3.18.2014

Mengenal Sejarah Seni Qiraat


From: Budiono

Mengenal Sejarah Seni Qiraat 

Sabtu, 15 Maret 2014, 12:41 WIB
Komentar : 0
Antara/Saiful Bahri
Membaca Alquran dengan qiraat (ilustrasi).
Membaca Alquran dengan qiraat (ilustrasi).

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Qiraat merupakan cara menjaga kemurnian Alquran.

Alquran adalah pegangan hidup bagi semua umat Muslim. Di dalamnya tersusun ayat-ayat suci yang berisikan tentang pedoman untuk meningkatkan iman. 

Tak hanya suci, ayat-ayat Alquran pun sangat indah. Apalagi, jika dilantunkan dengan lagu yang tepat untuk lebih terdengar merdu. Inilah yang disebut seni qiraat.

Salah satu ahli qiraat Muammar ZA mengatakan, qiraat artinya adalah membaca dengan indah. "Karena, keindahan suara lantunan Alquran bisa memperindah Alquran yang sudah indah," ujarnya..
 
Secara etimologi, qiraah merupakan mashdar dari kata kerja yang berarti membaca. Bentuk jamaknya yaitu qiraat. Qiraat muncul sebagai bentuk pemeliharaan kemurnian Alquran. Yang pertama kali melakukan qiraat adalah Rasulullah SAW. 

Bersama para sahabat, Rasulullah memelihara hafalan ayat-ayat suci Alquran dengan memperhatikan tafkhim (pensyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan nada), dan takhfif (penipisan nada). Satu hal lagi yang menjadi perhatian adalah lajnah (dialek).

Muammar mengatakan, dari zaman Nabi, umat Muslim sudah diperintahkan untuk membaca Alquran dengan suara yang indah. "Di zaman Nabi, para sahabat suaranya bagus-bagus," ujarnya bercerita.

Alquran, menurutnya, adalah bahasa Arab yang tertinggi, tidak bisa dibandingkan atau diubah. Tapi, agar lebih indah lagi saat didengar, melagukannya dengan benar perlu dilakukan. Ada hadis yang mengatakan, "Hiasi Alquran dengan suaramu yang bagus".

Mangun Budiyanto dalam makalah yang ditulisnya “Qiraat dalam Alquran” menyatakan, asal usul munculnya macam-macam qiraat adalah karena adanya sekelompok orang, para sahabat Nabi, yang berbeda di zaman Rasul menekuni bacaan (qiraat) Alquran, mengajarkan, dan mempelajarinya. 

Mereka selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad, kemudian menghafalkannya. Terkadang, mereka juga membacakan ayat-ayat itu di hadapan Rasulullah agar disimak.


Sebagian dari para sahabat ini menjadi guru. Orang-orang yang belajar qiraat kepada mereka meriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya dan mereka sering menghafalkan qiraat yang diriwayatkan dari seorang guru. 

Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa itu karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi. 

Dalam tulisan ini, satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, cara pembelajarannya harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghafalkan, dan meneruskannya pada muridnya.

Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa tulis baca dan belum mengenal cara menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara ini juga terus diikuti dalam masa-masa berikutnya.

Kelompok pertama para qori adalah dari kalangan sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar pada masa hidupnya. Mereka itu, antara lain, Usman, Ali, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari. Para sahabat ini kemudian meneruskan ilmu qiraat ini kepada seluruh kaum Muslimin untuk sama-sama menjaga keaslian Alquran.

Karena yang menghafalkannya bukan satu orang saja, sering terjadi perbedaan-perbedaan dalam lantunan nada dan cara membacanya. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran Islam masing-masing.

Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu 'Abbas dan riwayat Muslim dari Ubay bin Ka'ab menyatakan, memang kemudian qiraat ini muncul menjadi banyak ragamnya. 

Tapi, dengan adanya qiraat Alquran yang bermacam-macam tersebut (Sab'atu Ahruf), sebenarnya Allah bermaksud memberikan kemudahan bagi umat Islam yang tidak seluruhnya dapat membaca Alquran dengan sempurna. 

Kemudahan tersebut menunjukkan Islam dalam hal membaca Alquran dengan bahasa Arab tersebut, tidak memberikan beban yang berat bagi umatnya. 


Makin berkembang


Selain Mesir, Makkah juga menjadi kiblat dalam perkembangan seni qiraat. Baik Makkah maupun Mesir, mereka punya karakteristik tersendiri dalam lagu qiraatnya.

Di Makkah dikenal model lagu banjakah, hijaz, mayya, rakby, jiharkah, sikah, dan dukkah. Sedangkan, mishri, yaitu yang berkilbat di Mesir, ragam lagu yang ada, antara lain, bayyati, hijaz, shoba, rashd, jiharkah, sikah, dan nahawand.

Model lagu yang berasal dari Makkah atau yang disebut Makkawi lebih awal berkembang di Indonesia. Alasannya karena liriknya sederhana dan relatif datar. Kita masih bisa menemukannya ketika melakukan barzanji. 

Banyak pula muncul qari Indonesia yang ahli dalam lagu ini, antara lain, KH Arwani, KH Syaroni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma'mun, KH Muntaha, dan KH Azra'i  Abdurrauf.

Ketika banyak ulama dan para qari Mesir datang ke Indonesia, dimulailah perkembangan lagu model mishri. Pada 1960-an, Pemerintah Mesir mengirimkan banyak qari asli dari negaranya, seperti Syekh Abdul Basith Abdus Somad, Syekh Musthofa Ismail, Syekh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.

Animo umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu mishri ini sangat tinggi. Hal ini disebabkan karakter lagu mishri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan kondisi umat Islam di Indonesia yang lebih menyukai keragaman nada. 

Sejumlah qari yang menjadi ahli dalam lagu mishri, antara lain, KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma'mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.

Kedua model lagu tersebut masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama yang menimba ilmu di dua tempat bersejarah tersebut. Ketika pulang ke Tanah Air, tak hanya ilmu agama yang mereka kembangkan, tapi juga seni qiraat ini.

Umumnya, para pembaca Alquran dari Mesir membawa seni baca Alquran ke Indonesia. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang sering kali diperlombakan dalam acara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). 



--
Allahumma akhrijna min zulumatil wahmi wa akrimna binuril fahmi waftah ‘alaina bima’rifatika wa sahhil lana abwaba fadlika ya arhamar rahimiin.
“Ya Allah, keluarkanlah kami dari kegelapan prasangka, muliakanlah kami dari cahaya kepahaman, bukalah pengertian ilmu kepada kami dan bukalah untuk kami pintu-pintu anugerah-Mu, wahai Zat Yang Paling Penyayang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar