4.25.2014

Prof. Rhoma Irama



From: A.Syauqi Yahya


Rhoma Irama bukan "Guru Besar" Luar Biasa, Tetapi "Guru Besar" Biasa Diluar

Irham Wp
26 Feb 2014 | 02:08

Sumber: source : detik.com

Mungkin bukan hanya saya, tetapi anda semua pasti akan geleng-geleng kepala, betapa tidak ? bila anda membaca detik.com hari ini, 25-2-2014 berjudul : "Sejak Kapan Rhoma Irama bergelar Profesor ? Ini Jawaban Timsesnya" dan "PKB Heran Rhoma Punya Gelar Profesor" tentu membuat banyak orang tertawa geli, geleng-geleng kepala dan prihatin sembari mengucap istigfar. Tetapi mungkin ini lelucon (humor) tanah air terbesar minggu ini.

Humor, lelucon ?, ya benar. Sejenak setelah bangsa kita dilanda berbagai bencana mulai dari  banjir, abu vulkanik gunung meletus dan mungkin sebentar lagi menghadapi polusi asap (haze) yang setiap tahunnya muncul akibat terbakar hutan di Sumatera, sejenak kita mendapati lelucon politik. Lelucon yang memang jadi lucu dan kocak, namun bisa berakibat menghancurkan kredibitas sang tokoh bergelar "profesor" itu.

Sayangnya lelucon itu diluncurkan oleh timses dari penyanyi dangdut Rhoma Irama. Ini akibat rendahnya kualitas timses, baik dalam pemahaman akademik maupun strategi politik serta dampak sosial terhadap sang tokoh, icon politiknya. Mereka mengganggap masyarakat Indonesia masih merupakan komunitas bodoh, yang gampang ditipu dan dibodohi melalui baliho-baliho yang terpasang di daerah Tanjung Barat Raya.

Sungguh sangat disayangkan karena "action" Timses Rhoma Irama bukan hanya menjadikan sang tokoh jadi bulan-bulanan publik, baik secara head to head, maupun di jejaring media sosial dan media massa. Mereka, timses, telah menjauhkan Rhoma Irama dari afirmasi sosial, menjauhkan sang tokoh dari simpati publik, dan kini  menjadikan Rhoma Irama sebagai "badut akademis" , bahan tertawaan orang banyak. Kasihan sesungguhnya.

Jawaban timses yang menyatakan bahwa , "profesor itu gelar honoris causa, sudah lama itu, Sudah sejak tahun 80-90 an", membuat cibiran berbagai kalangan. Apabila  dan seandainya timses itu mengerti apa makna dari gelar profesor, tentu mereka tidak akan kemudian menjerumuskan sang tokoh pada posisi yang "tidak nyaman" di mata publik, gunjingan di kalangan akademisi.

Gelar honoris causa , dalam hal ini misalnya Doktor (S3) umumnya diberikan kepada mereka yang dipandang memberikan kontribusi yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan dan atau kontribusi nya kepada masyarakat banyak. Sedangkan professor kehormatan (honorary professor) umumnya diberikan atas penghargaan guru besar itu mengajar di universitas lain dan sering sekali disebut sebagai ; guru besar luar biasa.

Di lingkungan universitas, guru besar universitas yang sudah pensiun tetapi tetap diminta memberikan kuliah umum misalnya, maka para guru besar ini sering disebut pensiunan profesor atau professor emeritus. Nah, pertanyaannya sejak kapan Rhoma Irama menjadi pendidik (dosen) dan memperoleh jenjang kepangkatan akademik sebagai seorang guru besar.

Kepada timses Rhoma, seharusnya jangan salah mengartikan "honoris causa" pada jenjang guru besar. apabila Rhoma pernah mendapatkan Surat Keputusan (SK) PNS dan berkarir di perguruan tinggi bidang musik dan seni, maka seyogyanya timses tadi mampu menunjukkkan keppres guru besar bagi Rhoma Irama yang ditandatangani Presiden RI. Tentu golongan ruangnya telah memenuhi syarat sebagaimana ketentuan perundang-undang yang ditetapkan, golongan ruang IV.

Apabila profesor itu bersifat kehormatan atau mungkin yang dimaksud timses adalah "emeritus", maka seharusnya Rhoma Irama telah ditetapkan menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi, dan apabila itu diluar negeri syarat ketat mencapai jumlah "cum" tertentu sebagaimana ditetapkan pemerintah federal AS, dalam hal ini secretary of state yang membidangi pendidikan. Menulis buku, tentu dalam bahasa inggris dan menjadi acauan baku, buku text, bagi para mahasiswanya. Pertanyaan lebih lanjut, berapa buku yang telah ditulis Rhoma dan menjadi panduan mahasiswa asing  serta berapa lama "jam terbang" sebagai guru besar di perguruan tinggi itu ?

Penipuan yang dilakukan orang asing  dalam rangka menjual gelar honoris causa, kini telah mengglobal. Ada yang menggunakan menjiplak nama "Harvard" menjadi Harvard International University, ada yang mengadopsi nama Presiden Kennedy, pokoknya bermacam-macam cara melakukan penipuan berskala internasional guna mendapatkan sejumlah dolar. Hanya bermodalkan website atau sebuah ruang kerja, gelar yang dijual $ 500 hingga $2000 itu punya banyak peminat.

Saat Syah Reza Pahlevi ditumbangkan revolusi Iran, banyak mahasiswa Iran yang kemudian membeli gelar baik S1 (setingkat) Bachelor maupun Master (S2), hal itu dilakukan karena mereka harus menyudahi bantuan pemerintah dan pulang dengan gelar "akademis". Di AS sendiri, negeri yang liberal, kini hanya sekitar 3000 lembaga pendidikan tinggi yang terakreditasi.

Perguruan tinggi  terakreditasi itu kemudian oleh lembaga pemeringkat perguruan tinggi dalam 5 (lima) katagori, seperti katagori most competitive (Harvard, Princeton, Yale, MIT, Caltech, Rice, Stanford dll), Highly Competitive, Competitive, Less Competitive dan Non Competitive. Diluar sekitar 3000 yang diakreditasi baik federal maupun negara bagian, masih ada ribuan perguruan tinggi yang tidak terakreditasi.

Yang kini dipertanyakan adalah, ketua timses pencapresan Rhoma sebagaimana dikutip Detik.com, berikut ini, "Ramdansyah tak ingat nama universitas yang memberikan gelar tersebut. Namun dia sangat yakin capres jagoannya telah mendapat mendapat penghargaan gelar profesor itu dari universitas dalam dan luar negeri", dimana Rhoma mendapatkan jenjang kepangkatan guru besar itu ?.Selanjutnya dinyatakan : "Gelar profesornya untuk culture, dianggap menciptakan dangdut. Kalau baca buku tentang dangdut pasti ada data soal pemberian gelar itu," tutur eks Ketua Panwaslu DKI ini ".  juga ditambahkan, "Gelar profesor juga tak hanya menghiasi nama Rhoma di spanduk itu saja. Ramdansyah mengatakan beberapa kali Rhoma tampil di forum-forum resmi dengan gelar profesornya". Tiga kalimat pamungkas dari ketua timses yang telah berhasil menghancurkan dan melumatkan kredibilitas Rhoma Irama dimata publik.

Fatalnya, ketua timses itu menganalogikan bahwa Profesor merupakan gelar. Ini keliru !, karena profesor merupakan jenjang kepangkatan di lingkungan perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian seperti LIPI atau dan Badan-Badan Kementerian, seperti misalnya jenjang fungsional bagi para peneliti uatama, profesor riset. Media massa akan mengejar bukti formal dan petunjuk autentik universitas pemberi jenjang kepangkatan guru besar bagi Rhoma Irama.

Seyogyanya, saya kasihan melihat Rhoma Irama. Saat wawancara "Mata Najwa" beliau ditanya, seandainya menjadi Presiden maka apa mengerti perbedaan belanja rutin dan dan belanja modal dalam APBN. Dan Rhoma tidak bisa menjawabnya, kini saya menjadi prihatin dengan timses nya yang bukannya menempatkan Rhoma pada situasi simpati masyarakat, namun justru menjerumuskan beliau.

Mungkin harus ada seseorang atau tim yang benar-benar mengerti bagaimana mendudukan Rhoma Irama sebagai publik figur, dan "menjual"nya secara elegan, bukan dengan cara rendahan yang berdampak kepada bulan-bulanan sang tokoh. Atau ini memang lelucon minggu ini, yang hayanya untuk mencari pupularitas sesaat ?, tetapi dengan akibat yang negatif kepada sang tokoh ?

Kepada timses saya hanya bisa menyarankan segera mencabuti baliho-baliho itu dan mintalah maaf kepada publik, karena bukan dengan cara demikian itu mengorbitkan Rhoma Irama sebagai calon Presiden.
Dibaca : 10 kali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar