3.18.2014

Pengawal


From: A.Syauqi Yahya

Pengawal

Sabtu, 15 Maret 2014 | 23:46 WIB

Putu Setia
Bung Karno hilang. Ketika diintip ke kamarnya sekitar pukul tujuh pagi, tak ada siapa pun di sana. Penjaga Istana Tampaksiring panik, pengawal pun juga bingung, ke mana presiden. I Gde Putu Riyasse selaku protokol pemerintah Bali-orang yang selalu mendampingi Bung Karno di Bali-menenangkan petugas. "Nanti saya cari, pasti tak jauh dari sini," kata Riyasse.
Seperti yang diduga, Riyasse menemukan Bung Karno minum kopi di warung kolam renang di bawah istana. Ia mengenakan pakaian tidur, piyama kedodoran tanpa kopiah. Ia asyik ngobrol dengan peminum kopi yang lain. Ketika Riyasse menjelaskan orang berpiyama itu adalah Bung Karno, seluruh orang yang ada di warung itu langsung bersimpuh hormat-dan terheran-heran. Riyasse lalu meminta Bung Karno kembali ke istana. "Masak Bapak enggak boleh ngobrol?" kata Bung Karno.
Kisah ini dituturkan Nyonya S. Riyasse dalam buku kecil In Memorium I Gde Putu Riyasse. Tak disebutkan kapan "insiden Tampaksiring" itu, tapi Putu Riyasse menjadi protokol pemda Bali 1958-1962. Masih banyak anekdot di sekitar Bung Karno yang direkam Nyonya Riyasse untuk mengenang almarhum suaminya yang meninggal dunia pada Januari 2002. Misalnya, ketika pengawal memaksa Bung Karno meninggalkan pesta pada saat dia asyik menari lenso. Bung Karno tunduk pada pengawal, tetapi ngedumel kepada Riyasse, "Masak Bapak tak boleh bersenang-senang."
Suatu kali Bung Karno ke Gallery Le Mayeur (kini Museum Ni Polok) hanya ditemani Riyasse dan Sabur. Bung Karno tertarik pada sebuah lukisan. "Bapak suka ini, ayo beli." Riyasse bertanya: "Siapa yang bayar?" Bung Karno bingung, tak ada yang membawa uang. Akhirnya tak jadi membeli. Penjaga galeri tak mengizinkan beli lukisan dengan berutang, ia tak tahu siapa peminat itu.
Yang hendak dikisahkan adalah presiden pertama republik ini ternyata suka blusukan dan itu sering dilakukan tanpa pengawalan-baik karena pengawalnya dilarang maupun dikecoh. Presiden dikawal ketat tentulah keharusan protokoler. Di era Bung Karno malah ada pasukan khusus Tjakrabirawa. Bahwa sesekali Bung Karno kesal dengan pengawalan ketat, itu juga sangat manusiawi.
Di era presiden selanjutnya, pasukan pengawal cukup disebut Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres). Kini ada tiga grup pasukan elite ini, Grup A untuk ring satu (paling dekat dengan presiden), ring B dan C yang lebih jauh. Wakil presiden pun dikawal dengan satuan ini. Begitu pula mantan presiden dan wakil presiden, juga mendapat pengawalan dari satuan ini, tentu disesuaikan dengan situasi. Namun belum lama ini Presiden SBY membentuk Grup D yang tugasnya khusus mengawal mantan presiden dan wakil presiden.
Kenapa para mantan yang sudah "bebas" ini harus dikawal dengan ketat, sampai membentuk grup baru? Barangkali sebagai penghormatan atas jasa para mantan itu, dan bentuk penghormatan ini diharapkan menimbulkan rasa aman. Tetapi Jusuf Kalla merasa tak perlu dikawal ketat. "Bikin susah ke restoran saja," katanya. Boleh jadi. Kalau pengawal ikut, makan apa tidak kikuk? Tapi, kalau tak diajak makan, apa manusiawi? Ke mana-mana kan ikut terus.
Bahwa grup baru ini dibentuk menjelang SBY menjadi mantan, mungkin kebetulan. Juga sebuah kebetulan kalau SBY memang suka dan mau dikawal ketat. Perilaku masing-masing mantan tentu beda, ada yang ingin bebas, ada yang masih takut bebas keluyuran. Kalau Jokowi memenangi pemilihan presiden nanti, apa yang dilakukannya? Apakah dia meniru Bung Karno, suka lepas dari pengawalan? Orang tahu kalau blusukan dijaga ketat, apalah artinya.

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar