3.13.2014

Tempe !


From: <syauqiyahya@gmail.com>

The History of Tempeh : Enak Dimakan dan Perlu

Oleh: Yustinus Sapto Hardjanto | 25 February 2013 | 15:48 WIB

Saya harus mengakui diri sebagai salah satu generasi bangsa yang dibesarkan dengan tempe. Jaman saya dilahirkan adalah waktu dimana sisa-sisa jaman tidak enak masih mudah ditemukan. Yang namanya gaplek, thiwul, gatot, gadung, grontol, kerut, jenang ganyong dan sebagainya masih populer dan menjadi makanan sehari-hari. Saya masih mudah menemui tetangga yang makan nasi di campur dengan jelantah dan parutan kelapa, itu saja. Maka, maaf kalau waktu itu banyak anak menderita kremi-nen.
Telur dan daging adalah bentuk kemewahan, yang belum tentu tersaji seminggu sekali diatas meja makan. Saya ingat kalau ada sedikit daging sapi, ibu akan memasaknya menjadi srundeng. Jadi daging sapi hanya sekedar hiasan diantara lautan parutan kelapa tua. Untuk menemukan daging sapinya diperlukan ketelatenan mengaduk-aduk wadah srundeng yang telah masak.
Dalam jaman seperti itu tak heran jika dapur dan meja makan di rumah akrab dengan tempe. Tiada hari tanpa tempe, mulai dari tempe goreng, tempe bacem, tempe besenggek, kering tempe (terkadang setengah basah), oseng-oseng tempe, kripik tempe dan juga sambel tempe. Sayuranpun tak lepas dari campuran tempe, oblok-oblok, lodeh, sayur nangka semuanya ditambahi tempe. Ketika saat minum teh di sore hari, camilannya pun masih tempe yaitu tempe goreng tepung atau combro, parutan kelapa yang dibuat bular seperti onde-onde didalamnya diisi sambel tempe dan kemudian digoreng.
Every day is tempeh, mengalami jeda ketika saya merantau untuk melanjutkan pendidikan ke Sulawesi Utara. Di sana tempe menjadi makanan mewah untuk saya, karena dalam daftar menu di asrama tempe sama sekali tak pernah dimasukkan. Ini masuk akal saja sebab tempe saat itu belum terlalu populer di Sulawesi Utara, tempe kalah dengan tahu yang saat itu sudah dijual di kios-kios gorengan pinggir jalan. Tapi sekarang ini, tempe tak susah di temui dalam sajian makan di rumah-rumah keluarga di Sulawesi Utara. Tempe telah bersanding dengan tahu sebagai lauk alternatif terutama saat susah ikang.
Saya kembali menjadi pemangsa tempe ketika berpindah ke Samarinda yang sejak dahulu kala menjadi tempat tujuan migrasi orang-orang dari Jawa. Karenanya tempe tak susah ditemui, tak jauh dari rumah saya bahkan ada pembuatnya.
Meski tempe adalah salah satu bahan utama yang tiap hari masuk ke perut saya, namun sedikit sekali asupan tentang tempe yang dengan sengaja saya jejalkan ke dalam otak sebagai pengetahuan. Kalaupun saya tahu bagaimana cara membuat tempe, pengetahuan itu saya pelajari bukan sebagai sebuah kesengajaan. Saya tahu seluk belum pembuatan tempe, karena Simbah, nenek saya adalah pembuat tempe. DI saat libur panjang biasanya saya menghabiskan liburan di rumah nenek dan pada saat itu saya sering ikut-ikutan membantu menginjak-injak kedelai yang telah direbus di bawah pancuran air.
Makanya saya terkejut saat mampir ke www.soyinfocenter.com sebuah situs yang mendedikasikan diri untuk segala sesuatu yang terkait dengan kedelai. Di bagian Historical,Bibliographies & Sourcebooks on Soy ternyata ada e-book berjudul History of Tempeh. E-book yang bisa diunduh secara gratis ini berisi sebuah laporan khusus tentang sejarah makanan (tempe) yang merupakan fermentasi dari kedelai.
Catatan yang lengkapnya berjudul History of Tempeh and Tempeh Products (1815-2011): Extensively Annotated Bibliography and Sourcebook, disusun oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi. Tema tempe yang bagi kita mungkin kelihatan sepele itu ternyata menghabiskan sebanyak 990 halaman catatan. Dan yang luar biasa ternyata buku yang sebagian besar berisi anotasi dan daftar buku-buku sumber,mengumpulkan banyak sekali catatan tentang tempe yang bisa jadi kita abaikan selama ini.
Saya baru membaca sekilas e-book yang saya download itu, namun dari bacaan sekilas itu saya melihat betapa sudah sejak lama para ahli dan peneliti tertarik untuk mempelajari tempe. Bagi mereka mungkin saja tempe menarik karena makanan berbahan dasar kedelai ini ternyata tidak muncul di Jepang dan China melainkan di Jawa Indonesia. Tempe bisa jadi merupakan kreasi dan inovasi awal dalam sejarah kuliner Nusantara, yang dipelajari dari proses pembuatan kecap yang diajarkan oleh pendatang dari China.
Tempe mungkin saja tidak mampu membangkitkan kekaguman atau ketakjuban dalam diri saya juga mungkin saja anda sekalian karena terlalu biasa. Sehari-hari kita temui dan kita makan sehingga tak terasa keistimewaannya. Padahal ketakjuban dan kekagumanlah yang akan mendorong seseorang untuk mempelajari sesuatu lebih jauh menjadi sebuah pengetahuan yang akan berguna bukan hanya untuk mempertahankan melainkan juga untuk mengembangkannya.
Tempe yang menyehatkan bangsa semenjak beratus tahun lalu bahkan sering diejek atau dilecehkan seperti terungkap lewat kata-kata “Dasar mental tempe’. Ungkapan itu kerap dipakai untuk mengata-ngatai orang yang mentalnya lembek, tidak berani dan ngalah sebelum maju berperang. Padahal tahukan kita bahwa di jaman kolonial dahulu, para pekerja paksa dan tawanan di kamp Belanda bisa bertahan hidup karena diberi makan tempe. Mereka yang makan tempe tidak terserang diare. Karena tempe para pekerja paksa dan tawanan tetap bertahan hidup akibat kandungan gizi yang tinggi.
Saya jadi ingat perkataan teman yang merefleksikan kegagalan negeri ini dalam mengangkat produk-produk unggulan. Kita terlalu meremehkan hasil bangsa sendiri dengan menganggapnya sebagai hal yang remeh temeh. Akibatnya kita ingin membuat pesawat, mobil, komputer, handphone yang bisa menyaingi produk Jepang, Amerika, Korea dan lain sebagainya yang tentu saja bakal susah dikejar karena kita tak menguasai teknologinya.
Kenapa bukan kuliner, bukankah kita kaya sekali dengan aneka kuliner yang mungkin saja sulit ditandingi oleh bangsa lainnya, protes kawan itu sambil menyebut tempe, nasi goreng dan rendang sebagai salah satu produk kuliner yang prospetik untuk masuk dalam percaturan global. Meski tidak tahu harus berbuat apa namun saya merasa apa yang dikatakan oleh teman saya itu benar 100%. Kita terlalu berpikir keluar untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, sehingga kita lupa menggali apa yang lebih dalam diri kita sendiri.
Ibarat kata kita selalu terlambat menyadari kekuatan diri, sehingga begitu orang lain (bangsa lain) mengembangkannya dan berhasil termasuk mendapat keuntungan ekonomi baru kita mencak-mencak. Seperti kita mengatakan Malaysia sebagai Maling Sia karena berkali-kali berhasil memanfaatkan apa yang kita anggap sebagai milik kita. Demikian juga dengan tempe, pernah ada semacam keributan karena merasa tempe telah dicuri oleh bangsa lain sehingga memunculkan dorongan untuk mematenkan tempe. Ya kita lebih senang ribut daripada mempelajari dan mendokumentasikan apa yang kita ributkan sehingga ketika harus berdebat untuk mempertahankan kita bukan hanya punya data yang kuat melainkan juga karena punya perhatian yang dalam.
Dulu majalah Tempo pernah mempunyai slogan yaitu Tempo, enak dibaca dan perlu. Maka apa salahnya kita mengulang slogan itu menjadi Tempe, enak dan perlu, perlu dilestarikan, dipelajari dan diteliti sehingga mampu menjadi produk unggulan kebanggaan kita untuk bersaing dengan produk kuliner global lainnya. Tapi sekali lagi itu juga kalau kita tak mau pasrah dan rela untuk terus mengunyah Kentucky fFried Chicken, Burger Mc D atau Pizza Hut.
Pondok Wiraguna, 25 Februari 2013
@yustinus_esha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar