3.31.2014

MEMBACA DAN MENULIS SEBAGAI MODUS PEMBERDAYAAN DIRI?: DARI BUKU "4 GINJAL DI TUBUHKU"


From: hernowo mengikatmakna 

MEMBACA DAN MENULIS SEBAGAI MODUS PEMBERDAYAAN DIRI?: DARI BUKU “4 GINJAL DI TUBUHKU”


Oleh Hernowo



 


“Aku belum tahu apa rahasia Tuhan di balik semua perjalanan sakitku selama empat tahun terakhir. Apa rahasia dari darah yang menetes setiap kali jarum ditusukkan ke atau dicabut dari tubuhku? Apa rahasia dari malam-malam yang membuatku tidak bisa tidur karena sesak dan gatal-gatal? Apa rahasia dari sedemikian banyaknya uang yang harus dihabiskan? Hanya Tuhan yang tahu seperti apa akhirnya nanti” (Basyrah Nasution, 4 Ginjal di Tubuhku: Syukur Meniti Garis Takdir, Qanita, Bandung, Cetakan I, Maret 2014,  halaman 139).


Aku membaca baris-baris kalimat di atas dengan gemetar. Aku dapat menangkap sekaligus merasakan kecemasan, ketakutan, kegalauan, dan ketidakberdayaan yang menjadi satu menggumpal dalam diri seorang manusia. Aku semakin dibawa ke tempat yang gelap dan tidak dapat aku ketahui sedang berada di mana, saat membaca tulisan Basyrah berikut ini, “Teman atau keluarga yang menjengukku, sering berkata, ‘Sakit Anda ini untuk menaikkan derajat Anda. Sabar sajalah. Yang lain mengatakan, ‘Anda orang terpilih untuk menjalani cobaan seperti ini.’ Tapi, aku harus jujur bahwa penderitaan yang kurasakan tidak semudah ucapan mereka.”


Basyrah menulis dua hal di atas dalam bab yang sungguh memberdayakan siapa saja yang sempat membaca, memahami, dan merenungkan dalam-dalam buku karyanya. Bab di buku4 Ginjal di Tubuhku tersebut berjudul sangat bagus dan sungguh memberdayakan. Judul itu begitu memberdayakan karena diilhami oleh sosok yang luar biasa, Nelson Mandela. Apa bunyi judul tersebut? “Penderitaan yang Tidak Membuatmu Mati, Akan Membuatmu Kuat”. Ya, setiap manusia tak mungkin lepas dari penderitaan. Hanya, seberapa hebat penderitaan yang dapat ditanggung manusia, kita tidak pernah mengetahuinya secara pasti. Begitu juga manusia bernama Basyrah Nasution.


Bab yang ditulis Basyrah mulai halaman 134 hingga 139 itu kemudian membawa saya menjumpai Prof. Dr. Fuad Hassan. Fuad Hassan, semasa hidupnya, pernah menjadi Mendikbud. Beliau menyukai filsafat (terutama filsafat eksistensialisme) dan sastra serta menulis buku-buku yang memiliki bahasa yang jernih dan tertata. Aku menyukai buku-buku karyanya. Salah satu buku yang ditulisnya berjudul Kita dan Kami. Buku ini, kalau tak salah, berasal dari disertasi doktoralnya. Menurut yang saya pahami secara selintas, kita dan kami adalah modus eksistensial atau mengada. Mengikuti beliau, ketika membaca 4 Ginjal di Tubuhku, aku ingin mengatakan di sini bahwa membaca dan menulis (bagi Basyrah) dapat dimaknai juga sebagai modus pemberdayaan diri.


Ya, jauh sebelum Basyrah di vonis gagal ginjal dan harus mengalami cangkok ginjal sebanyak dua kali—sehingga mengakibatkan ada empat ginjal di tubuhnya—Basyrah adalah teman diskusi (yang menggairahkan) tentang buku. Setiap kali ketemu, Basyrah dan diriku senantiasa bertukar kabar tentang buku yang kami baca. Setelah mengalami cangkok ginjal, rupanya kegemaran Basyrah membaca buku semakin meningkat. Setiap kali kami ketemu, Basyrah—dengan kegairahan yang terus meningkat—tak lupa menyampaikan buku-buku yang dibacanya. Buku—dan khususnya kegiatan membaca—telah mengatasi keterbatasan dirinya.


Tak berhenti di situ, Basyrah pun mulai mencoba menuliskan pengalamannya menderita gagal ginjal. Dia menumpahkan apa saja yang ada di dalam dirinya. Sebagaimana kita baca di awal tulisanku ini, secara jujur dia mengakui kelemahannya. Namun, ajaib, berkat kegiatan menulisnya itu Basyrah malah semakin berdaya. Tentu, kegemaran membacanya telah berhasil memberdayakan dirinya untuk menuliskan pengalamannya secara bermakna. Ingin kuakui bahwa buku 4 Ginjal di Tubuhku tak sekadar berisi tentang kisahnya tetapi juga, di balik itu, proses pemberdayaannya dalam menghadapi pelbagai cobaan yang mendera dan harus dihadapinya bersama keluarga.


Rupanya proses pemberdayaan yang dialaminya itu menular. Setidaknya, ada tiga orang yang dapat kusebut di sini, yaitu ibu, istri, dan adik Basyrah (yang merelakan satu ginjalnya untuk dicangkokkan ke tubuh Basyrah) yang menjadi berdaya dan kuat. Ini tentu luar biasa! Aku yakin bahwa lewat buku 4 Ginjal di Tubuhku, proses penularan tersebut tak berhenti hanya pada tiga orang. Sebuah buku akan membuat proses pemberdayaan dapat menjangkau kepada siapa saja dan di mana saja. Basyrah telah memberdayakan dirinya dan orang lain? Aku tidak tahu. Di sini, aku hanya ingin menutup tulisanku ini dengan mengutip persis tulisan Basyrah yang kuletakkan di paling atas dengan mengubah materinya—terkait dengan buku yang ditulisnya:


“Aku belum tahu apa rahasia Tuhan di balik keberhasilanku merekam pengalamanku semasa aku sakit dalam bentuk buku. Apa rahasia dari kesulitan dan kefrustrasianku dalam mengeluarkan pengalamanku ke layar laptopku? Apa rahasia dari malam-malam yang membuatku tidak bisa tidur karena memikirkan, ‘Apa yang dapat kutulis lagi? Apakah pengalamanku ini akan berharga bagi orang lain? Apakah nanti bukuku ada yang membaca?’ Hanya Tuhan yang tahu seperti apa akhirnya nanti….”[]


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar