12.19.2013

Story


>
> Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
> terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
> dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
>
> Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
> sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima
> puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
> adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu
> di tangannya.
>
>
> "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
> terpaku, terlalu
> takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
> mengaku, jadi
> Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian
> berdua layak dipukul!"
> Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
> Tiba-tiba, adikku
> mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang
> melakukannya!"
>
> Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
> bertubi-tubi. Ayah begitu
> marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
> sampai Beliau kehabisan
> nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
> bata kami dan
> memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
> sekarang, hal memalukan
> apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...
> Kamu layak
> dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
>
> Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
> kami. Tubuhnya penuh
> dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
> setetes pun. Di
> pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
> meraung-raung.
> Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
> berkata, "Kak, jangan
> menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
>
> Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
> cukup keberanian
> untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
> insiden tersebut
> masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah
> akan lupa tampang
> adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku
> berusia 8 tahun. Aku
> berusia 11.
>
> Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
> lulus untuk masuk
> ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya
> diterima untuk
> masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah
> berjongkok di
> halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
> bungkus. Saya
> mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan
> hasil yang begitu
> baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air
> matanya yang mengalir
> dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin
> kita bisa membiayai
> keduanya sekaligus?"
>
> Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
> dan berkata,
> "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
> cukup membaca
> banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
> adikku pada
> wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
> keparat lemahnya?
> Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
> saya akan
> menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu
> kemudian ia
> mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
> uang. Aku menjulurkan
> tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
> membengkak, dan
> berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan
> sekolahnya; kalau
> tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
> kemiskinan ini." Aku,
> sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
> meneruskan ke universitas.
>
> Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
> adikku meninggalkan
> rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
> kacang yang sudah
> mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
> meninggalkan secarik
> kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
> tidaklah mudah. Saya
> akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
>
> Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
> dan menangis dengan
> air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,
> adikku berusia 17
> tahun. Aku 20.
>
> Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
> uang yang adikku
> hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
> lokasi konstruksi,
> aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
> Suatu hari, aku
> sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
> masuk dan
> memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu
> di luar sana!"
>
> Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
> berjalan keluar, dan
> melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
> tertutup debu semen dan
> pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang
> pada teman
> sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,
> tersenyum, "Lihat bagaimana
> penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka
> tahu saya adalah
> adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
>
> Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
> menyapu debu-debu
> dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
> kata-kataku, "Aku tidak
> perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun
> juga! Kamu adalah
> adikku bagaimana pun penampilanmu..."
>
> Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
> berbentuk kupu-kupu.
> Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
> "Saya melihat semua
> gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
> memiliki satu."
> Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
> menarik adikku ke
> dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,
> ia berusia 20. Aku 23.
>
> Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
> jendela yang pecah telah
> diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah
> pacarku pulang, aku
> menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu
> tidak perlu
> menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
> rumah kita!" Tetapi
> katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang
> pulang awal untuk
> membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka
> pada tangannya? Ia
> terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
>
> Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
> mukanya yang kurus,
> seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
> sedikit saleb pada
> lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
> menanyakannya.
> "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
> lokasi
> konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap
> waktu. Bahkan itu
> tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat
> itu ia berhenti.
> Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
> mengalir deras
> turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia
> 26.
>
> Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
> suamiku dan aku
> mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
> bersama kami, tetapi
> mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali
> meninggalkan dusun,
> mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku
> tidak setuju juga,
> mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
> menjaga ibu dan ayah
> di sini."
>
> Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
> adikku mendapatkan
> pekerjaan sebagai manajer pada departemen
> pemeliharaan. Tetapi adikku
> menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai
> bekerja sebagai pekerja
> reparasi.
>
> Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
> memperbaiki sebuah kabel,
> ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah
> sakit. Suamiku dan
> aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
> kakinya, saya
> menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
> Manajer tidak akan
> pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti
> ini. Lihat kamu
> sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak
> mau mendengar kami
> sebelumnya?"
>
> Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
> keputusannya.
> "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
> saya hampir tidak
> berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,
> berita seperti apa
> yang akan dikirimkan?"
>
> Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
> kata-kataku yang
> sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga
> karena aku!"
>
> "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
> tanganku. Tahun
> itu, ia berusia 26 dan aku 29.
>
> Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
> gadis petani dari
> dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
> perayaan itu
> bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati
> dan kasihi?" Tanpa
> bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
>
> Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
> kisah yang bahkan
> tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia
> berada pada dusun
> yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
> selama dua jam untuk
> pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya
> kehilangan satu
> dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari
> kepunyaannya. Ia
> hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
> Ketika kami tiba di
> rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
> begitu dingin sampai
> ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
> saya bersumpah,
> selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
> baik kepadanya."
>
> Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
> memalingkan perhatiannya
> kepadaku.
>
> Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
> "Dalam hidupku, orang
> yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan
> dalam kesempatan
> yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
> perayaan ini, air mata
> bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
>
>
> Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six
> times"
>
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar