12.25.2013

Ibu


Dari: "syauqiyahya"

> Ibu
>
> Sabtu, 21 Desember 2013 | 23:52 WIB
>
> Putu Setia
> Saya persembahkan tulisan ini dengan setulusnya kepada para ibu, dan perempuan-perempuan yang akan menjadi ibu. Begitu mulianya seorang ibu, bahkan ajaran agama menempatkan kaum ibu sebagai manusia yang terhormat. Jika kita ingin tahu di mana letak surga, maka kita harus sungkem kepada ibu. Dengan posisi sungkem itu, kita pun bisa melihat telapak kaki ibu. Nah, di sanalah surga.
> Surga tidak terletak di tubuh para lelaki. Surga dibawa ibu, tetapi tidak diletakkannya di dalam tas, meski mereknya Hermes. Tak pula di gelang berlian atau arloji yang harganya ratusan juta rupiah. Karena ibu membawa surga, ia harus membagi perhatiannya kepada suami, kepada anak dan cucu. Jika ada anak-anaknya yang setiap hari bersekolah melewati jembatan gantung yang bergoyang, ibu harus membangun jembatan yang kokoh, bukan mempersolek wajahnya. Ibu harus mengontrol perilaku suaminya agar bekerja dengan jujur, bukan malah mendorong suaminya untuk korupsi. Sang ibu harus sadar kehormatan keluarga begitu penting. Korupsi, pelan atau cepat, pasti berujung pada aib yang ditanggung seluruh keluarga. Apalagi jika sang ibu yang jadi pejabat dan melakukan korupsi, maka aibnya berkali lipat. Orang bersorak ketika ibu itu diangkut dengan mobil tahanan.
> Jika ibu hanya mengurusi rumah tangga, campur tangan ibu dalam pekerjaan sang suami, seharusnya juga melekat. Kenapa harus dibantah jika Ibu Negara ikut campur urusan kabinet yang jadi pekerjaan presiden? Tentu campur tangan itu tidak diobral di ruang kantor, karena tugas sudah dibagi-bagi. Campur tangan menjelang tidur malam, Ibu Negara berbisik kepada Presiden tentang kabinet dan urusan negeri, bukankah itu wajar? Saya sendiri menjelang tidur pernah dibisiki oleh ibunya anak-anak: "Sudah mulai tua, menulis yang bijak, jangan menghujat seperti dulu."
> Kalau misalnya Ibu Negara berbisik: "Mas, menteri itu sepertinya tak berpihak ke rakyat. Izin mal diobral, pasar rakyat tak dibangun. Menteri itu mengajarkan permusuhan, orang sembahyang saja dipersulit. Menteri itu kok suka benar impor hasil pertanian, memangnya kita tak punya tanah." Dan bisikan selebihnya. Bukankah itu pertanda ada perhatian? Tergantung kemudian sang presiden memilah, apakah itu bisikan malaikat atau bisikan setan. Jadi, tak ada gunanya membantah bertubi-tubi kalau ada tuduhan Ibu Negara ikut campur urusan presiden, karena bantahan itu justru terkesan menutupi sesuatu.
> Suami yang sukses karena ada istri perkasa di sampingnya, itu kata orang. Presiden yang sukses tentu karena ada Ibu Negara yang perkasa juga. Namun ada sukses yang negatif. Jika suami sukses melakukan korupsi, bisa jadi itu berkat istri yang perkasa, selalu merongrong suami dengan permintaan yang konsumtif. Lalu, ketika suami ditahan karena tertangkap tangan menerima suap, sang istri hanya bisa menangis sambil menutupi wajahnya dengan kerudung. Supaya tak menyesal berkepanjangan, jadilah istri yang mendorong suami untuk bersyukur dan menasihati suami kalau ada tanda-tanda melakukan perbuatan tak baik. Kalau suami membeli mobil dan rumah, tanya dari mana uangnya. Bukan minta jatah mobil lain.
> Istri yang mengantar keluarganya hidup di jalan penuh berkah, itulah ibu yang sejati. Ibu dengan predikat mulia. Bumi ini disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertiwi, karena ia menjadi sumber kehidupan. Sungguh laknat orang yang memperkosa Ibu Pertiwi, selaknat orang yang memperkosa perempuan sebagai calon ibu.
> Kita berutang karena lahir dari rahim ibu. Mari sungkem kepada ibu di hari Minggu ini. Kepada ibu yang mulia: Selamat Hari Ibu.
>
>
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar