5.29.2014

Renungan Seorang Penyair .........




From: syauqi yahya

Thursday, March 06, 2008

Megatruh Kambuh

Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu

Penyair besar Ronggowarsito, di pertengahan abad 19, menggambarkan
zaman pancaroba sebagai "Kalatida" dan "Kalabendu".

Zaman "Kalatida" adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan
antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak
digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan
korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di
lapisan atas dan bawah.

Zaman "Kalabendu" adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat
stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan.
Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur.
Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum
miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan
dan disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari "Kalatida" dan "Kalabendu"
tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun
secara ringkas bisa dikatakan bahwa "Kalatida" adalah zaman edan,
karena akal sehat diremehkan, dan "Kalabendu" adalah zaman hancur dan
rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran
dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya, setelah "Kalatida" dan
"Kalabendu" pasti akan muncul zaman "Kalasuba", yaitu zaman stabilitas
dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamat di masa
"Kalatida" adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan
gila. Sedangkan di masa "Kalabendu" harus berani prihatin, sabar,
tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di
dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa
"Kalasuba" yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Ternyata urutan zaman "Kalatida", "Kalabendu", dan "Kalasuba" tidak
hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi
di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di
Romawi,, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal,
Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun,
kapanpun. Begitulah rupanya irama "wolak waliking zaman" atau "timbul
tenggelamnya zaman", atau "pergolakan zaman". Alangkah tajamnya
penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari "pergolakan zaman" serupa
itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya pagi ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori
chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos
terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak
tergantung dari unsure luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair
Ronggowarsito mengenai "Kalasubo". Kata Ratu Adil bukan lahir dari
rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja.
Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ronggowarsito
menunjukkan sekali lagi ketazaman dan kepekaan mata batinnya.

Melewati pidato ini saya persembahkan sembah sungkan saya yang khidmat
kepada penyair besar ronggowarsito.

Kembali pada renungan mengenai gelombang "Kalatida", "Kalabendu" dan
"Kalasuba" yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di
manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada "Mesin Budaya". Adapun
"Mesin Budaya" itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan dan
menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi. Dan
aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar
begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola
keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu,
atau "Mesin Budaya" itu.

"Mesin Budaya" yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan
menghargai dinamika kehidupan, adalah "Mesin budaya" yang mampu
mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara.
Tetapi "Mesin budaya" yang berdaulat penguasa, yang menindas dan
menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya
hidup daya cipta bangsa.

Didalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan
alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh
hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat
atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah
berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki
tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum
adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang
kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya
terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan

Dengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang politik ataupun yang
dagang, tak bisa menjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa
melewati kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa pemerintahan.
Itulah sebabnya masyarakat serupa itu sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam lingkungan yang bisa
hidup dalam harmoni baik berkat tatanan hukum yang adil, pada akhirnya
akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena
selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang
adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat
yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia yang kuat
tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh V.O.C. Dan juga sukar
dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisa
ditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya
senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit. Sedangkan
Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun 1905, Toraja 1910,
Bali 1910 dan Ternate 1923 serta Ruteng 1928.
Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam lingkungannya,
tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemah karena tidak
berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa
kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung
menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa mengalahkan
rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.

Kohesi rakyat dalam masyarakat adat kuat karena bersifat organis.
Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah. Sedangkan
kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata
sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan terhadap
penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi,
Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan
Madura. Gampang ditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah.
Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa mengatur kerja
paksa dan tanam paksa. "Kalatida" dan "Kalabendu" melanda negara.

Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruh
Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan ialah dengan
meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu
domba dengan para bangsawan di perintahan sehingga dengan melemahnya
adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan alam
lingkungannya. Selanjutnya penghisapan kekayaan alam bisa lebih bebas
dilakukan oleh para penjajah itu.

Di zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar dilemahkan adalah yang
ada di Bali karena hubungannya dengan agama dan pura, dan yang ada di
Sumatra Barat karena hubungan dengan syariat dan kitab Allah.

Tata hukum dan tata negara sebagai "Mesin Budaya", di zaman penjajahan
Hindia Belanda menjadi "Mesin Budaya" yang buruk bagi kehidupan
bangsa. Karena tata hukum dan tata Negara Hindia Belanda memang
diciptakan untuk kepentingan penjajahan.
Maka ketika membangun negara, pemerintah Hindia Belanda juga tidak
punya kepentingan untuk memajukan bangsa, melainkan membangun untuk
bisa menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modal asing yang bebas
pajak, alat berproduksi juga didatangkan dari luar negeri dengan bebas
pajak, dan bahan baku juga diimport dengan bebas pajak pula, kemudian
pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak berikut tanahnya. Yang
kena pajak cuma keuntungannya. Itupun boleh ditransfer keluar negeri.
Jadi devisa terbuka! Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia Belanda
membangun "Mesin Budaya" penghisapan terhadap daya hidup rakyat dan
kekayaan alam lingkungan Indonesia. Semuanya itu di kokohkan dengan
"Ordonansi Pajak 1925".

Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun Hindia Belanda
masih terus dilestarikan oleh elit politik kita. "Ordonansi Pajak
1925" hanya dirubah judulnya menjadi "Undang-undang Penanaman Modal
Asing". Sehingga sampai sekarang kita sangat tergantung pada modal
asing. Pembentukan modal dalam negeri serta perdagangan antar desa dan
antar pulau tidak pernah dibangun secara serius.
Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas sampai melahirkan
tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator dan produsir tak nampak
ada. Mengkonsumsi teknologi yang dibeli disamakan dengan ambil alih
teknologi.

Bagaimana mengembangkan sumber daya manusia tanpa menggalakkan
lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya! Tanpa riset kita hanya akan
menjadi konsumen dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan juga melengahkan pembentukan industri hulu, seperti penjajah tempo
dulu, itu tidak bisa diterima. Sangat menyedihkan bahwa pabrik baja
kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanya hanya mendaur
ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita di hampir semua
bidang: pesawat terbang,mobil, sepeda, obat batuk hitam, obat flu,
cabe, kobis, padi , jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua
assembling! Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkan mesin-mesin
berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat spesialis yang cukup
jumlahnya, pemerintah kita, sejak zaman Orde Baru, telah menjual modal
alam. Akibatnya yang memperoleh keuntungan besar adalah modal asing
yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenaga spesialis. Alam dan
lingkungan rusak karena kita memang tak berdaya menghadapi kedahsyatan
kekuatan modal asing.

Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan
bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman
Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari
lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusaha an multi nasional.

Dengan kedok "Revolusi Hijau" kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa
kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal
sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada
intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke
beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa
ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan
bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar
asing menasehati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya:
importlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir
punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan
pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah
menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun:
Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh
cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida
untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela
taman dan dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari
ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi.
Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma
selam-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakekatnya
herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi
pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan
agrikultur kehilangan "kultur" dan berubah menjadi "agrisida" atau "
agriracun".

Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk
ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di
sekitar perkebunan-perkebun an mengalami cacat badan dan melahirkan
bayi-bayi cacat.

Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi
karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk,
secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah
ini yang mendorong kita tergantung pada import bahan makanan. Maksud
hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta
explotasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan
mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga
spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung dari
begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde
Baru yang masih berkelanjutan sampai sekarang adalah salah satu faktor
"Kalabendu" yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya dengan korupsi
dan pelanggaran terhadap hak azazi.

Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan
rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung
yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta
dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada
Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN.
Namun begitu tidak program pemerintah dengan positif membantu usaha
mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang
penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku
selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada
mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur.
Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari
permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.

Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu
sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di
abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat
menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak lembu yang
dperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan. Selanjutnya
mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam
sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan
"Pararaton", mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga
mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai
mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif
di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi,
yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab "Pararaton".

Di jaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan
tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan
cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi,
dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka
menciptakan tempe. Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka
menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah,
membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni
bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam
kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di jaman tanam paksa dan kerja paksa, ketika kehidupan
rakyat di desa-desa sangat terpuruk, karena meskipun mereka bisa
beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat,
vanili, dsb. Tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau
paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik
perkebunan; namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti
sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dsb
untuk dijual kepada "ndoro-ndoro penjajah" di perkebunan dan
"ndoro-ndoro priyayi" di kota-kota. Akhirnya bencana menjadi
keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur.
Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan
tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini
mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan
bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil
terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang
sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela
kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka,
mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan
semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda
tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di
atas Daulat Rakyat, dan juga sama-sama menerapkan aturan politik
ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan
berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika, dengan
sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan
malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu
jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.

Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar
cakupannya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang
tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila
ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh
orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap
empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin,
Munir, dan pembunuhan-pembunuh an yang lain lagi.

Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki
kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas
keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi
keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan
pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan
dan para preman yang dibayar oleh majikan.
Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi
diri dari polusi yang ditimbulkan olah limbah pabrik. Petugas keamanan
selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan
kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada imple


Tidak ada komentar:

Posting Komentar