5.25.2014

Politik




SENIN, 26 MEI 2014

Politik

Seperti kandil padam," kata suster yang menyaksikan kematian Václav Havel pada pukul 09.50 pagi. "Begitu diam."
Di ranjang itu tak ada suara, memang. Tapi kita tahu: orang tak akan diam, juga setelah kematian.
Ketika berita wafat bekas presiden itu menyebar dari Hrádeek, desa kecil di timur laut Praha itu, ke seluruh Republik Cek, orang pun berhimpun. Mereka mengenangnya: sastrawan pembangkang yang memimpin gerakan menentang kediktatoran Partai Komunis. Presiden pertama yang mereka pilih. Kepala negara yang kemudian turun dari jabatannya dan menyisih ke Hrádeek. Seorang tua yang menanggung sakit sampai di pagi 18 Desember 2011 itu: wafat.
Tak jelas adakah orang yang menangis. Tapi Havel kembali didengar.
Ia hampir dilupakan. Dua puluh dua tahun jarak waktu antara hari kematian itu dan 17 November 1989, hari meletusnya demonstrasi pertama anti-pemerintah di Národní Tída. Dalam periode itu banyak hal terjadi: revolusi berhasil menumbangkan rezim dan ideologinya, tanpa jalan kekerasan: "Revolusi Beludru", 1989; Havel dipilih jadi presiden, pertama kali, 1990, dan demokrasi datang ke Cekoslovakia.
Tapi kegembiraan dengan segera disisipi kekecewaan-terutama ketika Cekoslovakia pecah menjadi Republik Cek dan Slovakia.
Selama itu, Havel, bekas pejuang kemerdekaan yang jadi kepala negara, dielu-elukan di seluruh dunia. Tapi pelan-pelan tampak, ia tak selamanya seorang pemimpin yang berhasil. Akhirnya ia meninggalkan kursinya-dengan nada muram ketika berbicara.
Bukan karena ia kehilangan kekuasaan; kekuasaan selalu dipanggulnya dengan enggan dan kikuk. Suaranya tak cerah karena ia merasa ada yang hilang.
Dulu, di tengah pergerakan pembebasan yang bergelora, Havel mengalami politik yang lain-politik yang berarti laku "melayani mereka yang ada di sekitar kita" dan "generasi yang akan datang". Tapi ketika pembebasan berhasil dan sistem demokrasi ditegakkan, ia justru menyaksikan tamasya yang mencemaskan. Masyarakat telah membebaskan diri, katanya, tapi dalam beberapa hal "berperilaku lebih buruk ketimbang ketika di dalam pasungan".
Kriminalitas meningkat, media yang tak disensor lagi jadi penyalur syahwat dan kedunguan, dan yang lebih berbahaya: kebencian menyebar di antara kaum, juga rasa curiga, rasialisme, bahkan gejala fasisme.
Di ulang tahun ke-15 "Revolusi Beludru", Havel menulis. Ia menyebut demokrasi yang akhirnya hanya jadi permainan para konsumen, dan politik yang seperti "sebuah medan perang para lobbyist" untuk kepentingan spesifik yang terpisah-pisah.
Mirip yang terjadi di Indonesia: sejak kediktatoran jatuh, demokrasi berbaur dengan kekecewaan dan politik kehilangan apa yang disebut Havel "sebuah tanggung jawab yang lebih tinggi".
Tiap kali saya menyaksikan itu, terngiang kembali kata-kata Reinhold Niebuhr itu: "Tugas sedih politik adalah menegakkan keadilan di dunia yang berdosa." The sad duty of politics is to establish justice in a sinful world.
Saya bukan seorang Protestan sebagaimana Niebuhr, theolog itu. Dunia bagi saya tak berdosa sejak diciptakan Tuhan; dunia adalah sejarah. Manusialah yang membuat sejarah bergerak antara harapan-harapan minimalis dan kekecewaan yang datang dan pergi.
Di situlah politik, seperti kata Niebuhr, sebuah "tugas". Politik bukan cuma usaha menghimpun dan menggunakan kekuasaan. Politik adalah pergulatan untuk keadilan, atau kesetaraan, yang berlangsung terus-menerus. Rancière menyebutnya la politique. Havel menyebutnya sebuah "tanggung jawab" (atau, seperti yang dikutip di atas: "tanggung jawab yang lebih tinggi") yang dinyatakan dengan tindakan. Tindakan itu ditujukan kepada "keseluruhan" dan bagi "keseluruhan". Dengan kata lain, politik adalah pergulatan bukan untuk diri sendiri.
Itu sebabnya Havel mempertautkannya dengan sesuatu yang lebih dalam: panggilan moral. Ada "landasan metafisik", katanya, yang dimulai dengan kesadaran atau kesetengahsadaran bahwa kematian bukanlah akhir. Akan ada catatan entah di mana, ada penilaian entah di mana, mungkin di "atas kita". Ada ingatan tentang Hidup, dari Hidup, "the memory of Being". Dan kita pun merasakan "tata rahasia kosmos, alam, dari kehidupan". Ada Tuhan yang menilai.
Tapi sebenarnya tak pasti adakah "tata rahasia" itu cocok buat negeri-negeri di atas bumi. Tiap kali pergulatan berlangsung demi "tanggung jawab yang lebih tinggi", ia akan terlontar kembali ke kancah "dosa" dunia. Salah satu "dosa" itu adalah kekuasaan: sesuatu yang perlu tapi menjerat dan membusukkan manusia.
Agaknya itulah yang membuat Havel murung. Kemurungannya menjangkau kita-dan kita pun tahu apa yang salah, apa yang hilang dalam politik hari ini. Kandil itu tak sepenuhnya diam ketika padam.

Goenawan Mohamad

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar