukan dengan tidak mencaci atau menghina. Bukankah menghina dan mencaci itu juga memperlihatkan keburukan diri sendiri? Lagi pula, menghina kok tak capek-capeknya. *

8.05.2015

Boneka


Dari: "A.Syauqi Yahya"
> Boneka
>
> http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/02/1842/boneka
>
> SABTU, 01 AGUSTUS 2015 | 23:05 WIB
>
> Putu Setia
> @mpujayaprema
>
> Boneka itu disenangi anak-anak. Tetapi, jika dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak ini muncul calon boneka, itu buruk. Kalau calonnya boneka, menjadilah dia bupati atau gubernur boneka-kalau terpilih. Bagaimana kalau gubernur boneka itu naik pangkat menjadi presiden? Ini tak usah dibahas.
> Kenapa ada calon boneka? Mari kita usut. Calon kepala daerah harus didukung 20 persen suara hasil pemilu yang lalu. Itu calon dari partai atau gabungan partai. Ada calon independen, tapi syaratnya diperberat. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 9 Tahun 2015, calon independen di daerah yang berpenduduk 8-12 juta harus mengumpulkan dukungan minimal 7,5 persen. Dalam pilkada sebelumnya, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010, angka itu cuma 4 persen. Makin berkurang penduduknya, makin tinggi persentase dukungan. Misalnya, untuk daerah berpenduduk sampai 250 ribu, dukungan minimal 10 persen. Singkat kata, calon independen kurang diminati.
> Partai yang kini kadernya sedang menjabat, hampir seluruhnya dicalonkan kembali. Statusnya petahana. Meski prestasi petahana tak terlalu tampak, pengaruhnya sangat besar karena bisa menggerakkan birokrasi. Betul, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi sudah mengeluarkan edaran agar pegawai negeri sipil netral. Ah, orang tahu itu cuma teori. Kalau petahana yang tak berprestasi saja sulit dilawan, apalagi petahana yang berprestasi, ditambah populer lagi. Contohnya Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Wakil Presiden Jusuf Kalla saja mengakui kehebatan Risma dan menyebut "sulit untuk dikalahkan".
> Tapi politik itu mengadopsi seni silat, tak ada pendekar yang tak bisa dikalahkan. Apa akal? Partai politik yang oposisi ambil sikap tidak mengeluarkan calon. Jadilah petahana itu calon tunggal. Kesannya calon tunggal itu di atas angin. Padahal celaka, karena berdasarkan aturan KPU Nomor 8 Tahun 2015, jika dalam pilkada serentak ini calonnya tunggal, pilkada di daerah itu diundur ke pilkada serentak 2017. Risiko bagi petahana besar karena dia akan digantikan oleh pelaksana tugas, lantaran masa jabatannya habis. Risma, misalnya, harus diganti pada 20 September nanti saat masa jabatannya habis. Jika pilkada diundur ke 2017, pengaruh Risma pada birokrasi diduga sudah berkurang, mungkin pula kepopulerannya menurun. Itu jurus silatnya.
> Lho, bonekanya di mana dong? Sabar. KPU punya aturan unik bin ajaib. Pendaftaran pilkada dibuat selama tiga hari (26-28 Juli). Namun, kalau cuma ada calon tunggal, KPU buat sosialisasi selama tiga hari (29-31 Juli), lalu dibuka pendaftaran susulan tiga hari (1-3 Agustus). Setelah itu baru verifikasi dan diputuskan, pilkada berlanjut atau diundur. Untuk apa sih sosialisasi lagi? Entah, mbok tanya KPU. Tapi di sinilah waktunya "musyawarah mufakat", partai yang (pura-pura) gagal mencari calon "diminta dengan sangat hormat" menampilkan calon asal-asalan. Barangkali disertai apa yang disebut "politik transaksional".
> Politik dengan "jurus silat tangan kosong" ini sudah terjadi di beberapa daerah. Tak mau menunggu masa sosialisasi dan pendaftaran susulan, hanya dalam hitungan menit sebelum ditutup, tiba-tiba calon tak jadi tunggal. Tentu terjadi "musyawarah". Sekarang, tinggal 12 daerah yang calonnya masih tunggal, termasuk pilkada Surabaya. Akankah besok lahir calon yang lain? Kita lihat saja. Pada masa Orde Baru, itu disebut "calon pendamping" yang sudah pasti kalah. Karena kita anti-Orde Baru, itu yang disebut calon boneka. Kasihan anak-anak, boneka jadi simbol negatif.
>

7.26.2015

Damai


From: A.Syauqi Yahya 



Damai

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/07/26/1832/damai

MINGGU, 26 JULI 2015 | 00:51 WIB
Putu Setia

@mpujayaprema
Ketika penyanyi dangdut Rhoma Irama mendeklarasikan Partai Idaman, saya langsung menduga Bang Haji sedang bungah dengan citranya sebagai pria yang diidam-idamkan wanita. Apalagi lambang partai itu adalah kedua tangan yang jari-jarinya membuat simbol hati, lambang cinta abadi. Sasaran partai ini para wanita, pikir saya spontan.
Ternyata saya kurang cermat. Idaman adalah akronim dari Islam Damai dan Aman. Wah, tentu ini sebuah partai serius. Ada kata Islam, agama mayoritas di negeri ini. Tak sebuah partai pun sejak Orde Baru berani mencantumkan label Islam dengan sejelas-jelasnya. Pada masa Orde Baru, asas partai pun tak boleh menggunakan nama agama dengan segamblang-gamblangnya. Bahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai yang bernapaskan Islam, tak boleh menggunakan lambang yang punya kaitan dengan idiom Islam. Presiden Soeharto hanya mengizinkan ketiga partai-itu pun Golongan Karya (Golkar) emoh disebut partai-mencomot lambang yang ada di dalam Pancasila, karena asas partai harus Pancasila. Partai Demokrasi Indonesia dengan kepala banteng, Golkar dengan beringin, dan PPP dengan bintang. Baru setelah Soeharto jatuh, PPP memakai lambang Ka'bah.
Kini, Rhoma Irama satu-satunya penyanyi, eh, politikus yang berani terang-benderang menyebut kata Islam. Bahkan di belakang kata Islam ada kata damai. Apakah selama ini partai yang berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB), tidak mementingkan kedamaian, saya kira bukan itu maksud Bang Haji. Simak pernyataan Rhoma saat deklarasi, partai ini bukanlah untuk umat Islam yang radikal. Mungkin karena itu perlu lagi kata aman, supaya lebih tegas. Bukankah radikal selalu dikaitkan dengan kerusuhan? Adapun jika Bang Haji melontarkan ucapan bahwa Partai Islam ini terbuka untuk umat nonmuslim (disebut ada pemain band yang beragama Kristen sudah bergabung), saya tak begitu tercengang. "Jualan" seperti ini sudah lagu lama, PAN dan PKB juga begitu pada awal berdirinya.
Akankah lahir Partai Hidaman (Hindu Damai dan Aman)? Atau Partai Katdaman (Katolik Damai dan Aman)? Atau Partai Budiman (Buddha Damai dan Aman)-akronim yang dipaksakan sudah biasa? Kalaupun muncul, saya tak boleh nyinyir karena ini sesuai dengan konstitusi. Barangkali memang sebatas itu kemampuan para politikus untuk memberikan cap pada sebuah gerakan politiknya. Tapi, andaikata partai seperti itu tidak muncul, saya akan lebih gembira. Alasan pertama: sembilan partai yang lolos ke parlemen sudah cukup membuat orang memaki karena wakilnya di DPR lebih mementingkan dana aspirasi ketimbang menyelesaikan undang-undang. Janganlah ditambah lagi, bikin mumet. Alasan kedua: agama itu sudah melekat dengan kedamaian. Saya kira tak ada sebuah agama yang mengajak umatnya untuk bermusuhan. Semua agama cinta damai, di kantor-kantor tentara saja banyak spanduk yang bertulisan: Damai Itu Indah.
Nasib Rhoma Irama juga bagus. Begitu partai Islam yang damai dideklarasikan, muncul kasus Tolikara. Bentrokan antara umat Islam dan Kristen. Sebuah masjid terbakar. Pada saat hiruk-pikuk ini, ada panggung bagi Rhoma untuk menegaskan bahwa Islam menjunjung perdamaian. Warga Jakarta memang resah, para petinggi negeri, politikus dan pengamat, sibuk merumuskan perdamaian di Tolikara. Padahal di Tolikara sendiri, pendeta GIDI (Gereja Injili di Indonesia) dan imam masjid sudah berdamai secara adat, khas Papua. Begitulah, kata damai tetap menjadi "dagangan" yang asyik.

--

7.19.2015

Jilid 2 BG vs KPK?

Jilid 2 BG vs KPK?

http://www.kompasiana.com/sutomo-paguci/jilid-2-bg-vs-kpk_55a79585b49273a911ada4fe

16 Juli 2015 18:29:09 Dibaca : 1,521

Posisi sebelumnya di atas angin jadi berbalik dan kedudukan Wakapolri Jenderal Budi Gunawan (BG) terancam. Tentunya ini tidak main-main. Sangat serius. Kira-kira demikianlah efek politis-hukum dari rekomendasi Komisi Yudisial (KY) yang memutuskan pemberian sanksi skors selama enam bulan terhadap Hakim Sarpin.

Makanya Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Budi Waseso (Buwas) segera bertindak cepat. Dua Komisioner KY tak lama kemudian langsung ditersangkakan. Sebab, kalau tidak, efek lanjutannya bisa gawat. Indikasinya di situ.

Diputuskannya Hakim Sarpin telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY adalah bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada kesalahan di balik putusan pencabutan status tersangka terhadap BG. Kita tentu dapat membayangkan apa potensi dampak hukum-politis bagi status BG sebagai pribadi sekaligus Wakapolri. Bisa-bisa menyusul mantan Walikota Makassar.

Dari konstruksi ini terlihat bahwa yang bertarung sebenarnya sangat mungkin bukan antara Komisioner KY Suparman Marzuki Cs melawan Hakim Sarpin, melainkan pertarungan antara BG melawan arus besar gerakan pemberantasan korupsi termasuk KPK di dalamnya. Buwas hanya pion saja, tapi perannya sangat vital. Masuk akal bila ada yang menilai lembaga Polri telah dibajak untuk kepentingan pribadi.

Andai saja pion tsb dicopot, BG sangat mungkin kesulitan mencari pengganti yang 100% loyal padanya. Bisa saja Kapolri "bermain" cantik turun tangan dalam proses penggantian tsb. Kapolri akan mengisi Kabareskrim baru yang loyal padanya dan institusi Polri sebagai bagian penting penguatan institusi. BG tersisih pelan-pelan. Setidaknya BG kehilangan pion utama untuk memukul.

Itulah mengapa reaksi Buwas terhadap pernyataan Buya Syafii sekarang dan dulu berbeda. Pernyataan keras Buya Syafii agar Buwas dicopot bukan kali ini saja, tetapi reaksi Buwas yang over baru kali ini. Persis setelah Hakim Sarpin direkomendasi KY untuk diberi sanksi skorsing. Dulu, saat Buya Syafii mengusulkan Buwas dicopot, Buwas kalem saja.

Mungkin saja analisa saya di atas keliru. Tetapi untuk saat ini agak sulit mencari kemungkinan lain motif dari akselerasi mendadak penetapan tersangka terhadap Komisioner KY Suparman Marzuki Cs. Berbanding terbalik, misalnya, dengan lambannya proses penanganan kasus lebih kurang serupa terhadap Farhat Abbas atau "orang biasa" lainnya.

Karena itu, sulit dipercayai ucapan Buwas, bahwa penetapan tersangka terhadap Suparman Marzuki Cs sebagai murni penegakan hukum. Agak naif untuk percaya penetapan "orang besar", pimpinan lembaga tinggi negara, sekelas Komisioner KY, sebagai tersangka kasus ecek-ecek, sebagai murni penegakan hukum.

Kasusnya sederhana. Hanya pencemaran nama baik. Namun di balik kasus itu yang sangat serius. Pertarungan hidup mati seorang jenderal dan mungkin para politisi partai di belakangnya. (*)

SUTOMO PAGUCI

6.26.2015

Ada apa sebenarnya negara ini ?????

Senin 22 Jun 2015, 10:45 WIB

Catatan Agus Pambagio

Kebijakan Kementerian BUMN Mengabaikan Kepentingan Publik

http://m.detik.com/news/kolom/2948486/kebijakan-kementerian-bumn-mengabaikan-kepentingan-publik

Agus Pambagio - detikNews

Jakarta - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya merupakan motor pertumbuhan ekonomi negara yang dapat diandalkan, selain juga menjadi agent of development di seluruh pelosok Tanah Air. Sehingga  usaha komoditi  utama di Indonesia dikuasai oleh  BUMN, seperti pertanian/perkebunan (PTP), konstruksi (BUMN Karya), energi (Pertamina dan PGN), ketenagalistrikan (PLN), transportasi kereta api (KAI), perbankan (Mandiri, BNI, BTN) dan lain-lain.

Pada umumnya BUMN-BUMN tersebut sudah tua usianya, di atas 30 tahun. Namun mengapa sampai hari ini, BUMN itu belum dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang baik di sektornya, bahkan banyak yang terus merugi dan bangkrut. Geliat BUMN seharusnya bisa memunculkan industri swasta yang kompetitif dan partner yang baik demi kemajuan ekonomi Indonesia. Namun sampai saat ini belum, artinya ada yang salah di pengelolaannya.

Kondisi seperti di atas seharusnya dipahami oleh Kementerian Negara BUMN supaya antar BUMN tidak saling membunuh dan merugikan rakyat, sama pula seperti kasus di sektor migas. Di mana dua BUMN, PT Pertamina dengan Pertagas-nya dan PT PGN, Tbk harus bersaing dengan tidak sehat dan merugikan publik (sudah pernah saya tulis di kolom ini). Intinya kebijakan Kementerian BUMN saat ini mengorbankan kepentingan publik.

Kepastian Kebijakan Diperlukan untuk Pembangunan Infrastruktur

Persoalan mulai muncul ketika Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2013 mengizinkan konsorsium BUMN di bawah koordinasi PT Adhi Karya, Tbk (AK) membangun Monorel di wilayah Jakarta, Bekasi dan Bogor untuk menyaingi atau menggantikan peran PT Jakarta Monorel yang di inisiasi dan dibangun oleh swasta, namun gagal.

Ketika Gubernur DKI Jakarta kemudian menjadi Presiden RI, upaya ini terus di lakukan oleh AK melalui lobi-lobi di Kementerian BUMN. Saat awal saya sempat bertanya pada teman-teman di PT AK: Mengapa sekarang PT AK ingin mengembangkan sayap bisnisnya di sektor yang sangat berbeda dan memerlukan keahlian khusus yang rumit diluar konstruksi? Dijawab: Itu persoalan mudah dan pasti kita bisa. Masak angkutan umum berbasis rel hanya dikuasai oleh PT KAI?

Begitu pula saat ini, ketika PT Kereta Api (KAI) dengan susah payah dibenahi dan PT KAI sudah berinvestasi besar untuk perbaikan sarana dan bahkan prasarana, kembali persoalan politik menghantamnya. Pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Adhi Karya (AK) sebesar Rp4 Triliun untuk membangun Light Rail Transport (LRT), yang bukan keahliannya PT AK. Sementara PT KAI sebagai operator kereta api hanya mendapat PMN sekitar Rp2 Triliun saja.

Mengapa Pengoperasian LRT Tidak Diserahkan ke KAI?

Meskipun secara regulasi tindakan PT AK tidak melanggar UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, tetapi publik kembali akan 'dicekoki' dagelan persaingan antar BUMN yang tidak akan pernah kondusif dan kompetitif karena rebutan lahan bisnis yang sama namun dipaksakan.

Salah satu penyebab BUMN Indonesia tidak bisa maju dan mendunia, seperti Temasek (BUMN Singapore) atau Khasanah (BUMN Malaysia) adalah karena kejinya campur tangan politik di Indonesia yang multi partai. Sehingga menyulitkan pengelola BUMN untuk mengepakkan sayapnya dengan kepala tegak dan kondisi ini terus berulang hingga sekarang. Apa kabar Indonesia Incorporated?

Kalau PT AK dan sesama BUMN karya lain akan melebarkan sayap ke perumahan atau bangunan komersial, masih dapat dimengerti karena bisnis utamanya memang konstruksi. Begitu pula jika PT AK ingin membangun angkutan umum berbasis rel, boleh-boleh saja sebatas membangun konstruksi rel dan stasiunnya saja. Tetapi bukan mengoperasikannya karena AK tidak mempunyai ilmu pengoperasian kereta api yang rumit. Jadi dapat dipastikan ketika LRT beroperasi, PT AK akan menculik banyak tenaga ahli PT KAI. Tidak mungkin PT AK menyiapkan semua tenaga kerjanya di sektor angkutan rel ini dalam waktu singkat dengan biaya murah.

Dampaknya angkutan umum kereta api, yang saat ini saya anggap paling handal sebagai angkutan umum di Indonesia, akan kembali terpuruk. Yang paling mengkawatirkan adalah keselamatan dan keamanan penumpang kembali dipertaruhkan oleh syahwat Kementerian BUMN.

Saya dan beberapa kalangan menjadi heran, mengapa pembangunan infrastruktur di transportasi secara perlahan tetapi pasti diambil alih oleh Kementerian BUMN? Ada apa dengan Kement3rian Perhubungan? Kasus pembangunan kereta api cepat (HST) yang studinya dibiayai oleh Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), juga diambil alih oleh Kementerian BUMN untuk diserahkan pada China? Ada apa sebenarnya negara ini?

Saran Jalan Keluar

Pertama, kembalikan kewenangan kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi kepada Kementerian Perhubungan, apapun alasannya.

Kedua, tugas Kementerian BUMN bukan membangun infrastruktur tetapi membuat seluruh BUMN secara SDM dan finansial kuat serta dapat diandalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi serta siap bertarung di pasar global. Sehingga sektor swasta domestik juga akan tumbuh.

Sekali lagi jangan ulangi kasus PT Pertamina yang menguasai hulu dan hilir migas harus berhadapan dan bersaing dengan PT PGN, Tbk yang dampaknya merugikan publik karena infrastruktur gas jalan di tempat.

Ketiga, kalau Pemerintah memang ingin BUMN-nya hancur-hancuran, dipersilakan saja melanjutan kebijakan yang ada saat ini. Saya akan sarankan kepada Presiden supaya PT KAI atau PT Pos diberi PMN juga untuk digunakan membeli pesawat terbang, tidak peduli PT Garuda Indonesia, Tbk terus merugi dan membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Keempat, sebaiknya Pemerintah harus segera menata kembali kebijakan Kementerian BUMN yang semakin hari semakin tidak jelas ini (konon katanya Menteri Negara BUMN lebih sering membahas kebijakannya dengan Staf Khusus yang dibawanya, bukan dengan Deputy).

Sebagai penutup, tugas Negara adalah memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya supaya dapat berkarya dan bertransportasi dengan nyaman dan aman. Salam

*)AGUS PAMBAGIO adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen (nwk/nwk)

6.02.2015

Li Ka-Shing teaches you how to buy a car & house in 5 years


From: Bambang Udoyono 


http://e27.co/li-ka-shing-teaches-buy-car-house-5-years-20150408/

CINTA


From: A.Syauqi Yahya 


Cinta

http://www.tempo.co/read/caping/2015/06/01/129882/cinta

SENIN, 01 JUNI 2015

-- untuk Haidar Bagir

Cinta: sebuah pengertian yang selama berabad-abad menggetarkan hati dan membingungkan, sepatah kata yang dengan mudah pula jadi banal tapi juga bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.
"Cinta tak punya definisi," konon demikianlah kata Ibnu Arabi, sufi dan pemikir kelahiran Spanyol dari abad ke-12, dalam risalahnya, Futuhat. "Ia yang mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya... sebab cinta adalah minum tanpa hilang haus."
Cinta hanya bisa dimengerti sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh. Seabad kemudian, Jalaluddin Rumi, sufi yang paling masyhur mengungkapkan pengertian itu, menyebutnya Ishq. Cinta adalah "laut ke-Tak-Ada-an," kata Rumi. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. "Apa pun yang kau-katakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya."
Agaknya karena itu, dalam ribuan baris masnawi dan diwannya, Rumi hanya mengemukakannya dalam bentuk negasi, dengan sederet kata bukan: Cinta ibarat "sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan bukan di mahkota Surga".
Atau ia menjelaskannya dengan menampakkan Cinta sebagai antithesis. Dalam renungan Rumi, Cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Menemui Cinta, kata Rumi, "Intelek lumpuh kakinya." Sementara intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, Cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri:
Nalar menegakkan pasar

dan mulai berdagang

Cinta menyimpan kerja

dalam persembunyian
Orang yang mencintai, kata Rumi pula, "Menemukan tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini." Di sanalah mereka "melakukan transaksi dengan keindahan".
Tapi itulah yang tak diakui "Nalar".
Omong kosong, ujar Nalar.

Aku telah berkeliling dan mengukur dinding

dan tak kujumpai tempat seperti itu.
Sikap anti-nalar bukan cuma disuarakan para sufi Islam di zaman Ibnu Arabi dan Rumi. Di abad ke-20, terutama di Eropa sejak berkecamuk krisis kepercayaan kepada rasionalisme, beberapa pemikir juga menegaskan pertentangan terhadap intelek/nalar itu.
Di tahun 1930-an di Prancis, Bergson mengumandangkan élan vital, dorongan hidup yang terus-menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu memahaminya. Nalar mampu menganalisis, menganalisis berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan mandek. Lagu, misalnya. Intelek bisa mengurai sebuah lagu jadi deretan not, dan dengan cara itu kita bisa menghitung tinggi-rendahnya nada. Tapi dengan demikian lagu itu harus diperlakukan sebagai benda yang "berhenti"; kita tak mendengarkan lagi merdunya.
Baru lagu itu bisa hadir sebagai alun yang bergerak, menggetarkan, jika kita berangkat dengan intuisi, kata Bergson. Hanya dengan intuisi kita bersua dan menangkap élan vital yang menggerakkan kehidupan.
Agaknya élan vital itulah yang dalam peristilahan Rumi disebut Ishq, dan dalam istilah yang lebih lazim disebut Cinta.
Ishq anti-mandek. Ia lawan kebekuan. Ia menampik ide yang jadi dogma dan hidup yang diterjemahkan dalam bilangan. Ia menolak akal yang membuat kalkulasi untuk mencapai satu tujuan tertentu. Ia tak patuh kepada "akal instrumental" yang efektif buat menaklukkan alam, menjadikan dunia sebagai obyek, menghimpun modal ("menegakkan pasar"), dan menguasai sesama.
Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung-rugi, tak bisa dipakai dalam siasat politik. Cinta juga tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaanâ€"doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus-menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan.
Agaknya bukan kebetulan jika Cintaâ€"yang bergetar di dasar hidup para sufiâ€"terasa intens sebagai perlawanan ketika kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang seharusnya dekat dengan Tuhan.
Di abad ke-11 dan ke-12, dari Bagdad sampai dengan Kairo, para qazi yang jadi hakim agung agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup makmur. Di masa itulah Sanai, penyair sufi kelahiran Afganistan, menulis Hadiqat al-Haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang "menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan, dan sifat tamak". Ia mencaci mereka yang seraya "menerima suap, menggariskan aturan".
Perlawanan terhadap kebusukan itu juga yang mendorong sufi seperti Sanai menjauh dari godaan kekuasaan dan melepaskan jabatannya di Istana. Kisah yang lebih terkenal adalah bagian dari otobiografi Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal ("Selamat dari Sesat"). Dalam Rumi: Past and Present, East and West, Franklin D. Lewis menguraikan dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al-Ghazali menikmati posisi yang makmur sebagai tokoh agama yang jadi pengajar utama Perguruan Nazimiyah di Bagdad, tapi ia juga tahu integritas dirinya pelan-pelan rusak. Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing "antara daya tarik duniawi dan dorongan ke kehidupan yang kekal". Akhirnya ia meninggalkan kota besar yang gemerlap itu, Bagdad; ia pergi mengembara.
Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi ia tahu Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer kepandaian dan kealiman. Ia juga tahu Tuhan tak dapat dijangkau dengan nalar laba-rugi; sang sufi memilih sunyi.

Goenawan Mohamad

6.01.2015

KPK Bisa Keluarkan Sprindik Baru untuk Hadi Poernomo


From: A.Syauqi Yahya 


Kamis, 28/05/2015 05:46 WIB

KPK Bisa Keluarkan Sprindik Baru untuk Hadi Poernomo

http://m.detik.com/news/read/2015/05/28/054627/2927081/10/kpk-bisa-keluarkan-sprindik-baru-untuk-hadi-poernomo

Ikhwanul Khabibi - detikNews

Jakarta - Pimpinan KPK telah menggelar ekspose guna membahas perlawanan hukum yang akan diambil terkait putusan Hakim Haswandi yang memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan kasus Hadi Poernomo. Salah satu opsi yang muncul dalam ekspose itu adalah penerbitan sprindik baru untuk Hadi.

"Pimpinan sudah melakukan rapat untuk membahas perlawanan hukum putusan hakim," kata Plt Pimpinan KPK, Johan Budi, Rabu (27/5/2015) malam.

Informasi yang didapat, dalam rapat, opsi yang paling santer dibahas adalah penerbitan sprindik baru. Untuk diketahui, seperti termaktub dalam putusan MK yang memperluas kewenangan praperadilan, pada halaman 106, penegak hukum diizinkan untuk membuka penyidikan baru terhadap sebuah kasus yang dikalahkan di praperadilan.

Untuk kasus Hadi, KPK bisa saja mengulang penyelidikan dan penyidikan dari awal dengan penerbitan sprindik baru. Apalagi, dalam putusannya, Hakim Haswandi tidak membantah telah terjadi praktik korupsi dalam proses permohonan keberatan pajak PT BCA pada tahun 2003.

Dalam putusannya, Haswandi hanya menggunakan dalil bahwa penyelidik KPK yang menangani kasus Hadi tidak sah karena bukan berasal dari pihak Polri. Soal terjadinya tindak pidana korupsi, Haswandi tidak membantah. Apalagi, KPK sudah menyetorkan 3 troli dan 2 koper bukti kasus Hadi, meskipun tak dipedulikan Haswandi dalam putusannya.

Namun, penerbitan sprindik baru ini masih harus menunggu salinan putusan lengkap dari PN Jaksel. KPK berharap, PN Jaksel bisa memberikan salinan putusan dalam waktu secepat mungkin.

"Kami akan memperlajari dulu salinan putusan, baru memutuskan soal perlawanan hukum," tegas Johan.

(kha/kha)

Share: Twitter | Facebook | Email
(3) Komentar | Kirim komentar
Baca Juga:
Haswandi Anggap Penyelidik Tak Sah, Johan Budi: KPK Tak Perlu Dibekukan
KPK Segera Tentukan Bentuk Perlawanan Hukum untuk Hadi Poernomo
Ditengarai Ada Penyelundupan Hukum Dalam Putusan Praperadilan Hadi Poernomo

--

5.29.2015

Peneliti LIPI: Masyarakat Ragu Atas Sikap Jokowi ke KPK ...salam gigit jariiiiii........lageeee.2.......


From: 'agung widhiantoro'

Jakarta - Pakar politik dari LIPI Siti Zuhro mengkritik pemerintahan Jokowi-JK yang telah berjalan 7 bulan. Dengan melihat politik Jokowi terhadap dinamika hukum di Indonesia, salah satunya adalah polemik yang terus menerus dihadapi KPK.

Menurut Zuhro, Jokowi bukan pemimpin yang kontra KPK. Namun hal-hal yang terjadi dalam 7 bulan terhadap KPK sejak kepemimpinan Jokowi ‎memunculkan kepercayaan publik yang menurun.

"Bukan tidak pro KPK tapi masyarakat jadi ragu melihat keberpihakan Pak Jokowi terhadap pemberantasan korupsi. Itu jadi kurang riil, kurang konkret," kata Zuhro di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (27/5/2015).

Dalam kritiknya, Zuhro menilai Jokowi belum menunjukan ketegasannya terhadap persoalan hukum yang terus memasuki babak baru. Dalam kacamata politik, peristiwa hukum tersebut membuat masyarakat sadar hukum di Indonesia perlu perhatian pemerintah.

"Kita sadar negara ini menghadapi hukum yang harus ditingkatkan, itu saya kira harapan publik yang sudah diadopsi Pak Jokowi. Nah, ternyata kok itu betul-betul seperti musibah, ada konflik antar lembaga penegak hukum berkepanjangan. Nah di situ tergerus public trust," ujar Zuhro.

"Seiring dengan itu, pertumbuhan ekonomi melemah, harga pada naik dan masyarakat yang tidak beruntung semakin tertekan," tambahnya.

--

5.24.2015

Wanita



From: A.Syauqi Yahya 


Wanita

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/05/24/1752/wanita

MINGGU, 24 MEI 2015 | 00:50 WIB

Putu Setia

Karena tak memberi tahu akan berkunjung, rumah Romo Imam tertutup ketika saya datang. Tapi jendelanya terbuka lalu saya tekan bel karena yakin ada orang di dalam rumah. Benar saja, istri Romo Imam membukakan pintu. Melihat saya datang, Ibu Imam bernyanyi: "Wanita dijajah pria sejak dulu...."
"Kelihatan ibu gembira sekali, Romo ada?" tanya saya. Ibu Imam langsung nyerocos: "Betul kan, yang ditanya Romo. Ibu ini seperti tidak pernah ada, padahal sampeyan berkali-kali ke sini. Para lelaki selalu meremehkan keberadaan wanita."
Ibu Imam mengucapkan kata itu dengan nada canda. Saya pun ikut bercanda. "Ibu, sekarang Pak Jokowi telah mendudukkan wanita dengan cara terhormat, panitia seleksi pimpinan KPK semuanya wanita," kata saya.
"Tapi kalian para lelaki ribut kan?" sahut Ibu Imam dengan cepat. "Ada yang menyebut pilihan Jokowi ini sensasional. Ada yang menyebut panitia seleksi jadi cacat dan tidak sempurna, karena tak ada lelaki sebagai penyeimbang. Bahkan ada yang menyebut ini tanda-tanda kiamat. Ealah... dulu panitia seleksi semuanya lelaki, kok tidak ada yang ribut? Kalian juga tak menyebut-nyebut perlu wanita untuk penyeimbang agar ada kesempurnaan. Semesta ini bukan hanya milik lelaki, pertiwi itu disebut Ibu, tak ada menyebut Bapak Pertiwi."
Wah, tumben istri Romo bersemangat. "Kartini memperjuangkan emansipasi wanita karena berharap ada kesejajaran gender," kata Ibu Imam lagi. "Tetapi kalian para lelaki mengaburkan perjuangan itu dengan simbol wanita kemayu nan cantik khas bangsawan. Setiap Hari Kartini kalian meminta kami para wanita mengenakan kebaya. Sopir taksi pakai kebaya, murid-murid wanita dari TK sampai SMA berkebaya, karyawan bank pakai kebaya. Dan kalian senang melihatnya lalu kalian bilang semangat Kartini harus diwarisi wanita Indonesia. Pas ada panitia seleksi yang semuanya wanita, kalian ribut. Apa ke sembilan wanita itu harus mengenakan kebaya?"
Saya coba menanggapi. "Ibu, mungkin bukan soal kebaya atau mewarisi semangat Kartini. Tapi soal pengalaman dalam memilih calon pimpinan KPK. Ke sembilan wanita itu dianggap tak tahu bagaimana kerja pimpinan KPK. Mereka selama ini berada di luar ingar-bingar pemberantasan korupsi, bagaimana mereka bisa memilih pimpinan yang akan memberantas korupsi. Mungkin pula mereka tak pernah datang ke kantor KPK...."
"Justru karena itu Jokowi memilihnya," Ibu Imam memotong ucapan saya. "Mereka jadi steril dari kepentingan berbagai pihak. Mereka jadi independen tak mudah diintervensi partai politik karena mereka dikenal jauh dari dunia politik. Mereka tak terlibat dalam kontroversi heboh KPK selama ini. Sampeyan harus tahu, kecenderungan sekarang peminat orang menjadi pimpinan KPK menyusut. Mereka pada takut karena jabatan sebagai pimpinan KPK banyak risikonya dan mudah dikriminalisasi. Mereka juga takut kalau setelah menjabat akan mendapatkan berbagai tekanan, baik dari partai politik maupun dari pemerintah, karena merasa dipilih oleh orang-orang yang sesungguhnya juga tak netral. Apalagi pada saat akhir keputusan itu ada di parlemen, lembaga politik yang selama ini juga dianggap korup. Jadi, ya, siapa tahu kesembilan wanita hebat ini bisa menjaring peminat lebih banyak atau malah menjemput bola dan meyakinkan calon bahwa mereka benar-benar netral."
"Kalau begitu kita tunggu hasilnya," kata saya. Ibu Imam menyambung: "Ya kita lihat hasil akhirnya siapa pimpinan KPK terpilih, baru kita komentari. Ini baru panitia seleksi saja ributnya kayak mau kiamat."

--

5.23.2015

JAMAN EDAN !!!


From: A.Syauqi Yahya


Minggu, 17/05/2015 10:18 WIB

Sadriyansyah Perkosa Anak Kandung Berkali-kali di Depan Istrinya

http://m.detik.com/news/read/2015/05/17/101433/2916605/10/sadriyansyah-perkosa-anak-kandung-berkali-kali-di-depan-istrinya

Herianto Batubara - detikNews

Bapak Bunuh Empat Anak Kandung, Satu Diperkosa

http://m.news.viva.co.id/news/read/626626-bapak-bunuh-empat-anak-kandung--satu-diperkosa

Nila Chrisna Yulika

Minggu, 17 Mei 2015, 11:36 WIB

Budi Waseso Sindir Soal Kinerja KPK


From: <syauqiyahya@gmail.com>



Harapanku KPK berani membersihkan POLRI....gak usah takut ada balas dendam.....he x 3 /kung

Pansel Terbentuk, Budi Waseso Sindir Soal Kinerja KPK

http://m.news.viva.co.id/news/read/629399-pansel-terbentuk--budi-waseso-sindir-soal-kinerja-kpk

Harry Siswoyo, Bayu Nugraha

Sabtu, 23 Mei 2015, 17:47 WIB



VIVA.co.id - Presiden Joko Widodo resmi menunjuk sembilan perempuan sebagai Pantia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019. Banyak harapan dari tim ini untuk KPK ke depan.

Salah satunya dilontarkan Kepala badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Budi Waseso. Ia berharap, dengan terbentuknya pansel KPK, ke depan pimpinan KPK lebih profesional.

"Harapannya pimpinan KPK kelak nanti harus profesional dan berpegang pada undang-undang aturan kalau mau menangkap seseorang," ujarnya usai menghadiri acara peletakan batu pertama pembangunan Gedung "Indonesia Satu" di Jalan MH Thamrin Jakarta, Sabtu, 23 Mei 2015.



ICW Ingatkan Pansel KPK Waspada Intervensi

Mengenai kerja sama dengan KPK setelah terpilihnya pimpinan KPK yang baru, Budi mengatakan dia dan Bareskrim Polri selalu siap bekerjasama dengan pihak penegak hukum manapun.

"Siaplah, pasti penegak hukum harus siap bekerjasama."

(mus)

Iseng atau Teror ?


From: <syauqiyahya@gmail.com>



http://m.tempo.co/read/news/2015/05/23/089668699/aneh-bahan-beras-plastik-justru-mahal-iseng-atau-teror

Muslim Rohingya,


From: A.Syauqi Yahya 


Muslim Rohingya, Dari Diusir hingga Jadi Budak di Thailand

http://m.republika.co.id/berita/internasional/global/15/05/17/nohqvz-muslim-rohingya-dari-diusir-hingga-jadi-budak-di-thailand

17 May 2015 18:07 WIB

Para perempuan pengungsi Muslim Rohingya.
REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR - Tidak ada manusia di dunia ini lahir untuk dianiaya, dipukuli, disiksa, ditangkap dan dijual sebagai budak. Namun, kehidupan sulit itulah yang harus dihadapi oleh seorang Rohingya.

"Kami memiliki hak juga. Kami adalah manusia dan kami hanya ingin hidup. Mengapa semua orang menendang kami? jangan perlakukan kami seperti itu," ungkap Din  salah salah seorang Rohingya yang telah tinggal di Malaysia selama 24 tahun.

Pria berusia 45 tahun itu  menuturkan kisahnya selama menjadi budak Rohingya di Thailand. Ia datang pertama kali ke Thailand pada tahun 1991 setelah meninggalkan kampung halamannya di Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar.

Tidak ada pilihan lain selain meninggalkan negaranya karena konflik agama serta penindasan di sana. Bahkan aksi tersebut semakin memburuk pada tahun 2012 setelah kerusuhan Muslim-Buddha. "Kami tidak memiliki sarana untuk melanjutkan pendidikan.  Kami juga tidak dapat bekerja," ujarnya.

Bahkan, sambung Din, pemerintah Myanmar tidak mau menerimanya kembali ke negaranya. Pemerintah Myanmar menolak untuk menerima Rohingya sebagai warga negara dan menganggap mereka imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh.

Sehingga tidak ada pilihan lain untuk mencari negara lain yang mau menerimanya. Nahasnya selama di Thailand ia justru diperlakukan sebagai budak. Tak tahan dengan perlakuan itu, ia seringkali mencoba untuk melarikan diri.

Bahkan, dengan aksi melarikan dirinya itu membuatnya enam kali merasakan hidup di balik jeruji besi di Malaysia, ia pun seringkali dikirim kembali ke Thailand. "Pada tahun 1995, saya ditahan dan dikirim kembali ke Thailand setelah beberapa bulan," jelasnya.

Namun, bukannya kebebasan yang ia dapatkan, ia justru kembali dijual menjadi budak kepada kelompok nelayan. Selama dua tahun ia mengabdi kepada para nelayan dan merupakan tahun terburuk dalam hidupnya. "Jangan tanya saya tentang mereka. Saya bisa gila bila mengingat waktu itu," katanya.

Ia pun bisa meloloskan diri dari cengkraman para nelayan dengan bantuan seorang wanita yang membantunya untuk bisa ke halte bus dan melakukan perjalanan ke Malaysia melalui jalur darat.

Saat ini, ia tinggal di Malaysia bersama istrinya, seorang perempuan Rohingya dan bayi mereka yang masih berusia tujuh bulan.  Din pun sudah lancar berkomunikasi menggunakan bahasa melayu.

Pada tahun 2004 , Din mendapatkan kartu dari Komisi Tinggi PBB-nya untuk Pengungsi (UNHCR) , dengan kartu tersebut,  sekarang ia bekerja sebagai pekerja sebuah lokasi konstruksi di Malaysia.

Din juga aktif berperan di pusat penahanan dengan organisasi non-pemerintah Kampanye Berhenti Melakukan Perdagangan Manusia di Penang.

Kelompok ini juga memberikan pasokan makanan untuk 1.158 Rohingya dan Bangladesh yang ditahan di Langkawai baru. Namun mereka tidak diizinkan oleh pemerintah.

Din berharap PBB dapat mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Myanmar untuk mengatasi situasi konflik agama yang terus bergojalak.

Red: Joko Sadewo
Rep: c07

Berita Terkait

Bangladesh Siap Pulangkan Warganya dari Aceh
Aksi Kampanye Peduli Pengungsi Muslim Rohingya
Kamboja Belum Putuskan Terima Pengungsi Tujuan Australia
Ini Alasan Pengungsi Rohingya Menolak Dipulangkan
Menlu Tiga Negara akan Bahas Nasib Pengungsi Rohingya

Menggugat Istilah 'Beras Plastik'/Pendapat Ahli


From: A.Syauqi Yahya

Jumat, 22/05/2015 16:44 WIB

Menggugat Istilah 'Beras Plastik'

http://m.detik.com/news/read/2015/05/22/164436/2922479/10/1/menggugat-istilah-beras-plastik

Rachmadin Ismail - detikNews

FOKUS BERITA
Waspada Beras Plastik
Jakarta - Pakar polimer dari Universitas Indonesia Dr Asmuwahyo Saptorahardjo memiliki pandangan soal fenomena beras campur plastik yang beredar di masyarakat. Dia meluruskan sejumlah hal yang bisa disalahtafsirkan oleh publik, termasuk soal istilah beras plastik.

Asmuwahyo memulai dengan penjelasan soal plastik. Menurutnya, kecil kemungkinan ada beras yang bisa terbuat dari plastik. Sebab sifat air sangat hidrofobik, artinya antiair. Jadi, tidak mungkin ada beras plastik yang bisa mengembang di dalam air.

Menurutnya hanya ada dua jenis plastik yang bisa larut dalam air. Namun itu harganya sangat mahal. Tidak mungkin bisa menjadi bahan baku untuk sebuah produk yang bisa beredar di masyarakat.

Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Kimia FMIPA UI periode 1992 – 1995 ini menduga, yang ditemukan laboratorium Sucofindo adalah sejenis plasticizer. Secara gampang, Asmuwahyo mengilustrasikan plasticizer sebagai alat perekat atau pembentuk. Misalnya air dan telur dalam sebuah adonan kue untuk membentuk terigu agar mudah dibuat sesuai kebutuhan.

"Jadi misalkan ada bahan baku semacam karbohidrat kaya tepung atau aci lalu melalui proses extruder (alat pembuat benda dengan penampang tetap), lalu ada plastisizer untuk membentuknya. Kalau itu mungkin terjadi," jelasnya saat berbincang dengan detikcom, Jumat (22/5/2015).

Asmuwahyo melihat dari pernyataan pihak Sucofindo tidak pernah ada kesimpulan plastik di dalam beras. Yang ada, temuan ditemukan positif kandungan senyawa Polyvinyl Chloride, yang kerap ditemukan dalam pipa. Tapi, bagi Asmuwahyo, penelitian itu masih dalam konteks positif atau negatif saja, belum sampai jumlah kadar senyawa Polyvinyl Chloride di dalamnya. (Pihak Sucofindo menyebutkan ada 6,76% campuran klorida dalam sampel 250 gram beras).

Dengan alat yang digunakan Sucofindo (screening spectrum infrared), yang disebut Asmuwahyo sangat sensitif, maka senyawa itu bisa berasal dari mana saja. Artinya, bisa saja terkontaminasi dari benda-benda lain dari luar.

Sekadar informasi, para penjual beras kadang menggunakan pipa paralon untuk 'meratakan' takaran literan beras. "Bisa saja jumlah kontaminasinya sedikit dan dari mana saja," terangnya. 

Plastisizer, kata pria yang pernah melakukan riset soal singkong jadi kantong kemasan ini, ada beberapa jenis yang dilarang untuk digunakan di dunia internasional. Salah satunya termasuk Polyvinyl Chloride. 

"Bahan itu juga sudah nggak dijual bebas. Nggak berani dijual bebas karena membahayakan manusia," terangnya.

Catatan kritis lain soal peredaran beras plastik juga disampaikan oleh Harry Nazarrudin. Dia membuat dua tulisan soal isu beras plastik yang beredar di masyarakat. Pertama, ada lima fakta yang dia sampaikan, mulai dari video pembuatan 'beras plastik' yang muncul di YouTube sampai beras yangtertukar PVC.

detikcom sudah mengirim email pada Harry untuk wawancara, namun belum mendapat respons.

--

5.21.2015

"kedhuwung nguntal wedhung"


From: <syauqiyahya@gmail.com>



Hajriyanto: Kubu Ical atau Agung yang Menang PTUN , Semua Pasti Menyesal!

http://m.detik.com/news/read/2015/05/17/133226/2916697/10/hajriyanto-kubu-ical-atau-agung-yang-menang-ptun--semua-pasti-menyesal

Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - Menjelang putusan PTUN, Golkar kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono saling mengklaim optimisme menang. Bagi politikus senior Golkar, Hajriyanto Y Thohari, siapa pun yang menang pasti bakal menyesal.

"Apapun keputusannya, pasti semua pihak akan "kedhuwung nguntal wedhung" artinya semuanya akan menyesal karena dulu ketika mengambil keputusan tidak mau berpikir panjang," kata Hajriyanto yang sejak awal menggagas munas rekonsiliasi ini, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (17/5/2015).

Menurur Hajri, saat ini sudah tak bisa mundur lagi. Pilihannya serba sulit buat Golkar.

"Sekarang sudah tidak bisa mundur lagi. Sebab mundur hancur maju tatu. Oleh karena itu maka ojo kagetan (jangan mudah kaget), ojo gumunan (jangan gampang kagum), ojo dumeh (jangan mentang-mentang dimenangkan oleh PTUN, ojo padudon (jangan bertikai terus), ojo congkrah (jangan berkelahi), ojo gendro (jangan tawuran politik), ojo rumongso biso ning biso rumongso (jangan merasa bisa)," kata Hajri.

"Itu semua ajaran Jawa yang adiluhung. Itu artinya seperti itu," pungkas Hajri tak mau menjelaskan panjang lebar soal blunder Golkar yang berakhir dengan perpecahan berkepanjangan.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akan memutus perkara gugatan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) terhadap Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada Senin (18/5) besok. Kubu Ical yakin bakal menang PTUN, namun kubu Agung Laksono akan lanjut ke tahap banding. Karena kedua kubu ngotot inilah banyak pihak menilai kisruh Golkar tak kunjung selesai.

(van/bpn)

Tak Pernah Ada


From: <syauqiyahya@gmail.com>



Mabes Polri: Kasus Budi Gunawan Tak Pernah Ada

http://m.news.viva.co.id/news/read/627378-mabes-polri--kasus-budi-gunawan-tak-pernah-ada


Dedy Priatmojo, Syaefullah

Selasa, 19 Mei 2015, 10:55 WIB



VIVA.co.id - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Brigadir Jenderal Polisi Victor Edi Simanjuntak mengatakan, penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri telah melakukan gelar perkara kasus dugaan korupsi yang sempat dituduhkan kepada Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Gelar perkara kasus Budi Gunawan itu digelar secara tertutup dengan melibatkan para penyidik Bareksrim Polri dan pakar hukum pidana serta pencucian uang, yakni Chairul Huda, Teuku Nasrullah dan Yenti Ganarsih.

"Hasilnya tidak layak untuk ditingkatkan ke penyidikan," kata Victor, saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Selasa 19 Mei 2015.

Menurut Victor, kasus Budi Gunawan tidak patut untuk diusut kembali. Sebab, penetapan tersangkanya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memenuhi syarat.

"Mau dihentikan bagaimana, orang gelar saja sudah menunjukkan bahwa penyidikan nggak memenuhi syarat. Jadi polisi anggap perkara itu tak pernah ada," ujar Victor yang juga mantan anak buah Budi Gunawan di Lemdik Polri.

Victor sebelumnya mengatakan, Bareskrim Polri akan melakukan gelar perkara terbuka kasus Budi Gunawan dengan melibatkan beberapa KPK, Kejaksaan Agung dan para ahli. Namun, dia mengklaim, pihak-pihak yang diundang tidak ada yang bersedia hadir.

Skenario

Kasus Budi Gunawan bakal dihentikan Polri ini sebenarnya sudah dapat ditebak. Sejak awal kasus Budi Gunawan dilimpahkan dari KPK ke Kejaksaan Agung, kemudian oleh Kejaksaan dilimpahkan lagi ke Mabes Polri, menimbulkan banyak pertanyaan terkait akuntabilitas penanganan kasus tersebut.

Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mempertanyakan langkah Kejaksaan Agung tersebut. Lantaran, proses pelimpahan perkara Budi Gunawan ke Bareskrim Polri dinilainya tidak jelas.

Bahkan, dia menyebut, dengan adanya pelimpahan itu, maka potensi pengehentian penyidikan perkara itu sangat terbuka.

"Potensi kasus korupsi dihentikan oleh Bareskrim sangat kuat, proyeksi 99 persen," kata Emerson dalam keterangan tertulisnya, Selasa 7 April 2015 lalu.

Lebih lanjut, Emerson menduga pelimpahan tersebut merupakan bagian dari skenario untuk meloloskan Budi Gunawan dari proses hukum.



Aneh, Polri Bantah Telah Gelar Perkara Kasus Budi Gunawan

"Diduga, bagian dari skenario untuk meloloskan BG dari proses hukum dan memuluskannya menjabat sebagai Wakapolri," kata dia. (ase)



© VIVA.co.id
Powered by Telkomsel BlackBerry®

--

Berarti Ada Sesuatu ?



From: A.Syauqi Yahya 


Kuasa Hukum: Jika Polri Tidak SP3 Kasus BW, Berarti Ada Sesuatu

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/20/19022041/Kuasa.Hukum.Jika.Polri.Tidak.SP3.Kasus.BW.Berarti.Ada.Sesuatu

KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Kuasa hukum Bambang Widjojanto, Ainul Yaqin, menunjukkan surat pencabutan gugatan praperadilan terhadap Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (10/5/2015).
Rabu, 20 Mei 2015 | 19:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Bambang Widjojanto, Ainul Yaqin, meminta Polri menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus yang menjerat kliennya. Menurut dia, tidak ada alasan lagi bagi Polri melanjutkan perkara Bambang.

"Jika Polri tidak mengeluarkan SP3 perkara BW, berarti ada sesuatu. Patut dipertanyakan," ujar Ainul, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/5/2015).

Ainul mengatakan, komisi pengawas Peradi telah mengeluarkan surat keputusan bahwa Bambang tidak melanggar kode etik atau pun tindak pidana. Jika organisasi profesi pengacara sudah menyimpulkan demikian, menurut dia, seharusnya polisi segera menghentikan kasus BW.

Surat putusan komisi pengawas Peradi itu, kata Ainul, keluar tanggal 27 April 2015 lalu. Namun, pihak BW baru mendapatkan salinan putusannya pada 15 Mei 2015.

Ainul menambahkan, putusan komisi pengawas Peradi itu melalui proses yang panjang dan didasarkan atas pemeriksaan saksi-saksi. Oleh karena itu, dia meyakinkan bahwa putusan komisi pengawas merupakan putusan berkekuatan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Bahkan, salah satu anggota komisi pengawas itu adalah kuasa hukumnya pelapor BW di kepolisian," ujar Ainul.
 
"Fakta lain menunjukan, ada sekitar 340 kasus advokat di kepolisian. Sebagian besar, putusan Peradi seperti ini didengar polisi, perkaranya lalu dihentikan. Makanya kalau sampai polisi mengabaikan putusan soal BW kali ini, benar sudah dugaan kami selama ini, ada sesuatu, ada rekayasa," lanjut Ainul.

Bambang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), 2010 silam. Sidang tersebut melibatkan dua calon bupati Kotawaringin Barat, yakni Sugianto Sabran dan Ujang Iskandar. Saat itu, Bambang adalah kuasa hukum Ujang Iskandar.

Persidangan berakhir dengan kemenangan kubu Ujang. Menurut kepolisian, Bambang diduga kuat telah mengarahkan dan menginstruksikan saksi di sidang untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang yang salah satu panelis hakim yakni Akil Mochtar tersebut.

Penyidik menyangka Bambang dengan Pasal 242 ayat (1) KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana juncto Pasal 56 KUHP tentang dipidana sebagai pembantu kejahatan.

Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

5.19.2015

Pembelokan Isu Murahan Pemerintah


From: <syauqiyahya@gmail.com>



PDIP: Prostitusi Artis Pembelokan Isu Murahan Pemerintah

http://m.news.viva.co.id/news/read/627641-pdip--prostitusi-artis-pembelokan-isu-murahan-pemerintah

Syahrul Ansyari, Reza Fajri

Selasa, 19 Mei 2015, 18:06 WIB



VIVA.co.id - Wacana reshuffle di Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla, kini kian memanas. Para politisi dan pengamat juga semakin ramai mengomentari wacana tersebut. Perdebatan mengenai reshuffle juga tak jarang melebar ke perdebatan-perdebatan lainnya.

Salah satu yang mengomentari adalah politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Effendi Simbolon. Effendi menilai ada dua jenis golongan yang menginginkan adanya reshuffle.

"Ada masyarakat yang benar-benar ingin agar bagaimana (reshuffle) mencari solusi, bisa membenahi manajemen pemerintah sekarang. Mereka itu baik yang memilih Jokowi atau yang tidak memilih," kata Effendi ketika ditemui di Mampang, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Mei 2015.

Sementara golongan kedua, lanjut Effendi, adalah mereka yang berkepentingan untuk mencari kekosongan yang ditinggalkan oleh menteri yang diganti.

"Ada yang mencari-cari ruang keuntungan. Ujung-ujungnya ya urusan lapak juga," ujar Effendi.

Menurut Effendi, isu perombakan kabinet adalah isu yang akan semakin menjadi
perhatian masyarakat, dan tidak akan bisa ditutup-tutupi dengan isu lain. Misalkan saja dengan memunculkan isu prostitusi di kalangan artis.



'Jangan Sampai Kabinet Kerja Jadi Kabinet Heboh'

"Nggak bisa ditutupi dengan isu prostitusi artis. Itu pembelokan murahan dari pemerintah," kata Effendi.

12,5T donge ora terlalu gede ya? Asal ra dikorupsi


From: Suhardono


Jalan Trans Papua 4.300 Km Masih Putus-putus, Butuh Rp 12,5 T Lagi

Dana Aditiasari - detikfinance
Selasa, 19/05/2015 07:09 WIB


Jakarta -Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan pembangunan jalan nasional, yang diberi nama Jalan Trans Papua, dapat tersambung seluruhnya di 2019. Kebutuhan untuk menyambungkan seluruh jalan di Papua dan Papua Barat tersebut diperkirakan mencapai Rp 12,533 triliun.

Demikian disampaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono kepada detikFinance, di Ruang Kerjanya, Senin (18/5/2015).

"Total untuk pembangunan jalan tol seluruhnya ada Rp 12,533 triliun. Itu kebutuhan secara total," ujar pria kelahiran Surakarta 5 November 1954 ini.

Kebutuhan dana tersebut diperlukan, untuk membangun 827 km jalan yang belum terhubung, dari total panjang jaringan Jalan Trans Papua yang mencapai 4.325 km. Ini termasuk pembangunan jembatan dan peningkatan struktur, hingga perbaikan jalan yang mulai rusak.

"Trans Papua panjangnya 4.325 km. Yang belum terhubung 827 km. Presiden menargetkan 2019 tersambung semua," katanya.