12.31.2019

Keren banget burungnya

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 335

@bende mataram@
Bagian 335

Maka dengan perlahan-lahan ia kembali mengarah ke padepokan. Kemudian
berbicara lancar. "Meskipun muridmu kalah ulet, tapi Adipati Surengpati tak
mau gegabah. Dalam hati ia mengakui keunggulanmu." Kyai Kasan Kesambi
tertawa perlahan, la sadar akan kelicinan lawan. Berkata, "Hebat! Engkau
sampai bisa membaca hati orang." Kebo Bangah tertawa berkakakan. Sadar akan
kecerobohannya, cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. 'Tetapi selama
hidupku... baru kali ini aku mengakui ketangguhan seorang. Itulah cucu
muridmu sendiri. Hm... tak kusangka ia berani mengadu pukulan dengan aku.
Dan hasilnya aku bisa dijungkir-balikkan." "Eh, masakan begitu. Kalau
benar, mestinya engkau tak kan sampai di sini," Kyai Kasan Kesambi
bersangsi. Kebo Bangah tak menyahut. Ia mempercepat larinya. Dan Kyai Kasan
Kesambi menjaja-rinya. Makin lama lari Kebo Bangah makin cepat. Dalam hati
ia hendak menguji kegesitan orang tua itu. Dahulu Kyai Kasan Kesambi
terkenal kecepatan larinya. Kinipun ternyata tak kurang tenaganya. Bahkan
terasa kian jadi masak. Langkahnya seperti ayal-ayalan. Tetapi cepatnya
luar biasa. Itulah sebabnya seolah sekejap mata mereka berdua sampai di
padepokan. Mendadak saja terdengarlah suatu kesibukan. Kedua-duanya
terkejut dan masing-masing mempunyai kesan sendiri. Kebo Bangah yang
mempunyai maksud buruk, segera bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa rencananya tak
berjalan dengan lancar. Dalam hati, ia mengutuk pasukan Pangeran Bumi Gede
dan anak buahnya sendiri. Kenapa begini terlambat, pikirnya. Dia tak tahu,
bahwa mereka terlalu berhati-hati sewaktu hendak mendaki Gunung Damar.
Hampir sehari penuh, mereka sibuk mengatur penjagaan. Kecuali untuk
merintangi bala bantuan, tujuannya untuk membendung arah larinya Kyai Kasan
Kesambi pula. Kemungkinan Kyai Kasan Kesambi melarikan diri tidak perlu
disangsikan lagi. Sebab meskipun gagah, masakan tahan menghadapi keroyokan
dua tiga ratus orang. Dan apabila dia lari, pasti pula membawa Wirapati.
Kyai Kasan Kesambi tak mempunyai dugaan terlalu buruk terhadap Kebo Bangah.
Sekalipun dia tahu lawannya itu sangat licin, ia tak mau percaya bahwa
sebagai seorang pendekar besar, Kebo Bangah akan sampai melakukan
perbuatan-perbuatan rendah. Pastilah peristiwa kesibukan itu hanya secara
kebetulan belaka berbareng dengan datangnya Kebo Bangah. Lalu berkata
mencoba, "Sudah terlalu banyak rakyat yang tak tahu menahu urusan
pemerintahan menjadi korban suatu kelaliman orang-orang tertentu. Bagaimana
pendapatmu?" Kebo Bangah sangat licin. Sama sekali raut mukanya tak
berubah. Dengan tenang ia men-jawab, "Aku ingin tahu pula, siapakah yang
berani menghina padepokanmu." Setelah menjawab demikian, segera ia
mempercepat larinya. Kyai Kasan Kesambi tak mau ketinggalan pula. Sewaktu
datang di paseban, mereka melihat Sangaji sedang menyambut perlawanan musuh
dengan ilmu Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti ciptaan Kyai
Kasan Kesambi. "Nah, kau tak percaya omonganku tadi?" bisik Kebo Bangah.
"Tenaga cucu-muridmu lebih hebat dari tenagamu sendiri. Lihat saja nanti
akhirnya!" Mereka berdua bisa bergerak dan berbicara dengan leluasa tanpa
ketahuan orang. Sebab semua orang di dalam paseban menumpahkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran itu. Mendadak saja—setelah mengelak mundur
—Sangaji berhasil menggempur Keyongbuntet sampai terpental keluar paseban.
Dalam hati, Kebo Bangah tergetar melihat adik seperguru-annya runtuh di
depan hidungnya. Tetapi Kyai Kasan Kesambi seolah-olah tidak memperhatikan
peristiwa itu. Dahinya nampak ber-kerenyit. Dengan pandang seolah-olah tak
mempercayai penglihatannya sendiri, dia menegur Kebo Bangah. "Bukankah itu
adik seperguruanmu? Ah! Aku memang sudah pikun. Mengapa kau tak berkata
terang-terangan di hadapanku." Kyai Kasan Kesambi adalah seorang pertapa
yang sudah menyekap diri berpuluh-puluh tahun lamanya. Kata-kata demikian
sudahlah merupakan ucapan sangat tajam penuh sesal. Keruan saja Kebo Bangah
lantas saja menjadi sibuk. Tetapi diapun seorang pendekar besar pula.
Selain sombong, angkuh, licin dan banyak akal, mempunyai kehormatan diri
sangat besar. Begitu sadar bahwa kedoknya bakal terbuka, kehormatan dirinya
tersinggung. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia melompat mundur empat langkah.
Dengan pandang berapi-api ia menyahut, "Siapa suruh kau mengeram dalam
padepokan, siapa suruh anak cucu muridmu memiliki pusaka Bende Mataram
segala. Memang aku datang untuk itu. Kau mau apa?" Mendengar ucapan Kebo
Bangah, Kyai Kasan Kesambi sangat prihatin. Hatinya penuh sesal dan pedih.
Karena tak biasa ia beradu ketajaman lidah, ia lantas tertawa
perlahan-lahan. Namun pandang matanya berkilat-kilat. Gagak Handaka dan
segenap adik sepergu-ruannya tahu, bahwa gurunya sedang bergulat melawan
puncak kegusaran. Karena itu serentak ia membentak tajam. "Sungguh tak kami
duga-duga, bahwa seorang pendekar besar bisa berlaku begini licik. Sebagai
seorang ksatria mengapa tak berani terang-terangan memperlihatkan dadanya.
Gagal atau berhasil bukankah soal lumrah dalam suatu tujuan?" "Kau anak
kemarin sore menjual obrolan apa di hadapanku?" Kebo Bangah membalas
membentak. Terus saja ia melesat sambil mengirim pukulan. Semua yang hadir
di padepokan Gunung Damar tahu, bahwa tenaga Kebo Bangah tak boleh dibuat
gegabah. Tenaga pukulannya bisa menghancurkan batu gunung setinggi rumah.
Karena itu, sekalian murid Kyai Kasan Kesambi terkejut. Cepat-cepat mereka
senyibak dan mengelakkan pukulan Kebo Bangah dengan bergulungan di lantai.
Tiba-tiba saja nampaklah sesosok bayangan memapak pukulan itu. Plak! Waktu
itu hari sudah gelap. Samar-samar Kyai Kasan Kesambi mengenal bayangan yang
memapak pukulan Kebo Bangah. Itulah anak cucu muridnya Sangaji. Hatinya
tercekat. Di luar kemauannya sendiri ia sampai bersuara kaget. Di dunia ini
siapakah yang mampu menahan pukulan Kebo Bangah yang sedang mengumbar
amarahnya? Tapi kenyataannya sungguh di luar dugaan. Masing-masing hanya
tergetar mundur dua langkah dengan tubuh bergoyangan. Kebo Bangah sudah
mengambil keputusan nekat. Dia tahu, pihaknya lebih menang jumlah. Dan
kalau sudah memutuskan suatu tindakan, tak mau dia setengah-tengah lagi.
Terus saja ia bersiaga. Bagus Kempong yang dapat memikir jauh segera
berseru kepada Suryaningrat, "Nyalakan lampu dan jagalah kakakmu Wirapati.
Bukankah mereka datang untuk menculik kakakmu Wirapati agar dapat dijadikan
alat penukar dua pusaka milik keponakan muridmu?" Mendengar ucapan Bagus
Kempong, diam-diam Kyai Kasan Kesambi menarik napas, la menyesali diri
sendiri, mengapa begitu lengah menggerayangi kelicinan Kebo Bangah. Dalam
pada itu Sangaji sudah siap bertempur pula. la menarik napas dalam-dalam.
Tenaga murninya lantas saja bergerak berputar. Makin lama makin cepat dan
tenaga perangsangnya bukan main besar. "Aku tak percaya di dunia ini ada
suatu tenaga yang bisa menahan gempuran Kala Lodra!" teriak Kebo Bangah
mengguntur. Dan setelah berteriak demikian, ia melompat sambil mengayunkan
tangannya. Plak! Untuk kedua kalinya mereka beradu tenaga. Kini selisih
tenaga masing-masing nampak jelas. Waktu itu lampu telah dinyalakan terang
benderang. Kebo Bangah tergempur mundur dua langkah, sedang Sangaji masih
berdiri tegak bagaikan batu karang. Sama sekali ia tak tergoyahkan. Keruan
saja Kebo Bangah bertambah gusar sampai matanya melotot. "Kau tak
bergeming? Bagus!" serunya garang. "Tapi jangan cepat-cepat berbesar hati,
Kala Lodra bukan ilmu picisan. Sambutlah sekali lagi!" Benar-benar Kebo
Bangah mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Tulang belulangnya terdengar
berpele-takan. Jangan lagi murid-murid Kyai Kasan Kesambi bahkan Kyai Kasan
Kesambi sendiri terperanjat pula. Bagus Kempong tak kuat lagi menahan
keguncangan hatinya, terus ber-teriak memperingatkan Sangaji. "Aji! Turun
ta-ngan dahulu sebelum dia berhasil menghimpun tenaga!" Sangaji mengangguk
sambil melangkah maju. Tetapi dia tak menyerang. Ia tunggu gerakan lawan
dan begitu melihat Kebo Bangah berjongkok sambil mengangkat tangannya.
Cepat-cepat ia menarik napas dalam-dalam. Hawa murninya segera bergolak.
Kedua tangannya terus menapak. Suatu tenaga benturan bagaikan gugurnya
sebuah gunung terdengar meledak: Blaaang! Pada saat itu terdengarlah jerit
Kebo Bangah. Tubuhnya terpental seperti sebuah peluru batu terlepas dari
sebuah bandringan raksasa. Tubuhnya menumbuk tiang dan terus menjebol
dinding. Seketika itu juga gemuruhlah suara dinding runtuh dan atap paseban
hancur berantakan berkepingan. Selagi semua orang tercengang-cengang kaget.
Tiba-tiba masuklah seorang berkulit putih lewat lubang dinding yang bobol
tadi. Dia datang dengan memapah tubuh Kebo Bangah. Dan lantas berkata,
"Anak tolol! Pukulanmu bukan main besar sampai aku merasa kewalahan. Kau
apakan bangsat ini?" Ternyata dia adalah Gagak Seta, pendekar sakti yang
berwatak angin-anginan. Diapun mendaki Gunung Damar begitu mendengar
kesibukan pasukan Pangeran Bumi Gede. Seperti diketahui, dia meninggalkan
gelanggang pertempuran menjelang pertarungan seru antara para pendekar
melawan pasukan Pangeran Bumi Gede. Dia seumpama seekor naga, kelihatan
ekornya tapi tidak kepalanya. Gerak-geriknya bebas liar, tetapi matanya
tajam luar biasa. Jangan lagi tentang gerakan pasukan yang dianggapnya
sebagai musuh, sedangkan seorang penjahat licinpun tidak bakal terlepas
dari pengamatannya. Itulah sebabnya, menguntit perjalanan para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede bukan merupakan suatu hal yang sulit baginya.
Walaupun agak terlambat, tetapi bukannya kasep.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Ikan jadi2an

Hati2 sudah ada ikan jadi2an..mohon berhati2 daerah bedog gaes

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Wader cakul

Cakule gedi2

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 334

@bende mataram@
Bagian 334

Terus ia mengerahkan segenap tenaganya. Pada waktu itu, dengan gemas
Keyongbuntet menyerang dahsyat. Maklumlah, dia merasa direndahkan. Tetapi
hebat akibatnya. Kedua lengannya terdengar gemeretak. Tahu-tahu remuk tak
berwujud lagi. Tubuhnya terpental menghantam adik seperguruannya Maesasura.
Dan kedua-duanya terbang melayang jauh melintasi paseban. Kaki mereka
menghantam pohon dan patah menjadi empat. Kemudian jatuh bergedebrukan di
tanah tanpa berkutik lagi. Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berlaku
kejam terhadap lawan-lawannya rresKi betapa kejampun. Kalau ia mengerahkan
.segenap tenaganya tujuannya hendak menolak hawa beracun lawan. Kemudian
akan menggempurnya, selintasan untuk menghajar adatnya yang bengis dan
keji, agar tak semena-mena lagi menganiaya seorang gadis tak berdosa. Di
luar dugaannya, ternyata tenaga jasmaninya luar biasa hebat. Benar dia
pernah mencobanya tatkala menyusun kubu pertahanan, tetapi semenjak keluar
benteng baru kali itulah dia menggunakan sepenuhnya untuk menghadapi lawan.
Dan begitu melihat penderitaan lawan, hatinya yang mulia jadi iba. Segera
ia hendak melompat menghampiri. Mendadak dari dalam paseban terdengarlah
suara seperti gembreng pecah. "Nah kau lihat sendiri hai tua bangka! Dia
mengaku sebagai anak cucu muridmu. Nyatanya dia jauh lebih hebat dari ilmu
kepandaianmu sendiri. Kau sekarang mau bilang apa?" Itulah suara pendekar
Kebo Bangah. Ia ternyata sudah berdiri berjajar dengan Kyai Kasan Kesambi
di paseban dalam. Melihat mereka berdua, Sangaji berdiri tertegun. Pada
pagi hari tadi, Kebo Bangah sampai di padepokan Gunung Damar. Terus saja ia
minta bertemu dengan Kyai Kasan Kesambi. Niatnya sudah tetap, hendak
menculik Wirapati sebagai alat penukar kedua pusaka sakti Bende Mataram
yang berada dalam tangan Sangaji. Tetapi ia licin. Sebagai seorang pendekar
kawakan, dia tahu menilai ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi. Terhadap
orang tua itu, dia tak berani berlaku semberono. Karena itu diam-diam ia
hendak melakukan akal licik, la menantang orang tua itu bertukar pikiran
mengenai ilmu kepandaian di suatu tempat yang agak jauh dari padepokan.
Sementara itu, ia berharap anak buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede
menggerebek pade-pokan Gunung Damar pada siang hari dan terus menculik
Wirapati. Tetapi akal liciknya ini tak gampang-gampang dapat dilaksanakan.
Kyai Kasan Kesambi ternyata bukan lagi hidup sebagai seorang pendekar, la
sudah menjadi seorang pendeta sampai kebulu-bulunya. Terhadap segala tetek
bengek mengenai urusan keduniawian sudah tak sudi menghiraukan lagi. Maka
cepat-cepat ia berganti arah. Terus saja ia membicarakan tentang ragam ilmu
kepandaian di dunia ini, dengan tak berkepu-tusan. Sekali-kali ia sengaja
memberi peluang kepada Kebo Bangah untuk minta pendapatnya, pertimbangannya
dan petunjuk-petunjuknya, la memang seorang pendekar yang gila terhadap
macam ilmu kepandaian di dunia ini. Pengetahuannya luas dan banyak akalnya
pula. Itulah sebabnya meskipun lamban lambat-laun ia berhasil menarik
perhatian Kyai Kasan Kesambi. Akhirnya minta agar Kyai Kasan Kesambi sudi
melihat dan menilai ilmu kepandaiannya yang sudah ditekuni selama dua puluh
tahun. Dahulu dia pernah kalah seurat melawan ilmu kepandaian Kyai Kasan
Kesambi. Sekarang ia berbalik hendak menebus kekalahannya itu. Dan untuk
memperli-hatkan ilmu saktinya itu, dia minta suatu tempat yang memencil.
Kyai Kasan Kesambi meluluskan. Dan demikianlah, maka mereka berdua
meninggalkan padepokan Gunung Damar menjelang tengah hari. Meskipun Kyai
Kasan Kesambi kenal kelicinan Kebo Bangah, tapi ia tak menduga buruk. Dia
hanya bersikap hati-hati dan berwaspada. Kebo Bangah sendiri bisa membawa
diri. Dia bukan goblok pula. Setelah meninggalkan padepokan Gunung Damar
cukup jauh, ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya. Ia tak berani
mengurangi sejuruspun. Sebab main akal di depan Kyai Kasan Kesambi tidaklah
guna. Segera kecurangannya akan ketahuan. Tua bangka ini bukan main tajam
matanya. Kalau sampai terbangkit rasa curiganya, urusan penculikan ini bisa
gagal. Dia bersikap se-olah-olah tak sudi mengetahui urusan dunia. Tapi
mengapa menerima lima orang murid? Diam-diam Kebo Bangah menimbang-nimbang
dalam hati. Biarlah kucobanya. Kalau kuserang dia tak mau menangkis, itulah
namanya mencari mampusnya sendiri. Setelah berpikir demikian, mendadak saja
dia terus menyerang Kyai Kasan Kesambi dengan segenap tenaganya. Untung,
jauh-jauh Kyai Kasan Kesambi sudah bersikap hati-hati dan berwaspada.
Melihat mata orang, segera ia bersiaga. Begitu serangan Kebo Bangah tiba,
ia memapakinya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya mental dua langkah. Hanya
saja Kyai Kasan Kesambi tetap berdiri tegak, sedang Kebo Bangah perlu
berjungkir balik untuk memunahkan tenaga sendiri yang terkirim balik. Di
sini ternyatalah, bahwa Kyai Kasan Kesambi betapapun juga menang tangguh.
Dia tadi belum siap benar. Sebaliknya Kebo Bangah melakukan penyerangan
dengan sadar. Meskipun demikian dia tak tergoyahkan. "Bagus! Kau tua
bangka. Akhirnya ketahuan juga. Kau cuma bilang di mulut. Buktinya kau
masih menyayangi nyawamu yang sudah bangkotan!" seru Kebo Bangah dengan
tertawa riuh. Kyai Kasan Kesambi bersikap tenang-tenang. Dia hanya
tersenyum menghadapi kekasaran Kebo Bangah. Ia tahu, lawannya bukan
pendekar sembarangan. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah mengadu
kepandaian sampai berhari-hari lamanya. Untuk menghadapi dia, jauh-jauh ia
sudah bersiaga. Ia tahu, ilmu kebanggaan Kebo Bangah bernama Kala Lodra.
Untuk menghadapi ilmu Kala Lodra yang tangguh, ia sudah mempunyai
jurus-jurus pemunahnya. Yakni Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti
dengan dasar tenaga Pancawara yang dahsyat. Ilmu ciptaannya itu sebenarnya
dimaksudkan untuk menghadapi pendekar Kebo Bangah dan Adipati Surengpati.
Kedua pendekar itu bengis, licin dan serba pandai. Kemudian secara
kebetulan Sangaji mewarisinya. Meskipun belum sempurna, ia menduga pendekar
Kebo Bangah sudah pernah melihatnya. Kalau tidak, masakan dia sampai naik
padepokan Gunung Damar dan menantang mengadu ilmu kepandaian, pikirnya.
"Kebo Bangah! Makin bertambah umur, rasanya makin runyam jalan pikiranku.
Ciptaanku itu luar biasa jelek. Entah ada gunanya atau tidak untuk
kautekuni," kata Kyai Kasan Kesambi dengan sabar. Terhadap Kyai Kasan
Kesambi, Kebo Bangah tak perlu putar lidah, terus saja tertawa
terbahak-bahak sambil menyahut, "Hai— apakah benar itu ciptaanmu? Aku belum
pernah mencoba." Sehabis berkata demikian, langsung ia menyerang lagi
dengan ilmu Kala Lodra yang sudah disempurnakan. Kedua orang itu dahulu
pernah mengadu ilmu kepandaian sampai sepuluh hari lamanya. Kini mereka
bertempur lagi setelah saling menekuni ilmunya masing-masing selama dua
puluh tahun lebih. Masing-masing memperoleh kemajuannya sendiri. Karena itu
tidaklah gampang-gampang dapat diputuskan siapakah yang lebih unggul dalam
satu dua hari saja. Dan apabila dua harimau sedang bertarung, tidakkan
selesai sebelum salah satu mati atau setidak-tidaknya terluka parah.
Untung, Kebo Bangah tidak bermaksud untuk mengadu kepandaian dengan
sungguh-sungguh. Begitu matahari sudah merangkak-rangkak mendekati petang
hari, ia melompat ke luar gelanggang. Ia menduga, anak buahnya dan pasukan
Pangeran Bumi Gede sudah berhasil menculik Wirapati. Dasar ia banyak akal
dan licin, maka wajahnya sama sekali tak memperlihatkan suatu perubahan.
Bahkan dengan tertawa berkakakan ia berkata, "Kau tua bangka, makin tua
makin hebat! Namun, kalau jurusmu itu benar-benar hasil ciptaanmu, mengapa
anak cucu muridmu lebih hebat dari kau sendiri." Kyai Kasan Kesambi tak mau
terjebak. Segera menyahut, "Apa kubilang tadi. Bukankah ilmuku tiada
gunanya untuk kautekuni?" Kebo Bangah tercengang. Ia memang berbicara
dengan sebenarnya. Semalam ia kena pukul Sangaji. Teringat akan tenaga
Sangaji yang hebat, bulu kuduknya meng-geridik. Tadi agaknya, Kyai Kasan
Kesambi tak begitu menaruh perhatian. Dengan kenyataan itu teranglah, bahwa
tenaga sakti Sangaji benar-benar diperolehnya bukan dari ajaran ilmu Gunung
Damar. Teringat akan kedua pusaka sakti warisan, hatinya mendadak
terguncang hebat. "Tua bangka! Aku berkata dengan sebenarnya. Aku tahu,
jurusmu hebat. Aku tahu pula kau belum menggunakan ilmu saktimu Pancawara.
Kalau sudah... hm... aku Kebo Bangah betapa bisa bertahan lebih lama lagi."
Sekali lagi Kebo Bangah berkata dengan setulus hati. Tapi dasar ia terkenal
licin dan banyak akal, maka Kyai Kasn Kesambi hanya tersenyum belaka.
Menyahut, "Kau mengenal ilmu Pancawara, itulah bagus." "Betapa tidak? Aku
pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu muridmu yang tertua
mengadu tenaga dengan Adipati Surengpati. Bukan main tangguhnya ilmu itu,
sampai Adipati Surengpati jadi prihatin." Mendengar keterangan Kebo Bangah,
dalam hati Kyai Kasan Kesambi terperanjat. Meskipun dia seorang pertapa
yang sudah sampai pada tataran bebas dan tiada terikat oleh semua bentuk
masalah dunia, namun karena hubungan dengan muridnya bagai darah daging
sendiri, tak urung ia cemas mendengar kabar tentang adu tenaga sakti antara
Gagak Handaka melawan Adipati Surengpati. Dengan menguasai diri ia mencoba
minta penjelasan. "Hm... Pancawara betapa bisa dimainkan oleh seorang untuk
menghadapi Adipati Surengpati." "Kalau begitu, benar-benar hebat ilmu
saktimu Pancawara," sahut Kebo bangah tak kalah cerdik. Sebagai seorang
licin tahulah dia, bahwa hati Kyai Kasan Kesambi kena terguncang oleh
kata-katanya. Teringat kepada rencana kepergiannya ke padepokan Gunung
Damar, tak mau dia lama-lama terlibat persoalan dengan orang tua itu.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Santai

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Flagtail merah (feifeng)

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Muka nya aneh

--
Sent from myMail for Android

12.30.2019

Datz yg langka

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 332

@bende mataram@
Bagian 332

Nah, sekarang bagaimana? Kalau kau serahkan pusaka itu dengan baik-baik,
kamipun mengenal kebaikan pula. Semenjak saat ini, kami akan menjaga
ketenangan padepokan Gunung Damar. Kami tanggung takkan bakal ada lagi
seseorang yang akan menginjakkan kakinya di sini. Sangaji diam-diam
berpikir, "Bukan main banyaknya jago-jago yang berada di sini.
Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede nampak pula menyelinap di
antara mereka. Hebat! Sungguh hebat pendekar Kebo Bangah. Dari mana dia
bisa memperoleh jago-jago bukan sembarangan ini. Seumpama aku bisa
mengalahkan beberapa orang di antaranya, pastilah mereka akan main kerubut.
Agaknya susah juga menjaga keselamatan padepokan. Aku sendiri bisa
meloloskan diri. Tapi bagaimana nasib guru? Eyang gurupun sampai sekarang
belum jelas ke mana beliau pergi. Tetapi urusan sudah terlanjur jauh, biar
bagaimana aku akan berusaha sedapat-dapatku..." Belum lagi ia mengambil
keputusan, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa riuh panjang dan seram luar
biasa. Sesosok bayangan tahu-tahu telah menyelinap masuk. Gerak tubuh orang
itu cepat bagaikan kilat. Dan seperti iblis, tiba-tiba saja sudah berada di
belakang Maesasura. Terus menghantam dengan mendadak. Ilmu sakti Maesasura
ternyata sangat hebat. Begitu merasakan kesiur angin, sadarlah dia bahwa
dirinya sedang diserang dengan mendadak. Tanpa berpaling tangannya terus
memapak ke belakang punggung dengan tujuan mengadu tenaga pukulan keras
melawan keras. Tak terduga-duga orang yang tiba-tiba menyerang, menarik
serangannya dengan cepat. Kemudian ganti mengarah •kepada Keyongbuntet.
Gesit luar biasa Keyongbuntet berkelit seraya mengayunkan kakinya hendak
membalas menendang perut lawan. Namun tahu-tahu orang itu sudah berganti
sasaran lagi. Kali ini yang diserang adalah gerombolan pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Baru saja mereka hendak bergerak menangkis, sasaran
serangan berganti arah lagi. Hanya sekejap saja, beruntun-runtun empat
sasaran telah di-serangnya dengan mendadak dengan kecepatan yang susah
dilukiskan. Meskipun serangannya tidak mengenai sasaran, tetapi terang dia
mempunyai ilmu kepandaian yang susah dimengerti. Maesasura dan Keyongbuntet
sadar, bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan tangguh. Cepat-cepat
mereka mundur beberapa langkah bersiaga menghadapi kemungkinan. Orang yang
menyerang dengan mendadak itu mengenakan jubah seorang pendeta. Tanpa
menggubris lawan-lawannya dia terus berdiri di samping Sangaji. Ternyata
dia bukan lain Ki Hajar Karangpandan, pendeta edan-edanan tapi berilmu
tinggi. "Anakku Sangaji. Sebentar lagi paman-pa-manmu akan tiba," katanya
lantang. Pendeta angin-anginan itu setelah menghajar perintang-perintangnya
di tengah jalan, kini telah berada di padepokan dengan selamat. Memang ia
sengaja berlaku sebat luar biasa dan merangsang musuh tanpa memedulikan
keselamatannya sendiri untuk mengertak mereka. "Ah, engkaukah itu?"
terdengar suara men-dongkol. Itulah suara Cocak Hijau dan Manyarsewu
berbareng. Mereka berdua pernah bertempur mengadu kepandaian. Ilmunya
setali tiga uang. Namun demikian, mereka kena dimundurkan karena diserang
dengan mendadak. Keruan saja, diam-diam hatinya mendongkol. Ki Hajar
Karangpandan tertawa berkakakan, katanya bergemuruh, "Ya, aku Hajar
Karang-pandan. Kalian mau apa?" Mendengar Ki Hajar Karangpandan
memper-kenalkan namanya, Maesasura menggeram dengan tiba-tiba. Meskipun
belum kenal orang-nya, ia pernah mendengar namanya. Itulah gara-gara pusaka
sakti Bende Mataram tatkala Ki Hajar Karangpandan membunuhi anak-buah sang
Dewaresi tiga belas tahun yang lalu. "Hem... Hajar Karangpandan berani
me-mamerkan adatnya di sini. Bagus! Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba.
Sekali menepuk dua lalat mampus." Ki Hajar Karangpandan tertawa
terkekeh-kekeh. Matanya yang berpengalaman lantas saja dapat menebak siapa
dia. Terus mendamprat, "Memangnya aku manusia licik. Tapi selama hidupku
belum pernah aku menganiaya seorang gadis dari angkatan muda." Dengan
menggerung Maesasura melompat maju seraya membentak, "Ilmu guntur sa-juta
apakah hebatnya. Biarlah aku menjajalnya." Mendengar ucapan lawan,
diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Ilmu guntur sajuta adalah ilmu
kebanggaan dan simpanannya. Jarang sekali dia menggunakan, apabila keadaan
tidak memaksanya. Kini musuh mengetahui berapa ilmu simpanannya itu. Dari
manakah dia mengetahui, pikirnya. Dan kalau dia begitu berani menantang
ilmu simpanannya, pastilah sudah mempunyai pula pegangan kuat untuk
melawannya. Memperoleh pertimbangan demikian, dia lantas bertanya, "Gajah
mati meninggalkan gadingnya. Manusia mampus meninggalkan namanya. Nah,
siapakah namamu?" Maesasura tertawa berkakakan. Dengan membusungkan dada
terus menyahut, "Kau sudi mendengar namaku? Itulah bagus! Inilah Maesasura
adik seperguruan pendekar sakti dari barat Aria Singgela." "Pantas! Pantas!
Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal bengis dan jahat, tapi belum pernah
aku mendengar ia menghina kaum muda. Sebaliknya engkau begitu enak saja
menganiaya seorang gadis dari angkatan muda. Apakah perbuatan itu tidak
menodai nama perguruanmu?" Diingatkan kembali tentang perbuatannya
menganiaya Fatimah, Maesasura tak kuat lagi menahan marahnya. Terus saja ia
membentak sambil melontarkan hantaman. Namun sedikit menggeser, Ki Hajar
Karangpandan berhasil mengelak diri. Diapun lalu membalas pula. Ia tidak
lantas mengeluarkan ilmu kebanggaannya guntur sajuta. Dalam hati ia
bermaksud hendak menyelami dahulu ilmu kepandaian lawan. Dalam pada itu
Maesasura terus mengumbar amarahnya. Dengan cepat ia menangkis sambil
menyerang. Setelah beberapa jurus, serangannya makin lama makin cepat.
Diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Terasa sekali bahwa
pukulan-pukulan lawan membawa kesiur angin panas tak ubah bara. "Apakah ini
yang disebut ilmu Maruta Dahana? Kabarnya ilmu itu telah lenyap dari
percaturan manusia. Ternyata dia bisa menggunakan dengan baik." Dahulu dia
pernah mendengar nama ilmu itu dari gurunya. Ilmu itu sangat jahat dan
berbisa. Para cerdik pandai dari aliran bersih mengha-puskan ilmu itu dari
ingatannya. Konon kabarnya, ilmu Maruta Dahana terjadi atas wejangan iblis
kepada Warok Secadarma pada zaman Majapahit. Tak lama kemudian corak
pertempuran mereka berubah. Sekarang tidak cepat lagi, tetapi kian
melambat. Akhirnya seperti asal-asalan. Semua orang sadar, bahwa mereka
sedang mengadu ketangguhan ilmu simpanannya masing-masing. Yang satu ilmu
maruta dahana. Yang lain ilmu guntur sajuta. Pada saat itu
sekonyong-konyong dari luar paseban tertebarlah suatu jala sangat besar.
Jala itu berkembang di udara seolah-olah hendak menungkrap seluruh manusia
yang berada di paseban. Sudah barang tentu peristiwa itu sangat mengejutkan
semua yang berada di situ. Maesasura terpaksa mengelak sambil melontarkan
pukulan. Hal itu berarti pula melepaskan perhatiannya kepada titik-tolak
pertempuran. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ki
Hajar Karangpandan. Terus saja Ki Hajar Karangpandan memutar ke belakang
dan meng-gablok Maesasura dengan ilmu guntur sajuta seketika itu juga
terdengarlah suatu gemeretakan. Ternyata tulang belulang Maesasura patah
berantakan. Takala itu dalam paseban bertambah seorang lagi. Dia seorang
laki-laki berperawakan hitam lekam dan berkepala gede. Lalu berkata
lantang, "Bagus kau Hajar! Itulah namanya bisa menggunakan kesempatan
sebaik-baiknya." Ki Hajar Karangpandan tertawa riuh. Menyahut, "Otong!
Terhadap manusia yang bisa berlaku kejam mematahi tulang seorang gadis,
masakan perlu bersegan-segan lagi?" Ternyata yang merubah suasana
pertempuran tadi adalah Otong Darmawijaya atau yang terkenal dengan nama Ki
Tunjungbiru. Dia seorang pejuang Banten. Senjata andalannya berwujud sebuah
jala, karena dia seorang nelayan semenjak kanak-kanak. Dengan Ki Hajar.
Karangpandan pernah mengadu kepandaian sampai lima hari lima malam. Di luar
dugaan, dialah penolong besar dalam menghancurkan ilmu Maruta Dahana yang
merupakan pelawan ilmu guntur sajuta. Karena itu di dalam hati, diam-diam
Ki Hajar Karangpandan berhutang budi kepadanya. Maesasura ternyata seorang
laki-laki tangguh. Meskipun tulang sendinya kena dipatahkan, dia tak
merintih. Hanya saja tenaganya sudah punah. Kakak seperguruannya
Keyongbuntet lantas memapahnya dan diletakkan hati-hati di luar gelanggang.
"Anakku Sangaji!" kata Ki Tunjungbiru. "Paman-pamanmu sudah sampai di kaki
gunung. Karena itu menghadapi cecurut-cecu-rut macam mereka, tak perlulah
beresah hati." Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, dalam hati Sangaji
bersyukur. Dengan datangnya segenap pamannya tidaklah sukar untuk
mempertahankan keselamatan padepokan Gunung Damar. Pendekar Keyongbuntet
yang kemudian memasuki gelanggang sudah bersiaga. Dia seorang pendekar yang
berperawakan pendek kecil. Mukanya buruk dan kering. Kepalanya botak tak
berambut. Meskipun demikian ternyata dia lebih tangguh dari adik
seperguruannya Maesasura. Dari ubun-ubunnya yang botak licin, tiba-tiba
terlihatlah suatu uap kelabu. "Anakku Sangaji, awas!" teriak Ki Hajar
Karangpandan terperanjat. "Rupanya engkaulah yang diincar. Itulah ilmu
Maruta Dahana yang sudah mencapai puncaknya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

12.29.2019

@bende mataram@ Bagian 331

@bende mataram@
Bagian 331

Melihat Sangaji, seleret cahaya melintas pada wajah Wirasimin. Dengan
meronta ia berkata setengah girang. "Ah! Gus Aji. Mana paman-paman gurumu?"
Dalam benak cantrik itu, hanya teringat kepada murid-murid Gunung Damar
yang tangguh dan sakti luar biasa. Dahulu Gunung Damar pernah dikerumuni
manusia-manusia tak diundang pada ulang tahun Kyai Kasan Kesambi yang ke 83
. Mereka semua kena terpukul mundur oleh murid-murid Gunung Damar. Kinipun,
padepokan Gunung Damar sedang kena bencana. Celakanya, Padepokan sedang
sepi. Karena itu dalam seribu kerepotannya, cantrik itu mengharap-harap
kedatangan mereka. Terhadap Sangaji dia belum menaruh suatu kepercayaan
besar. Maklumlah, selain masih muda belia, perkembangannya yang terakhir
sama sekali belum diketahui. Sangaji sendiri adalah seorang pemuda yang
berhati sederhana. Terhadap pemikiran demikian, sama sekali tak dirasukkan
dalam perbendaharaan hati. Dengan senang hati ia lalu menjawab, "Tenangkan
hatimu. Sebentar lagi paman-paman akan tiba di padepokan. Menghadapi bangsa
kurcaci, masakan perlu menunggu beliau sekalian. Nah, di manakah Eyang
Guru?" "Eyangmu kedatangan seorang tetamu. Beliau lantas pergi mengikuti
tetamu itu. Entah ke mana. Lalu... lalu... padepokan mendadak jadi neraka.
Mereka bangsat-bangsat tak keruan hendak membakar padepokan. Tentu saja
perbuatan mereka tak bakal diizinkan para cantrik. Tanpa mengingat kekuatan
sendiri, para cantrik berusaha bertahan diri." "Dan guru?" potong Sangaji.
"Dia masih dalam kamarnya." "Bagus!" seru Sangaji girang. Hatinya yang
mencemaskan keadaan gurunya kini tak mempunyai alasan lagi untuk beresah
hati. Dengan sekali berkelebat ia membuka pintu dengan hati-hati. Terus
saja ia melongok. Dan di atas sebuah dipan dilihatnya gurunya menggeletak
tak berkutik. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hal itu membuktikan,
bahwa eyang gurunya mencoba mengobati sebisa- bisanya. Sementara
paman-paman gurunya berusaha mencari obat pemunah racun yang mengeram dalam
tubuh gurunya. "Guru!" bisik Sangaji dengan hati terharu. Terus saja ia
mendeprok ) di tanah. "Demi untukku, Guru berkorban dan mengorbankan
semuanya. Budi Guru setinggi gunung." Teringat kepada obat pemunah racun,
ia meraba-raba kantungnya. Mendadak teringat pulalah dia, bahwa obat
pemunah racun serta obat penyambung tulang berada di tangan paman-paman
gurunya, la jadi termangu-mangu karena tak dapat melakukan sesuatu. Selagi
dalam keadaan demikian, tiba-tiba ter-dengar suara bergelora di paseban.
"Kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi yang sok agung-agungan bersembunyi
seperti kura-kura, biarlah kita sembelih anak cucu muridnya dan para
cantriknya dahulu. Aku kepengin melihat, apakah dia tetap tak berani
keluar..." Suara itu bukan main kerasnya sampai atap pun ikut tergetar. Dan
Wirasimin gemetaran. Hatinya jadi ciut dan nyaris berputus asa. Kemudian
terdengar suara lagi yang bernada seperti burung betet. "Bagus! Tapi lebih
baik kita bakar dahulu padepokan ini! Masakan akan kasep menyembelih
babi-babi ini." "Bagaimana kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi ikut
terbakar. Bukankah sayang? Mestinya kita harus menawannya dahulu. Lalu kita
seret dia keluar. Kita pertunjukkan dia dahulu kepada semua golongan dan
aliran orang-orang berilmu, agar mereka mengenal tampangnya." Jarak antara
paseban dan kamar Wirapati, tidaklah jauh. Tetapi mereka berbicara sangat
lantang dan kasar. Agaknya sengaja hendak memamerkan kehebatan tenaga
saktinya. Tentu saja betapa sederhana hati Sangaji, mendengar nama eyang
gurunya direndahkan demikian rupa jadi bergusar. Wirapati yang nampak tak
berkutik di atas amben, mendadak saja terdengar menghela napas. "Hm. Coba
ingin kulihat siapa mereka itu!" dengus Sangaji dalam dadanya. Terus saja
ia melesat keluar kamar dengan gesit. Dan menyaksikan kegesitan Sangaji,
Wirasimin yang belum menaruh kepercayaan kepadanya, terkesiap hatinya.
Suatu kegirangan yang tak diketahuinya sendiri dari mana datangnya,
membersit dalam lubuk hatinya. Terus saja ia ikut keluar dengan dada
berdebar-debar. Paseban ternyata sudah penuh dengan manusia. Kurang lebih
dua tiga ratus orang. Sangaji terus memasuki ruang paseban dengan langkah
tenang. Tiba-tiba ia melihat dua orang berpakaian merah darah. Lantas saja
teringatlah dia kepada keterangan Fatimah. Segera ia menduga, bahwa mereka
inilah yang menganiaya gadis itu. Namun ia masih bersangsi. Melihat
keluarnya Sangaji, dua orang itu jadi terheran-heran. Yang tinggi besar
lalu berkata, "Manakah tua bangka Kasan Kesambi?" "Hm... untuk menghadapi
bangsa cecurut seperti kalian, masakan perlu eyang guruku sampai
bersusah-susah turun tangan. Aku cucu muridnya rasanya cukup menghadapi
kalian." "Siapa kau?" bentak yang pendek kecil. "Aku Keyongbuntet tak biasa
menghadapi penghinaan begini. Apalagi adikku Maesasura ini. Dia paling
benci kepada seorang pemuda yang bermulut besar dan menjual tampang."
"Kalau benar demikian, alangkah menghe-rankan bahwa kalian yang mengaku
diri golongan terhormat sampai hati menganiaya seorang gadis!" sahut
Sangaji untung-untungan untuk mencari kepastian. Mendengar ucapan Sangaji,
wajah mereka mendadak berubah hebat. Maesasura terus menggerung, sedang
Keyongbuntet tertawa berkakakan dengan sekonyong-konyong. "Gadis tiada
harganya dalam percaturan hidup ini, apa perlu dibicarakan di sini?" kata
Keyongbuntet yang bisa berpikir cepat. Memang, mula-mula mereka terperanjat
berbareng heran mendengar ucapan Sangaji. Dari manakah pemuda itu bisa
mengetahui. Sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, lantas saja
bisa menduga bahwa perbuatannya telah ketahuan. Siapa lagi yang bilang
kalau bukan gadis itu sendiri. Memperoleh pikiran demikian tahulah mereka,
bahwa gadis itu telah ketolongan. Diam-diam mereka menyesali diri sendiri,
apa sebab gadis itu tak dibunuhnya sekali. Sebaliknya mendengar pengakuan
Keyong-buntet, darah Sangaji meluap nyaris tak ter-kendalikan lagi. Dengan
pandang berapi-api ia menatap mereka. "Hutang nyawa harus dibayar dengan
nyawa pula. Malahan berikut bunganya sekali!" kata Sangaji dengan suara
menggeletar menahan marah. Keyongbuntet bersikap adem. Matanya merem melek
seolah-olah tak mengacuhkan kegusaran Sangaji. Dengan enak saja dia
mendesak. "Kau anak kemarin sore yang banyak berlagak mau apa?" Belum lagi
Sangaji menyahut, Maesasura menyambung, "Biarlah dia berlagak. Gadis itu
memang gula-gulanya. Dan kalau dia sudi memperisterikan dia, ha—itulah baru
cocok. Apa sih kelebihannya anak cucu murid tua bangka Kasan Kesambi? Kalau
saja bininya bukan kambing, itulah sudah untung." Bukan main tajam
kata-kata mereka. Sangaji yang berhati sederhana sampai tak tahan lagi
mengendalikan diri. Terus saja ia menggeser kakinya, siap bertempur.
Mendadak ia teringat sesuatu. Berkata tenang, "Kalian mendaki padepokan
Gunung Damar bukankah bermaksud hendak merampas pusaka Bende Mataram? Nah,
inilah pusaka itu!" Ia berhenti mengesankan sambil memperlihatkan Keris
Kyai Tunggulmanik dan Kyai Bende Mataram. "Kalau kalian kini sudah
mengetahui dengan jelas, selanjutnya per-kara pusaka ada padaku. Sekarang
bagaimana?" Melihat kedua pusaka itu dengan tak ter-sangka-sangka, mereka
terperanjat sampai mundur setengah langkah tanpa disadari sendiri. Yang
lain-lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka lantas saja berbisik-bisik
ramai. "Hai bocah!" teriak Maesasura. "Kau mem-bawa-bawa kedua pusaka
sakti. Apakah kau Sangaji?" "Benar. Mengapa?" Mendengar jawaban Sangaji,
mendadak saja dia jadi gelisah. Keyongbuntet bahkan me-> noleh ke belakang
menebarkan mata. Mereka berdua adalah adik seperguruan pendekar Kebo
Bangah. Kalau dibandingkan dengan Kebo Bangah, kegagahannya hanya kalah dua
urat. Karena itu mereka jumawa. Meskipun demikian mereka kenal kegagahan
murid-murid Gunung Damar. Tadi pagi mereka memperoleh keterangan, bahwa
murid-murid Gunung Damar masih terkurung barisan kompeni. Menurut
perhitungan, tak gampang-gampang mereka dapat meloloskan diri. Di luar
dugaan, kini ia berhadapan dengan Sangaji. Bukannya mustahil, bahwa
mereka-pun sudah tiba di padepokan dengan diam-diam. "Hai, bocah! Dengan
seorang diri masakan kau sanggup melawan dua tiga ratus orang?" kata
Maesasura. Ia licin. Ocapannya itu dimaksudkan untuk mencari kepastian
apakah murid-murid Gunung Damar sudah tiba di padepokan. Sekiranya mereka
benar-benar sudah berada di padepokan, diam-diam mereka bersiaga akan
melihat gelagat. Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Meskipun ilmu
kepandaiannya kini sudah susah terukur tingginya, namun ia tak mengerti
jebakan lawan. Dengan hati terbuka dia menyahut, "Untuk menghadapi kalian,
masakan paman-paman guruku perlu hadir?" "Bagus!" Mereka berseru berbareng
dengan girang. Meskipun pernah mendengar kegagahan Sangaji dari mulut kakak
seperguruannya Kebo Bangah, mereka tak perlu berkecil hati. Pikir mereka:
dia boleh gagah, tapi masakan bisa menghadapi keroyokan dua tiga ratus
orang. Maka Keyongbuntet lalu berkata lantang lagi, "Bocah! Kau bilang
sendiri, bahwa pusaka Benda Mataram ada padamu. Dan selanjutnya urusan
pusaka kaualihkan padamu pula. Baik! Mulai saat ini, biarlah tua bangka
Kasan Kesambi menunda kematian-nya dahulu. Satu dua bulan lagi berurusan
dengan dia, belumlah kasep.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 330

@bende mataram@
Bagian 330

Dengan dibarengi suara ilmu sakti—guntur sajuta ia melayang-layang secepat
kilat. Itulah sebabnya, sebentar saja kedua orang sakti itu telah lenyap
dari penglihatan orang. Sampai matahari condong ke barat, mereka terus
berlari-lari kencang. Mula-mula Ki Hajar Karangpandan dapat mengimbangi.
Tetapi lambat laun tenaganya mulai mengempes. Maklumlah, umurnya kini
bukanlah seumur tiga belas tahun yang lalu. Meskipun ilmu saktinya kian
tinggi, tetapi daya tahan tenaga jasmaninya tidaklah sesegar masa muda.
Diam-diam Sangaji memikirkan cara penge-jaran itu. Kalau harus
berlari-larian terus-menerus jangan-jangan tenaganya akan kurang sewaktu
menghadapi hal-hal yang penting. Dia sendiri tak usah khawatir. Tetapi
bagaimana halnya Ki Hajar Karangpandan? Karena itu dia berkata kepada Ki
Hajar Karangpandan minta pertimbangan. "Paman! Bagaimana kalau kita membeli
dua ekor kuda di depan sana?" Sesungguhnya Ki Hajar Karangpanpun mempunyai
pikiran demikian, hanya saja tak enak untuk dinyatakan maka segera
menyahut, "Anakku Sangaji! Untuk tawar-menawar membeli dua ekor terlalu
membuang-buang waktu. Mari kita mencari jalan lain." Tak lama kemudian,
secara kebetulan mereka melihat satu pasukan kompeni sedang meronda. Tanpa
berbicara lagi Ki Hajar Karangpandan terus melompat maju dan sekali
menjambret dua penunggang kuda di antara mereka kena diangkatnya dan
dilemparkan ke tanah. Berbareng dengan itu ia berteriak, "Anakku Sangaji!
Naik!" Sangaji berbimbang-bimbang terhadap kompeni dia tak mempunyai
permusuhan. Karena itu perbuatan Ki Hajar Karangpandan dianggapnya sebagai
suatu perbuatan kurang pantas. Pakartinya tak ubahnya sebagai seorang
penyamun. Tetapi Ki Hajar Karangpandan lantas saja sudah berteriak nyaring.
"Untuk suatu urusan besar janganlah engkau disibukkan
pertimbangan-pertimbangan te-tek-bengek. Disini bukan tempat pesantren atau
surau, tempat berkhotbah dan menimbang-nimbang baik-buruknya suatu pakarti.
Ayo... kau tunggu apa lagi?" Sambil berbicara Ki Hajar Karangpandan merabu
lainnya. Mereka boleh bersenjata senapan, tapi kena dirabu Ki Hajar
Karangpandan yang dapat bergerak cepat, mereka semua mati kutu. Belum lagi
tangannya berkesempatan menarik pelatuk, tahu-tahu tubuhnya telah
terpelanting jatuh dari atas pelananya. Setelah menjatuhkan mereka, Ki
Hajar Karnagpandan melompat menunggang kudanya. Sangajipun tanpa
disadarinya sendiri naik pula ke punggung kuda. Belum lagi menarik kendali,
mendadak ia diserang beramai-ramai. Secara wajar tangannya mengibas
mempertahankan diri. Celakalah mereka yang kena tenaga saktinya. Tiba-tiba
saja mereka terpental beberapa puluh meter dan jatuh bergedebrukan ke
tanah. Seorang sersan yang bangun tertatih-tatih memaki-maki kalang kabut
dan berteriak, "Hai! Kamu bandit-bandit dari mana?" Sangaji tak mau
melibatkan diri terlalu lama. Bersama Ki Hajar Karangpandan ia keprak
kudanya kencang-kencang menuju ke barat. Keruan saja sersan itu
berteriak-teriak seperti babi terjepit. Tak lama kemudian daerah pegunungan
Gunung Damar sudah nampak di depan hidungnya. Sekonyong-konyong dua sosok
bayangan berkelebat di depannya. Tahu-tahu dua orang berdiri merintang di
tengah jalan. Itulah dua orang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tak
jauh dari mereka beberapa prajurit yang mengenakan pakaian serba putih
berbaris di seberang menyeberang jalan. Sangaji lantas saja teringat kepada
anak buah sang Dewaresi. "Minggir!" bentak Ki Hajar Karangpandan. Terus ia
mengayunkan cemetinya ke pinggang orang sambil mengeprak kudanya. Salah
seorang dari mereka menangkis sabetan itu dengan tongkatnya. Dan yang lain
segera menyerbu masuk. Karena kaget, kuda Ki Hajar Karangpandan berjingkrak
berdiri tegak. Pada saat itu barisan serba putih melompat berbareng dengan
gesit. Melihat gerakan mereka, Ki Hajar Karangpandan tertawa
terbahak-bahak. Berkata lantang kepada Sangaji, "Anakku Sangaji! Kau boleh
terus melanjutkan perjalanan. Biarlah kawanan cacing ini aku bereskan
sendiri." Melihat mereka bertujuan hendak merintangi bala bantuan yang
mungkin datang ke Gunung Damar, terang sekali maksud mereka amat keji.
Benar-benar padepokan Gunung Damar dalam keadaan bahaya. Sangaji mengenal
ilmu sakti Ki Hajar Karangpandan. Gntuk melayani mereka meskipun tidak
gampang-gampang menang, tetapi tak bakal kena dikalahkan. Oleh pertimbangan
demikian, ia melecut kudanya. Dengan gagah ia menerjang dan terus terbang
sekencang-kencangnya. Tetapi dua pendekar undangan Pangeran Bumi Gede
bukanlah pula pendekar murahan. Sekonyong-konyong mereka melesat melompat
dan menyabetkan senjatanya. Sangaji membungkuk miring. Ia papaki senjata
mereka dengan satu kibasan. Cepat luar biasa ia merampasnya dan menimpukkan
kembali. Seketika itu juga terdengarlah suatu jerit melengking. Mereka kena
senjatanya sendiri. Kedua kaki mereka patah dengan berbareng dan roboh
terjengkang di atas tanah. Sebenarnya Sangaji tiada bermaksud hendak
melukai mereka. Hanya khawatir kalau Ki Hajar Karangpandan terlalu banyak
menghadapi lawan, maka sebelum meninggalkannya ia membantu merobohkan dua
lawan yang paling kuat. Dengan demikian, keadaan Ki Hajar Karangpandan tak
perlu dikhawatirkan lagi. Gunung Damar terletak di Karesidenan Kedu. Gunung
itu merupakan dinding penyekat jalan Purworejo - Magelang. Letaknya di
sebelah barat jalan besar, diapit dua buah sungai. Kali Jali dan Kali
Bogowonto. Sangaji datang dari arah timur. Sampai di desa Karangjati ia
singgah di warung. Selain hendak mengisi perut, ia bermaksud menenangkan
pikirannya pula. Tapi selagi ia makan, kudanya meringkik hebat. Tahu-tahu
per rut kudanya kena robek sebilah belati mengkilat. Sesosok bayangan
berkelebat lewat. Terang sekali, musuh sudah mengenal dirinya dan dengan
sengaja membunuh kudanya. Bukan main mendongkolnya Sangaji. Sekali melompat
ia berhasil mencengkeram orang itu. Terus saja ia banting ke tanah dengan
hati gusar. Karena tiada berkuda lagi, terpaksalah ia melanjutkan
perjalanan. Untunglah, Gunung Damar tidak terlalu jauh lagi. Soalnya kini,
ia harus bersikap waspada dan berhati-hati. Oleh pengalamannya tadi,
nyatalah bahwa padepokan Gunung Damar sudah terkepung rapat. Namun
diam-diam ia heran, karena bayangan pasukan besar-besaran tidak nampak.
Apakah Pangeran Bumi Gede hanya mengirimkan beberapa puluh pendekar
undangannya belaka? Di depannya terbentang Kali Bogowonto. Dan baru saja ia
menyeberangi, sekonyong-konyong melompatlah beberapa orang dari gerombolan
alang-alang. Terang sekali mereka hendak mencegat perjalanannya. Dengan
mengumpulkan semangat ia melompat. Tak ubah sebatang panah, tubuhnya
berkelebat melewati mereka. Orang itu mengucak-ucak matanya. Mereka merasa
heran. Apakah salah melihat? Tadi seperti melihat manusia menyeberangi
kali. Kini mendadak lenyap entah ke mana. DI SEBERANG JALAN, penjagaan kian
menjadi keras. Sangaji segera menggunakan ilmu saktinya. Dengan matanya
yang tajam ia menjelajahkan matanya. Dan beberapa kali kakinya menjejak
tanah, terbang melewati gerombolan manusia yang bersembunyi di bawah pohon,
di balik batu-batu atau mendekam di bawah rumput dan alang-alang. Setelah
memasuki lereng pegunungan, tak berani lagi Sangaji berjalan di atas tanah.
Terus saja ia melompat ke pohon dan kalau perlu bersembunyi di dalam
mahkota daunnya, la bersikap sangat berhati-hati dan berwaspada.
Saban-saban ia melompat dari dahan ke dahan sambil memperhatikan keadaan
seberang menyeberang. Ia sadar, bahwa musuhnya sangat licin, pandai dan
tangguh. Tak lama kemudian, ia telah melihat suatu pertempuran berkelompok.
Dengan selintasan saja tahulah dia, bahwa cantrik-cantrik Gunung Damar
mencoba menahan serbuan gelap itu. Tentu saja mereka bukan tandingnya anak
buah Kebo Bangah dan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebentar
saja mereka kena terpukul mundur. Rantai pertahanan mereka kacau-balau dan
akhirnya berantakan. Tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun, Sangaji mendarat
di seberang gerumbul. Kemudian melompat ke atas genting. Mengendap-endap ia
melangkah maju. Waktu tiba di sebuah lorong penyambung, ia mendengar suara
napas tertahan-tahan. Suara napas itu datang dari balik pintu kamar. Itulah
kamar gurunya Wirapati. Dan teringat nasib gurunya yang malang, hatinya
terharu bukan main. Kalau menuruti kata hatinya ingin dia terus memasuki
kamar untuk memeluk gurunya yang dihormati dan dicintai. Tapi mengingat
kelicinan Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede yang banyak tata muslihatnya
ia tak berani bergerak dengan gegabah. Sekonyong-konyong ia melihat
berkelebatnya seseorang. Terus saja ia meloncat sambil menyambar. Orang itu
tak dapat berkutik. Bahkan melepaskan suara-nyapun tak sempat, karena
Sangaji membungkam mulutnya. Pemuda itu kini memiliki ketajaman panca
indera luar biasa. Begitu melihat berkelebatnya manusia, segera ia mengenal
siapa dia. Itulah Wirasimin, cantrik kesayangan gurunya Wirapati. "Pak
Wira! Bagaimana?" Sangaji minta keterangan dengan berbisik seraya
mengurangi dekapannya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

12.28.2019

@bende mataram@ Bagian 329

@bende mataram@
Bagian 329

Dasar ia berperasaan halus, terus saja dia memeluknya dan berkata penuh
haru. "Fatimah! Aku gurumu, Suryaningrat! Bilanglah, siapa yang menganiaya
dirimu?" Fatimah belum kuasa menjawab pertanyaan gurunya. Tata napasnya
belum teratur benar. Tetapi wajahnya yang pucat lesi sedikit demi sedikit
menjadi merah dadu. Mendadak gadis itu memekik seperti mengigau. "Benarkah
kakakku Wirapati terluka berat?" Pernyataan itu benar-benar menggetarkan
hati murid-murid Gunung Damar. Sangajipun tak terkecuali. Mereka tahu
semua—pada saat itu Wirapati menggeletak bagaikan mayat karena luka parah.
Kalau hal itu diberitakan kepada Fatimah yang sedang menderita luka parah
pula, bukankah tidak tepat! Itulah sebabnya, mereka saling memandang minta
pertimbangan. Teringat akan sejarah Fatimah yang dipaksa hidup untuk
berpisahan dengan Wirapati semenjak kanak-kanak, mereka jadi berduka.
Tetapi tak usah menunggu lama. Mereka telah bisa mengambil keputusan. Gagak
Handaka mengedipi Suryaningrat. Dan guru yang berperasaan halus itu segera
berkata minta ketegasan. "Mengapa?" "Bilanglah dahulu! Benarkah kakakku
Wirapati terluka berat?" Dengan menelan ludah, Suryaningrat meng-angguk.
Berkata mencoba, "Tetapi sebentar lagi dia akan sembuh kembali. Karena
anakku Sangaji telah memperoleh obat pemunahnya." "Sangaji?" Fatimah
mengulang. Terus saja gundu matanya mencari Sangaji. Ia merenungi sebentar.
Kemudian seperti seorang ibu, ia berbicara. "Anak tolol! Kau sudah sembuh.
Bagus! Bukankah tak sia-sia aku menjagamu?" Sangaji mengangguk. "Di manakah
gadismu yang galak dan jahat itu?" tanya Fatimah. Diingatkan kepada
Titisari, Sangaji jadi berduka. Tetapi segera ia mengatasi perasaannya
sendiri dan mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah sehat kembali. Sebaliknya,
mengapa kau jadi begini?" "Ah—kau benar-benar tolol!" damprat Fatimah.
"Masakan aku mau begini?" "Kau benar! Nah, bilanglah siapa yang menganiaya
engkau?" "Siapa lagi kalau bukan mereka yang pernah memasuki benteng?"
"Cocak Hijau?" darah Sangaji meluap. "Huh" dia bisa mengapakan aku? Banyak
lagi. Banyak lagi. Aku dikerubut beramai-ramai." "Ah—masakan begitu. Mereka
golongan pendekar yang angkuh hati. Masakan sampai hati menganiaya seorang
gadis?" Fatimah merintih. Tubuhnya menggigil menahan marah. Menyahut, "Yang
satunya besar tinggi. Yang lainnya pendek kecil. Mereka mengenakan baju
merah. Dua orang itulah yang..." kembali Fatimah merintih. Kali ini
kesannya hebat. Wajahnya membayangkan rasa takut dan ngeri luar biasa.
Kalau saja tidak kena tahan tenaga sakti Sangaji, gadis itu pastilah sudah
kehilangan kesadarannya. Tiba-tiba meledak, "Aonak tolol! Lekaslah kau
tolong gurumu! Eyang Guru dan gurumu Wirapati dalam bahaya!" Mendengar
ucapan Fatimah, murid-murid Kyai Kasan Kesambi kaget bukan kepalang. Hampir
serentak mereka menegas. "Mengapa?" "Itulah perkara dua pusaka," sahut
Fatimah. Pandang matanya menatap Sangaji. Meneruskan, "secara kebetulan aku
mendengar kasak kusuk mereka. Bilangnya, pendekar Kebo bandotan diam-diam
mendaki padepokan Gunung Damar. Pendekar itu akan menculik gurumu yang luka
parah untuk digunakan sebagai alat penukar dua pusakamu. Bukankah hebat?"
Seperti diketahui, Fatimah berangkat me-ninggalkan benteng dengan Ayu
Retnaningsih, setelah mengantarkan Ayu Retnaningsih sampai di batas kota,
segera ia kembali. Pada saat itu, pertempuran antara pihak Pangeran Bumi
Gede dan para pendekar sedang mencapai puncaknya. Tatkala memasuki daerah
pertempuran, secara kebetulan ia melihat sesosok bayangan berkelebat lewat
tak jauh daripadanya. Itulah pendekar sakti Kebo Bangah yang dahulu
dikenalnya sewaktu berada dalam benteng bersama-sama rombongan Pangeran
Bumi Gede. Ia jadi curiga dan segera menguntitnya. Tentu saja dia bukan
tandingnya. Sebentar saja ia telah kehilangan jejak. Namun ia tak berputus
asa. Menjelang fajar hari sampailah dia di batas tenggara kota Yogyakarta.
Ia berhenti beristira-hat. Karena lelah, tak setahunya sendiri ia jatuh
tertidur. Ia terbangun oleh derap kaki terge-sa-gesa. Cepat ia menyelinap
di balik semak dan mengintip. Dilihatnya dua orang yang berperawakan tinggi
besar dan pendek kecil. Mereka sedang berbicara dengan penolongnya. Yakni,
Sanjaya. "Kami adalah adik Aria Singgela!" kata yang tinggi besar. "Kami
diutus berkabar kepada ayah Tuan, bahwa kedua pusaka sakti yang dijanjikan
akan segera Tuan peroleh." "Bagaimana?" "Pada waktu ini, kakak kami berada
di sekitar Gunung Damar. Dia bermaksud merabu Kyai Kasan Kesambi. Kalau
rejeki ayah tuan sebesar gunung, kakak kami akan berhasil menculik Wirapati
guru Sangaji. Bukankah alat penukar yang baik?" Sanjaya seorang pemuda yang
cerdas. Segera ia mengerti maksudnya. Minta keterangan, "Lantas apa
maksudnya mengirim utusan ke mari?" "Tuan! Kyai Kasan Kesambi bukanlah
sem-barang orang. Meskipun belum tentu kalah, tetapi untuk merebut
kemenangan dengan mudah tidaklah mungkin. Kakak kami membutuhkan bantuan
ayah tuan!" kata orang yang berperawakan tinggi besar. Ia berhenti menunggu
kesan. Mengira Sanjaya kurang mengerti maksudnya, segera ia menerangkan.
"Anak-anak murid Kyai Kasan Kesambi pada hari-hari ini tiada di padepokan.
Meskipun demikian, orang-orang kampung tidaklah boleh dibuat gegabah.
Tetapi apabila ayah tuan mau mengerahkan pasukannya, Kyai Kasan Kesambi
akan mati kutu. Dia boleh gagah perwira, namun menghadapi keroyokan masakan
dia bisa berbuat banyak?" Sanjaya mendengarkan keterangan itu dengan
berdiam diri. Sejenak kemudian ia membawa kedua orang itu menghadap
ayahnya. Fatimah terus menguntitnya. Tatkala matahari sudah sepenggalah
tingginya, ia melihat rombongan pendekar undangan berjalan bersama dua
orang utusan Kebo Bangah. Rata-rata para pendekar Pangeran Bumi Gede nampak
runyam. Pakaiannya kotor penuh lumpur dan darah. Terang sekali mereka habis
bertempur. Melihat mereka menuju ke barat, Fatimah jadi gelisah. Dasar ia
berwatak angin-anginan. Lantas saja ia mencegat mereka. "Kalian mau mendaki
Gunung Damar. Huh... jangan harap!" katanya lantang. "Kalau berani,
lawanlah dahulu anak cucu Kyai Kasan Kesambi." Mendengar kata-kata gadis
itu, para pendekar melengak keheranan. Dari manakah gadis itu mengetahui,
bahwa mereka lagi berjalan menuju Gunung Damar? Cocak Hijau yang berangasan
terus saja meloncat maju. Dasar ia menaruh dendam besar, tanpa berkata lagi
lantas menyerang. Tentu saja Fatimah bukanlah lawannya. Dalam dua puluh
jurus, Fatimah kena ditangkap dan diikatnya kencang-kencang. "Kau dahulu
menggaplok aku, karena mengandalkan kegagahan Adipati Surengpati. Tapi kau
pernah mengampuni aku. Karena itu aku hanya ingin menggaplokmu sekali
saja," kata Cocak Hijau. Pendekar itu membuktikan ucapannya. Fatimah
digaploknya sekali dan dibantingnya ke tanah. Fatimah memaki-maki kalang
kabut sambil menebarkan ludahnya. Pandangnya tetap garang dan tak mengenal
takut. Sebaliknya Cocak Hijau sudah merasa puas. Ia meloncat mundur sambil
tertawa mengejek. Mendadak saja di luar dugaan, kedua utusan Kebo Bangah
menghampiri Fatimah. Terus saja mereka menerkam lengan dan kaki Fatimah.
"Kau anak murid Gunung Damar? Bagus!" kata mereka berbareng. "Membabat
rumput harus sampai ke akar-akarnya." Dengan tertawa dalam, mereka lantas
saja mematahkan lengan dan kaki Fatimah. Kemudian melemparkan gadis itu
menggelinding ke tebing sungai. Dasar nasib Fatimah masih baik, Sangaji
yang memiliki panca indra bagai dewa menangkap tata pernapasannya. Kini
oleh pertolongan para pendekar sakti, ia dapat disadarkan. Meskipun luka
berat, tapi tak mengkhawatirkan lagi. Dengan perawatan tertentu, dua atau
tiga bulan ia akan pulih kembali seperti sediakala. "Paman! Melihat keadaan
Fatimah, Eyang Guru dalam bahaya. Bagaimanakah pendapat Paman?" Sangaji
minta pertimbangan. "Kita harus segera menyusul mereka. Kalau kasep,
akibatnya alangkah besar," sahut Ranggajaya. Gagak Handaka yang berwatak
tenang berwibawa nampak berkhawatir juga. Teringat akan budi gurunya, ia
jadi gelisah. Katanya perlahan, "Benar urusan ini tak boleh kita remehkan.
Mari, kita harus berangkat secepat mungkin!" Dalam pada itu Ki Hajar
Karangpandan yang tadi memeriksa lapangan telah tiba kembali. "Bangsat
betul! Mereka tidak hanya menga-niaya gadis itu, tetapi merusak pula
keten-traman penduduk. Bangsat itu benar-benar menuju ke barat. Mereka
telah mendahului kita." Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta
edan-edanan. Tapi cerdas dan bisa dipercayai. Karena itu Sangaji bertambah
menjadi cemas. Agak gugup ia berkata memutuskan, "Guruku Wirapati luka
parah, dan Eyang Guru hanya seorang diri. Kalau sampai terjadi sesuatu,
kesalahanku seumpama sebesar gunung. Karena itu aku harus segera berangkat.
Paman Hajar Karangpandan biarlah bersama aku berangkat terlebih dahulu. Aku
titip guruku Jaga Saradenta. Bagaimana paman-paman nanti menyusul aku,
kupercayakan penuhpenuh kepada kebijaksanaan paman-paman sekalian." Terang
sekali hati Sangaji dalam keadaan gelisah luar biasa. Ia merasa seolah-olah
kese-lamatan gurunya Wirapati dan Kyai Kasan Kesambi berada dalam tanggung
jawabnya. Maka tanpa menunggu persetujuan lagi, ia melesat terbang bagai
garuda. Ki Hajar Karangpandanpun segera me-nyusulnya. Tiga belas tahun yang
lalu kecepatannya berlari, pernah mengejutkan Wirapati sewaktu dia mengejar
orang-orang Banyumas. Kali inipun demikian.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 328

@bende mataram@
Bagian 328

Benar-benar Sangaji bagai seseorang yang kehilangan dirinya sendiri. Ia
tegak seperti batu. Pandang matanya terlongong-longong. Masih ia menyusul
kepergiannya Titisari beberapa langkah. Kemudian berdiri tegak seperti
tersekat danau lumpur setinggi lehernya. Sedang ia dalam keadaan demikian,
tiba-tiba lengannya terasa teraba. Ia menoleh dan melihat gurunya Jaga
Saradenta berdiri tertatih-tatih di dekatnya. Kata guru yang sok
uring-uringan itu, "Anakku Sangaji! Engkau lahir sebagai laki-laki dan
kelak mati sebagai laki-laki pula. Dan sebagai seorang laki-laki aku
menghendaki engkau hidup sebagai laki-laki tulen. Nah, bagaimana? Apakah
engkau masih seorang laki-laki?" Pemuda itu masih berdiri
terlongong-longong. Kemudian mencoba mengatasi perasaannya. "Aku... aku
hendak mengunjungi guru dahulu ke Gunung Damar!" "Bagus! Itulah baru
muridku," seru Jaga Saradenta bergembira. "Tiga belas tahun yang lalu,
bukankah perasaanku seperti keadaanmu sekarang? Kutinggalkan istri dan
kampung halamanku. Untuk apa dan untuk siapa? Ontuk ini... yang bersemayam
dalam dada... yang mengingatkanku setiap detik bahwa aku dilahirkan dan
akan mati sebagai laki-laki." Hebat kata-kata guru yang sok uring-uringan
itu, meskipun andaikata terdengar Adipati Surengpati akan ditertawakan
sebagai suatu elan kosong melompong. Sebaliknya yang berada dalam kubang
batu itu adalah golongan pahlawan-pahlawan muda yang masih mengutamakan
sifat-sifat kejantanan sebagai elan hidupnya. Karena itu, mereka bersikap
diam dan bersungguh-sungguh. Bahkan pendeta edan-edanan Ki Hajar
Karangpandan turut tergetar hatinya. Terus saja menimbrung. "Jaga
Saradenta! Terimalah hormatku! Meskipun kepergianmu ke daerah barat ada
sangkut-pautnya dengan diriku, tapi kepergianmu dahulu jauh lebih jantan
daripadaku. Kau pergi sebagai laki-laki. Sebaliknya aku bekerja untuk
ketamakanku." Mendengar pengakuan Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru
tertawa perlahan. "Eh— semenjak kapan kau berubah adat? Kalau kutahu begini
adatmu, sudah dulu-dulu aku kawin. Kukira kau mau menang saja dalam segala
hal. Tak tahunya, engkau berani pula melihat kenyataan. Bagus! Mulai saat
ini, kuhabisi saja pertaruhan kita dahulu. Aku mengaku kalah. Dan kau boleh
kawin sembarang waktu." "Hidungmu!" dengus Ki Hajar Karangpandan. "Siapa
kesudian menjadi isteri pendeta bangkotan begini? Dan sekiranya terjadi,
isteriku harus seorang wanita Sunda yang berpantat besar." "Bagus! Akupun
akan mencari puteri Jawa yang paling besar pantatnya," sahut Ki Tunjungbiru
cepat. Seperti diketahui, mereka dahulu berkutat sampai lima hari perkara
pantat. Masing-masing tak mau mengalah dan mati-matian mempertahankan
kehormatan wanita sukunya. Karena tiada yang kalah dan menang, akhirnya
mereka mempertaruhkan kehormatannya yang terakhir. Yakni mempertandingkan
diri siapa yang paling betah tak kawin. Hasilnya setali tiga uang. Sampai
umurnya melampaui setengah abad, masih saja mereka tak sudi kawin. Mereka
berdua lantas saja tertawa geli. Akhirnya tertawa terbahak-bahak seperti
orang gendeng. Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta yang mengenal
sejarah mereka, ikut tertawa melebar. Bahkan Sangaji sendiri yang sedang
pepat, mendadak bisa tersenyum. Tak setahunya sendiri selembar kepepatan
hatinya sirna dari lubuk dadanya. Demikianlah, mereka lantas saja
berkemas-kemas. Sangaji memanggil Willem. Gurunya Jaga Saradenta yang
terluka lantas saja dinaikkan di atas punggung kuda jempolan itu. Dia
sendiri bersama-sama paman gurunya, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru
dan Panembahan Tirtomojo berjalan mengiringkan. Surapati dan Pringgasakti
waktu itu telah dikebumikan. Medan pertempuran lantas saja berganti kesan.
Orang-orang desa belum berani mencongakkan diri. Karena itu, mayat-mayat
prajurit yang jauh dari sanak keluarganya, bergelimpangan tiada terurus.
Menjelang tengah hari pancaindera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap
sesuatu yang mencurigakan. Kira-kira seratus langkah di barat daya ia
mendengar suatu pernapasan pepat di antara semak tetumbuhan. Pernapasan itu
menyenak-nyenak. Terang adalah napas seseorang yang menderita luka parah.
"Paman! Apakah Paman mendengar sesuatu yang kurang beres?" Ia minta
keyakinan kepada paman-paman gurunya. Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus
Kempong bukanlah sebangsa pendekar murahan. Suryaningrat sendiri meskipun
yang terlemah adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Ilmunya sejajar dengan Ki
Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan Jaga
Saradenta. Meskipun demikian, mereka semua tak dapat ditandingkan dengan
ilmu sakti Sangaji. Bahkan Gagak Seta, Adipati Surengpati dan Kebo Bangah
diam-diam mengakui keunggulannya. Karena itu, pancaindera mereka kalah jauh
tajamnya. "Berkatalah! Kau mendengar apa?" kata Gagak Handaka. "Aku
mendengar suara napas yang..." Mendadak saja ia meloncat sambil berseru
mengajak, "Paman! Mari!" Tanpa menunggu paman-pamannya lagi, Sangaji terus
saja menghampiri gerumbul. Ia seperti mengenal tata pernapasan yang menusuk
pendengarannya. Benar juga. Tatkala ia menyibakkan gerumbul, dilihatnya
suatu tebing sungai yang agak curam. Cepat ia melayang turun sambil
menggebu alang-alang yang menutupi penglihatan. Berbareng dengan turunnya
ke tanah, ia melihat seorang meringkuk tiada berkutik seolah-olah telah
mati. Hatinya memukul, karena segera ia mengenalnya. Itulah Fatimah gadis
angin-anginan yang menolongnya dahulu. Dengan gemetaran ia mendekati. Cepat
ia mengangkatnya dan diperiksanya dengan hati-hati. Di bawah cuaca
terang-benderang ia melihat mata Fatimah terpejam rapat. Wajahnya pucat
bagaikan kertas. Napasnya terdengar menyenak lembut dan berjalan amat
perlahan. Dari kenyataan itu terbuktilah betapa tajam panca indera Sangaji.
Terkejut dan pilu rasa hati Sangaji begitu melihat keadaan Fatimah. Dengan
pipinya ia mencoba memeriksa suhu tubuh gadis itu. Syukur, masih terasa
hangat. Dan ia agak bergirang hati, mendengar denyut jantung dan nadinya
masih berjalan wajar. "Paman... bagaimana?" Ia mendongak ke atas dan terus
mendaki tebing dengan hati-hati. Fatimah kemudian diletakkan di atas
rerumputan. Tanpa menunggu pertimbangan lagi, terus saja ia mengirimkan
tenaga saktinya. Mereka yang berada di situ adalah serombongan
pendekar-pendekar berpengalaman. Tanpa berbicara mereka lantas bekerja.
Ranggajaya dan Bagus Kempong segera memeriksa keadaan tubuh gadis itu, yang
ternyata menderita luka berat. Sedangkan Gagak Handaka menjaga peredaran
darah. Hanya Suryaningrat seorang yang sibuk tak keruan. Maklumlah, di
antara mereka dialah yang mempunyai hubungan rapat dengan Fatimah. Seperti
diketahui, Fatimah adalah muridnya, atas perintah Kyai Kasan Kesambi untuk
meniliknya pada waktu-waktu tertentu. Dan dalam hal ini ia tak tahu, apa
yang harus dilakukan. Dengan sekena-kenanya, ia mencoba membangunkan
Fatimah. Ternyata kedua kaki dan tangan muridnya tetap terkulai seolah-olah
kehilangan tulang sendi. Menyaksikan demikian, wajahnya jadi pucat.
Hampir-hampir saja ia menangis. Lain halnya dengan Panembahan Tirtomoyo dan
Ki Tunjungbiru. Dan sekilas pandang, tahulah mereka apa yang harus
dilakukan. Seperti berjanji, mereka mengeluarkan obat simpanannya.
Panembahan Tirtomoyo mengeluarkan obat bubuk hasil ramuannya sendiri.
Sedangkan Ki Tunjungbiru segera meminumkan madu lebah Tunjungbiru yang
termasyhur khasiatnya. Ki Hajar Karangpandan lain pula yang dilakukan.
Pendeta itu meskipun terkenal berwatak edan-edanan, tetapi besar
kewas-padaannya dan pengalamannya. Terus saja ia lari berputaran memeriksa
sekitar lapangan. "Ih! Nampaknya lengan dan kakinya patah," kata Jaga
Saradenta dari atas punggung si Willem. "Siapakah yang berbuat sekeji ini?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong bukanlah tidak mengetahui
keadaan Fatimah. Hanya saja mereka merasa diri tak sanggup melakukan
penyambungan tulang. Untung di situ terdapat Ki Tunjungbiru dan Panembahan
Tirtomoyo. Kedua pendekar itu lantas saja bekerja. Mumpung Fatimah dalam
keadaan belum sadar kembali, segera mereka menyambung tulang lengan dan
kaki yang terpatahkan. Kemudian dibebatnya rapi setelah diborehi sebungkus
ramuan obat tulang. Berkat pertolongan mereka semua, Fatimah cepat dapat
disadarkan kembali. Gadis itu menjerit kesaktian. Dan tubuhnya menggigil
menahan sakit. Sangaji segera memijit urat-urat nadi tertentu untuk
mengurangi rasa nyeri. Melihat pernapasan Fatimah kembali lancar ia
bersyukur bukan main. "Fatimah!" panggilnya. Fatimah seperti mendengar
panggilan itu. Kelopak matanya bergerak-gerak. Mendadak menyenakan mata
seperti terkejut. Pandangnya penuh curiga dan ketakutan. "Kau siapa?"
jeritnya. "Aku bocah tolol Sangaji!" Gundu mata Fatimah berputaran
seolah-olah tak mempercayai penglihatan dan pen-dengarannya sendiri.
Tiba-tiba ia tersadar. Mau ia bergerak hendak bangkit, tetapi suatu
ke-nyerian luar biasa menusuk jantungnya. Ia menjerit dan mengeluh dalam.
Kemudian merintih perlahan. Melihat keadaan Fatimah, Suryaningrat tak kuasa
lagi menahan hatinya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Frenzy

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

12.27.2019

Frenzy

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 327

@bende mataram@
Bagian 327

Kalau kibasannya tadi mengenai Sonny, pastilah Sangaji akan marah, la tak
takut menghadapi Sangaji meskipun telah mempunyai ilmu sakti tiada tara.
Tetapi akibat dari itu, Titisari akan dimusuhinya. Hubungan mereka berdua
akan jadi renggang. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi berpikir
keras. Tak dikehendakinya sendiri, ia mengamat-amati paras muka puterinya.
Titisari nampak lesu dan berduka. Kesan muka demikian, mengingatkan dia
kepada almarhum isterinya sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang
terakhir. Dan dialah ibu Titisari yang sangat dicintai. Setelah dikubur, ia
hampir-hampir menjadi gila. Meskipun kini sudah lewat lima belas tahun,
masih saja wajah almarhum isterinya berkelebat dalam benaknya. Sekarang ia
melihat wajah itu kembali pada paras muka puterinya. Maka tahulah dia,
bahwa gadisnya itu amat mencintai Sangaji. Tak terasa ia menarik napas
panjang sekali. "Titisari, anakku... mari kita pulang...!" la berkata
perlahan penuh haru. "Kita menyekap diri di tengah Lautan Jawa. Di antara
pepohonan dari batu-batu kepulauan Karimun Jawa. Selanjutnya kita singkiri
dan kita lenyapkan bayangan bocah itu dari benak kita. Bukankah kita akan
bisa hidup lebih tenteram?" "Tidak Ayah," sahut Titisari sambil
mengge-lengkan kepala. "Biarlah aku pergi mengikuti dia barang satu dua
tahun. Tenagaku masih dibutuhkannya untuk memecahkan teka-teki guratan
Bende Mataram. Kalau aku begitu saja meninggalkannya, bukankah teka-teki
itu takkan dapat dipecahkan?" Adipati Surengpati tersenyum. Katanya
ter-cengang. "Terpecahkan atau tidak, apakah pentingnya buat kita?" "Aku
telah berdoa dan berjanji kepada Pangeran Semono akan menyertai sampai ia
membuktikan sumpahnya hendak berbuat kebajikan kepada sesama umatnya dengan
bekal ilmu warisannya..." Adipati Surengpati tertegun. Ia diam meninv
bang-nimbang. Akhirnya berkata, "Baiklah. Kau sudah berjanji. Karena itu
puteri Adipati Surengpati, wajiblah engkau membuktikan. Di kemudian hari
apabila sudah terlaksana, bukankah kau akan pulang ke rumah?" "Tentu,
Ayah." "... dan apakah engkau masih memikirkan bocah itu?" Titisari
mengerling kepada Sangaji. Pemuda itu nampak lesu. Paras mukanya muram,
suatu tanda bahwa hatinya berduka. Maka ia berkata nyaring. "... Ayah!
Kuakui, aku cinta padanya. Tetapi ia mengawini gadis lain. Karena itu,
akupun akan kawin dengan pemu-da lain pula. Katanya... dalam hatinya hanya
ada aku. Akupun demikian. Meskipun kawin dengan pemuda lain, dalam hatiku
hanya ada dia." "Bagus!" Adipati Surengpati tertawa. "Tetapi kalau suamimu
kelak melarangmu bertemu dengan dia, apakah yang hendak kaulaku-kan?"
"Siapa yang berani melarang aku? Aku kan puteri Adipati Surengpati?" sahut
Titisari cepat. "Ah, anak tolol! Ayahmu bukan hidup untuk selama-lamanya.
Beberapa tahun lagi, mung-kin ayahmu akan menyusul ibumu di alam baka..."
"Tetapi... apabila aku menghadapi kenyataan hidup begini pahit, masakan aku
betah hidup lama-lama di dunia? Aku pun akan menyusul ayah-bunda secepat
mungkin." Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pen deta yang terkenal
berwatak angin-anginan dan senang membawa adatnya yang edan-edanan. Tapi
begitu mendengar percakapan antara Adipati Surengpati dan Titisari, ia jadi
tertegun keheran-heranan. Tak terasa bulu kuduknya meremang. Maklumlah pada
zaman itu tata-susila pergaulan sangatlah keras. Barangsiapa berani berbuat
zinah, akan memperoleh hukuman seberat-beratnya. Tetapi ayah dan anak itu
alangkah enaknya membicarakan hal itu. Tata-tertib hukum seolah-olah tiada
harganya dan tak dihiraukan sama sekali. Mereka berdua seolah-olah merdeka
berbuat sekehendaknya sendiri. Adipati Surengpati memang terkenal seba-gai
seorang pendekar aneh. Karena itu, ia dijuluki siluman Karimun Jawa.
Gerak-geriknya liar dan di luar dugaan orang. Apa yang dilakukan,
seringkali bertentangan dengan tata tertib pergaulan manusia. Meskipun
demikian, ia seorang pelajar. Pengetahuannya luas dan ilmunya sangat
tinggi. Titisari adalah satu-satunya anak gadisnya. Semenjak kanak-kanak
diasuh oleh ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, tak mengherankan bahwa ia
benar-benar mewarisi watak dan pandangan hidup ayah-nya pula. Orang boleh
bersuami atau beristeri. Tetapi perkawinan itu bukanlah berarti peng-ucapan
cinta sebenarnya. Karena itu, dia beranggapan bahwa seorang isteri atau
suami boleh bertemu dengan kekasihnya yang sebe-narnya di luar rumah pada
sembarang waktu. Sangaji sebaliknya, adalah seorang pemuda yang lurus hati,
sederhana, jujur dan mulia hati. Mendengar percakapan mereka, ia jadi
berduka bukan main. Ingin ia hendak membe-sarkan hati Titisari. Tetapi
apakah yang hen-dak dikatakan? Tak dikehendaki sendiri, ia bungkam tak
berkutik. Dalam pada itu Adipati Surengpati meng-amat-amati gadisnya.
Kemudian kepada Sa-ngaji. Sekonyong-konyong ia tertawa men-dongak memenuhi
angkasa. Suara tertawanya bergelora dan menggetarkan bumi. Burung-burung
yang sedang hinggap di pepohonan, terkejut sampai berterbangan tanpa
tujuan. "Hai burung!" kata Adipati Surengpati nyaring. "Pagi ini ada
jembatan putus. Apa sebab tak kalian kabarkan kepada semesta alam?" Adipati
Surengpati sedang mendongkol berbareng sakit hati. Cepat ia menjumput
segenggam kerikil. Kemudian disambitkan ke angkasa. Dan burung-burung yang
tak menyadari datangnya bahaya, mati runtuh ke tanah seperti daun kering
tersapu angin. Tentara Belanda yang selama itu hanya meng-andalkan
perlengkapan senapannya, tertegun keheran-heranan menyaksikan tontonan
de-mikian. Tatkala mereka menoleh ke arah Adipati Surengpati, siluman dari
Karimunjawa itu sudah berjalan meninggalkan gelanggang tanpa menoleh. Dan
sebentar saja, tubuhnya hilang di balik gundukan tanah ... Mayor de Hoop
dan Sony de Hoop tak dapat mengikuti pembicaraan itu. Tetapi begitu
meli-hat perginya Adipati Surengpati, dapatlah mereka menebak sebagian.
Itulah suatu tanda, bahwa Adipati Surengpati mendongkol karena kecewa hati.
Dengan sendirinya, mereka mengerti Sangaji benar-benar menepati janji.
Karena itu diam-diam mereka bersyukur dalam hati. Dengan serentak, Mayor de
Hoop melompat dari kudanya. Lantas menghampiri Sangaji sambil membawa
pelangi ibunya. Itulah pe-langi ibunya yang dahulu diberikan kepada Mayor
de Hoop sebagai suatu tanda ikatan keluarga. "Sangaji!" kata Mayor de Hoop.
"Apakah engkau telah berhasil menuntutkan dendam almarhum ayahmu?"
Mendengar pertanyaan itu, Sangaji seperti tersadar. Dengan sendirinya ia
menoleh ke arah gelanggang. Ia jadi keheran-heranan, karena Pangeran Bumi
Gede dan seluruh pasukannya tiada nampak lagi kecuali mereka yang mati atau
terluka berat. Rupanya, tatkala para kompeni sibuk merumun Sangaji, ia
meninggalkan gelanggang pertempuran de-ngan diam-diam. Sesungguhnya
demikianlah halnya. Sebagai seorang serba cerdik, dengan cepat Pangeran
Bumi Gede dapat menebak apa yang sedang terjadi. Tadinya, ia mengharap akan
memper-oleh bantuan kompeni dan kesaktian pendekar Kebo Bangah. Ternyata
dua-duanya tak dapat diandalkan. Pendekar Kebo Bangah hilang tiada
kabarnya. Sedangkan kompeni tiba-tiba saja begitu bersikap mesraP terhadap
Sangaji. Teringat riwayat hidup Sangaji, lantas saja ia bisa menduga
delapan bagian. Maka sebelum terlanjur, cepat-cepat ia memerintahkan para
panglimanya agar meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diam-diam.
"Sangaji!" kata Sonny de Hoop. "Tatkala kami berangkat ke mari, ibumu
berpesan agar engkau lekas pulang." Pada waktu itu, hati Sangaji masih
pepat. Mendengar suara Sonny, ia mengangguk de-ngan kepala kosong. Kemudian
berkata, "Kau pulang dahulu bukan? Nah, katakan kepada Ibu bahwa aku belum
berhasil menuntut balas. Tapi... tahun ini, aku pasti pulang. Kau mau
menyampaikan pesanku ini, bukan?" Mayor de Hoop dan Sonny senang men-dengar
ucapan Sangaji. Mereka lantas saja mengucapkan selamat berpisah. Dan dengan
memberi aba-aba pendek, mereka mening-galkan gelanggang pertempuran bersama
pasukannya. Titisari mengikuti mereka dengan pandang matanya yang suram.
Sangajipun seolah-olah terpaku pula di atas tanah. Mukanya penuh dukacita
tak terkatakan. Maka ia berkata per-lahan, "Aji! Pergilah kau! Sama sekali
aku tak menyesalimu..." "Titisari!" sahut Sangaji terkejut. "Selama
pertempuran tadi, aku tak melihat Kebo Bangah. Pendekar bandotan itu belum
kukalahkan, tetapi apa sebab meninggalkan gelanggang dengan tiba-tiba?
Kecuali itu, Pangeran Bumi Gede pun menghilang sewaktu aku lagi terbenam
dalam persoalan ini. Pastilah mereka mempunyai cara kerja sendiri untuk
mencapai angan-angannya... Di antara kita, hanya aku dan engkau saja yang
paham tentang rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Karena
itu, seyogyanya engkau janganlah berjalan seorang diri..." "Apakah engkau
hendak mengajak aku ke Jakarta?" potong Titisari berduka. Gadis itu
menggelengkan kepala dan meruntuhkan pandang ke tanah. Dan Sangaji jadi
perasa. Hatinya terharu bukan main. Ingin ia mengu-capkan sesuatu untuk
membesarkan hati kekasihnya, namun tak kuasa ia mencetak kata-kata.
"Pergilah engkau seorang diri menepati jan-jimu," kata Titisari setengah
berbisik. "Aku bisa membawa diri." Kemudian ia meletakkan pusaka sakti
Benda Mataram ke tanah. Keris Kyai Tunggulmanik yang terselip di
ping-gangnya lantas pula ditinggalkan dan disisip-kan ke pinggang Sangaji.
la mengeluarkan pula serenceng uang dan hiasan dada. Berkata, "Pusaka ini
adalah pusaka warisan-mu. Aku tak berhak membawa-bawa pergi. Dan ini adalah
sisa uang perjalananmu. Aku sendiri tak dapat memberi sesuatu, kecuali
hiasan dada ini. Dahulu kuterima dari almarhum ibuku. Kini kuberikan
kepadamu, agar engkau-engkau..." ia tak kuasa menyele-saikan ucapannya.
Hatinya penuh kubangan rasa sedan. Terus saja ia menggenggamkan benda
mustikanya ke tangan Sangaji. "Titisari! Kau seolah-olah hendak
meng-ucapkan selamat berpisah untuk selama-la-manya!" kata Sangaji dengan
suara mengge-letar. Gadis itu tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan air mata
berlinang, ia mencoba me-nguatkan hati. Berkata mengelak, "Tak mem-punyai
lagi aku benda yang lebih berharga daripada ini. Kalau saja engkau tak
me-nyia-nyiakannya, sudahlah senang hatiku..." Dan tanpa menunggu jawaban,
gadis itu memutar tubuhnya. Perlahan-lahan ia meninggalkan kubu pertahanan
dan tak lama kemudian hilanglah bayangannya di balik gunduk sana.
(Bersambung) ***

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

12.26.2019

Motif nya langka

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

12.23.2019

Keingintahuan hewan

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Caranya chumming supaya ikan pada datang

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Kerapu nya sikat gigi

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

@bende mataram@ Bagian 326

@bende mataram@
Bagian 326

Dalam pada itu, Mayor de Hoop telah minta keterangan dari seorang
penterjemahnya ten-tang pembicaraan antara Sangaji dan Adipati Surengpati.
Begitu mendengar persoalannya ia menjadi masgul. Hatinya tak puas bercampur
gusar. Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji mencintai seorang gadis
lain. Ini adalah suatu penghinaan besar baginya. Pada zaman itu adalah tabu
seorang Belanda hendak mengambil menantu seorang bumiputera. Ia kena cela
derajat bangsanya. Bahkan pada zaman Gntung Surapati, ia bisa dikenakan
hukuman mati. Tetapi norma-norma itu, tidaklah dihiraukan. Ternyata
keputusannya yang dahulu mengejutkan kaumnya, kini menghantam kehormatan
dirinya. Karuan saja ia tak tahan. Gerutunya dalam hati, "Dasar seorang
bumiputera. la tak tahu kunaikkan derajatnya. Jangankan menyatakan terima
kasih, kini bahkan meludaiku... Keparat!" Kemudian membentak hebat.
"Sangaji! Pernahkah aku bersalah terhadapmu? Tatkala aku menawarkan
pertunanganmu dengan Sonny, bukankah mulutmu sendiri yang menyatakan
setuju? Engkau adalah seorang laki-laki. Kau boleh malang-melintang ke
seluruh penjuru dunia. Tapi kehormatanmu sendiri, di manakah letaknya?
Bukankah kehormatan seorang laki-laki ada pada ucapannya? Kau boleh gagah.
Boleh perwira. Boleh perkasa. Tapi laki-laki yang tiada dapat dipegang
suara mulutnya, tidaklah ada harganya." la berhenti mengesankan. Napasnya
tersengal-sengal, karena hawa amarahnya naik sampai ke leher. Meledak lagi,
"Karena keberanianmu dan kejujuranmu, engkau menarik perhatian Gubernur
Jendral—tatkala engkau menolong nyawa Willem Erbefeld. Jasa ini sangat
besar, sehingga Gubernur Jendral menghargaimu. Akupun ikut menghargaimu
pula. Bukan hanya di mulut saja. Tapi kubuktikan dengan menyerahkan
puteriku. Kemudian... kau berpamit satu tahun lamanya karena hendak
menunaikan tugas mulia untuk menuntut dendam kematian ayahmu. Kupegang
kepercayaanku kepadamu. Karena kau... kami kena! sebagai seorang pemuda
yang tahu memegang janji. Tapi ternyata aku kaukentuti! Kau hina! Kau
iudahi! Hm... baiklah. Ibumu berada dalam lingkungan kami. Tapi tak usahlah
kau khawatir. Aku akan memerintahkan beberapa orang mengantarkan ibumu
pulang ke kampung halamannya dengan selamat, sebagai balas jasa kami bangsa
Belanda terhadap keberanianmu melindungi Willem Erbefeld. Inilah
kata-kataku. Kata-kata seorang laki-laki. Dan kata-katanya seorang
laki-laki seumpama gunung tegak meraba permukaan udara. Tapi... semenjak
itu, putuslah hubungan kita. Antara aku dan engkau tiada lagi perhitungan
balas budi. Usahakanlah, agar engkau tak bertemu dengan aku. Kalau pada
suatu kali sampai bertemu, jangan sesalkan aku. Karena aku akan menembakmu
sebagai seorang laki-laki pengembara yang tiada mempunyai harga untuk
dihormati." Sehabis berkata demikian, ia mengisi pistol-nya. Kemudian
ditembakkan ke udara tiga kali berturut-turut sebagai pernyataan sumpah.
Hati Sangaji seperti tersayat-sayat. Bukan ia takut bermusuhan dengan
bangsa Belanda. Tapi di sini terjadi persoalan tentang kehor-matan seorang
laki-laki. Dan sekaligus me-nyangkut kehormatan bangsanya. Berkatalah dia
di dalam hati: Kata-katanya sedikitpun tak salah. Gcapan seorang laki-laki
harganya se-tinggi gunung. Kalau aku semuda ini sudah kehilangan
kepercayaan orang, bukankah hidupku tak ubah selembar daun kering yang
tiada harganya sama sekali? Tatkala aku dipertunangkan dengan Sonny,
bukankah aku tak menolak? Meskipun hatiku berbicara lain. Karena itu
betapapun juga aku harus berani memikul akibatnya. Seorang laki-laki boleh
hancur-lebur, tapi jangan sampai kehilangan harga diri. Biarlah Adipati
Surengpati membunuhku. Biarlah Titisari membenci daku seumur hidup atau
mengutuki tulang belulangku dalam liang kubur. Aku tak dapat berbuat lain,
kecuali menetapi janji... Setelah mengambil keputusan demikian, ia
menghadap Adipati Surengpati. Kemudian berkata nyaring, "Adipati
Surengpati, guru, paman-pamanku, Paman Hajar Karangpan-dan, Aki Panembahan
Tirtomoyo dan Aki Tunjungbiru dan Mayor de Hoop, Sonny dan sekalian yang
hadir di sini. Aku Sangaji. Meskipun aku anak seorang janda miskin dan
ayahku mati tak ketentuan liang kuburnya, tapi aku adalah laki-laki yang
harus mempu-nyai harga diri. Tak dapat aku mengorbankan kepercayaan orang
terhadapku. Karena itu betapapun akibatnya aku tetap akan kawin dengan
Sonny de Hoop. Inilah pernyataanku." Sangaji berbicara dalam dua bahasa.
Yang pertama kali bahasa Jawa. Kemudian diter-jemahkannya ke dalam bahasa
Belanda. Dengan demikian kedua belah pihak mengerti dengan terang. Keruan
saja. Mayor de Hoop dan Sonny girang setengah mati. Sebaliknya, Adipati
Surengpati, Titisari, Ki Hajar Karang-pandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki
Tunjung-biru, Jaga Saradenta dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi
tercengang-cengang. Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan
Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan sekalian murid-murid Kyai Kasan Kesambi
akhirnya memuji keputusan itu dengan diam-diam. Inilah ucapan dan keputusan
seorang ksatria sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadinya demi
menjunjung derajat kaumnya dan bangsanya. Tapi tidaklah demikian halnya
dengan Adipati Surengpati. Semenjak dahulu ia dijuluki sebagai siluman
Karimun Jawa. Karena dia adalah seorang pendekar yang tak menghiraukan sama
sekali tata pergaulan manusia. Ia merasa muak mendengar semboyan-semboyan
kosong yang tiada harganya bagi sejarah kemanusiaan. Apakah itu harga diri.
Apakah itu kehormatan laki-laki. Apakah itu ksatria sejati segala. Mendadak
saja ia memperdengarkan suatu nada tertawa panjang yang menggeridikkan bulu
roma. Tittisari kaget mendengar tertawa ayahnya. Itulah suatu tanda, bahwa
ayahnya murka tak terkendalikan lagi. Tapi berbareng itu, ia berduka juga
sehingga ia berdiri terlongong-Iongong. Gadis yang berontak cerdas luar
biasa itu, mendadak saja kehilangan akal. Tetapi hal itu bukanlah berarti
bahwa ia tak tahu menempatkan diri. Dengan tenang ia melangkah maju
beberapa langkah menghampiri Sonny. la mengamat-amati perawakan puteri itu
yang tegap berwibawa. Akhirnya menghela napas panjang. Pikirnya, patutlah
Aji menjadi suami-nya. Inilah suatu pilihan tepat. Terus ia berkata kepada
Sangaji, "Aji! Aku paham apa sebab engkau menyatakan keputusan itu. Kau
bergaul dengan dia lebih lama daripadaku. Kau dibesarkan pula dalam
kalangannya. Sudah selayaknya engkau memilih dia sebagai sisihanmu.
Sebaliknya aku... aku adalah anak seorang siluman yang tiada beribu lagi.
Tak berpendidikan. Tak bermartabat. Tak berdera-jat, dan liar. Sudah
selayaknya pula engkau melupakan aku sebagai impian buruk... Bukan main
terharunya hati Sangaji. Ia maju menghampiri dan memegang tangannya
erat-erat. Kata pemuda itu, "Titisari! Tak-tahulah aku apakah keputusanku
itu tadi tepat atau tidak. Cuma saja, di dalam hatiku terisi seorang saja
yang kucintai dengan segenap hatiku. Itulah engkau. Meskipun nasibku kelak
mulia atau buruk, aku tetap mencintaimu." Mendengar ucapan Sangaji, air
mata Titisari menggelinang memenuhi kelopak matanya. Katanya berbisik,
"Tapi mengapa kau hendak mengawini dia?" "Titisari! Aku memang seorang
tolol. Segalanya tak kumengerti sendiri. Di depanku seolah-olah sudah
disediakan jalan panjang bagiku yang harus kutempuh. Aku hanya tahu, bahwa
seorang laki-laki harus dapat memegang teguh janjinya. Aku hanya tahu,
bahwa aku tak boleh berdusta. Aku harus berani menanggung akibatnya. Karena
itu tak peduli bagaimana aku harus mengambil keputusan demikian. Hanya
dalam hatiku... terisilah engkau seorang. Sungguh! Aku tak berdusta."
Titisari jadi bingung. Ia girang tetapi berbareng susah hati pula. Akhirnya
ia tertawa panjang sambil berkata, "Aji tahulah aku kini. Kalau hari ini
kita masih mengeram dalam benteng, bukankah engkau takkan mengalami
peristiwa ini?" "Itulah gampang!" tiba-tiba Adipati Su-rengpati berkata.
Alisnya dinaikkan dan tiba-tiba tangannya mengibas ke arah Sony de Hoop.
Tadi Titisari telah mendengar nada tertawa ayahnya, la terkesiap. Dan
tahulah dia, bahwa ayahnya akan mengambil suatu tindakan yang tak
terduga-duga. Maka begitu mendengar ayahnya berkata memutuskan, cepat ia
mendahului, la menyambar pergelangan tangan Sonny dan ditariknya turun.
Adipati Surengpati takut akan mencelakai puterinya. Dengan sendirinya ia
memperlam-bat gerakannya. Sesudah Titisari menarik Sonny turun dari
punggung kuda, barulah pukulannya dilepaskan sebebas-bebasnya. Mula-mula
seperti tiada terjadi sesuatu. Mendadak saja kuda Sonny menundukkan
kepalanya. Keempat kakinya lemas tiada tenaga. Lalu berguling ke tanah. Dan
pada saat itu juga, nyawanya melayang. Kuda Sonny adalah kuda pilihan.
Pera-wakannya besar dan kuat seperti Willem yang selalu dibawanya pergi
semenjak kemarin lusa. Tapi dengan sekali hajar, mampuslah dia. Karuan saja
yang menyaksikan kaget bukan main. Kalau kibasan tangan tadi me-ngenai
Sonny, tidakkah gadis Indo itu akan ringsek? Sebaliknya Adipati Surengpati
tercengang-cengang menghadapi kejadian demikian. Sama sekali tak diduganya,
bahwa Titisari akan menolong gadis saingannya itu. Tetapi dia seorang
pendekar berpengalaman lagi cerdik. Sebentar saja tahulah dia menebak
kehendak puterinya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail