3.27.2014

Kisah Koordinator



From: <syauqiyahya@gmail.com>

Kisah Koordinator Pengumpul Massa Kampanye  

TEMPO.CO, Jakarta - Tjao Tji Hu, 50 tahun, menyesap tehnya saat selesai mengatur puluhan warga yang dibawanya masuk ke dalam aula Gelanggang Olahraga Cendrawasih, Cengkareng, Jakarta Barat. Ahu, sapaan akrabnya, mengatakan 50 orang itu adalah warga Pekojan yang biasanya menghadiri kampanye-kampanye partai politik. "Mereka sudah biasa ikut kampanye, jadi tidak kaku lagi," kata Ahu kepada Tempo, Senin, 24 Maret 2014.

Ahu mengatakan sudah menjadi koordinator pengumpul massa sejak 1999 dan telah memiliki banyak rekan lewat profesi sampingannya itu. Tiap masa kampanye, ia akan berkoordinasi dengan teman-temannya untuk mengatur jadwal orang-orang yang akan ikut kampanye. Alasannya, biasanya seorang koordinator memiliki partai spesialisasi masing-masing. "Jadi, warganya tetap sama, tapi yang koordinator yang mengajaknya berbeda," katanya.

Ia mengatakan rekan koordinatornya biasanya memiliki pekerjaan utama selain menjadi koordinator. Sebab, upah sebagai pengumpul massa tak cukup. Ahu yang berprofesi sebagai distibutor popok bayi sekali pakai itu merincikan uang kampanye yang diterimanya biasanya bersisa Rp 200 ribu setelah dibagi ke simpatisan dan dikurangi uang transportasi. (Baca: Kampanye Caleg, Politik Uang Mulai Terendus)

Uang itu lebih sering digunakannya untuk menambal fasilitas umum, seperti pengasapan dan kebersihan di lingkungan tempat tinggalnya di Bandengan Utara III, RT 011 RW 012, Penjaringan, Jakarta Utara. Keputusan itu dipilihnya lantaran ia merupakan mantan pengurus RW di wilayah itu.

Namun ia tak menampik profesi koordinator massa kampanye juga menjadi tambang emas jika lobinya canggih. Ahu mengisahkan temannya yang menerima Rp 10 juta di luar tugasnya sebagai koordinator pada setiap masa kampanye dari seorang calon legislator asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Kalau diseriusin, sih, bisa ikut tajir juga," ujarnya. (Baca juga: Prabowo Kampanye Naik Kuda, Ahok: Kan Turunan Diponegoro)

Untuk setiap kampanye, biasanya Ahu menerima Rp 250 ribu sebagai uang transportasi untuk menyewa satu unit Mikrolet. Nilai tersebut akan lebih besar jika untuk kampanye akbar.

Ihwal upaya menyetir pilihan simpatisan, Ahu mengatakan warga yang hadir sebagai simpatisan tak memusingkan janji yang diumbar calon legislator yang sedang berkampanye. Menurut dia, masyarakat saat ini sudah sangat mumpuni menimbang caleg yang layak dipilih atau tidak. "Mereka cuma mau uangnya. Soal pilihan, sih, tak bisa diutak-atik," kata Ahu. (Baca: Golkar Sebut Pemilih di Desa Tak Kenal Jokowi dan Diserang Lawan Politik, Jokowi: Aku Rapopo)

LINDA HAIRANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar