10.10.2014

Tutup !




Kamis, 09/10/2014 11:35 WIB

Dolar Tembus Rp 12.000 dan Listrik Naik, 8 Pabrik Tekstil Pilih Tutup

Suhendra - detikFinance

Jakarta - Menguatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah hingga Rp 12.000/US$ dan kenaikan tarif listrik industri yang bertubi-tubi membuat beberapa pelaku usaha tekstil sektor pemintalan memilih setop produksi.

Catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), baru-baru ini sudah ada 8 pabrik pemintalan benang yang memutuskan menghentikan produksi, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah.

Ketua Umum API Ade Sudrajat mengaku sedih dengan kenyataan ini. Menurutnya, 8 pabrik tersebut memiliki tenaga kerja hingga 20.000 orang. Saat ini status para tenaga kerja ada yang sudah kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau hanya dirumahkan.

Sebanyak 8 pabrik tersesebut yaitu 1 pabrik di Tangerang (Banten), 2 pabrik di Bandung (Jawa Barat), 2 pabrik di Surabaya (Jawa Timur), 2 pabrik di Jawa Tengah mencakup Sragen dan Pekalongan, dan 1 pabrik di Pandaan (Jawa Timur).

"Bukan hanya dolar saja, tapi karena listrik yang naik. Terutama di industri pemintalan dan penenunan, ada 8 pabrik, berhenti dulu, mereka nunggu kebijakan pemerintah seperti apa. Mereka setop baru-baru ini, karena nggak masuk dalam hitungan bisnis mereka," kata Ade kepada detikFinance, Kamis (9/10/2014).

Ia mengatakan tarif listrik sangat berpengaruh dengan biaya produksi industri pemintalan, apalagi sebagian bahan baku masih harus diimpor seperti serat dan lainnya, yang rentan terhadap nilai tukar.

Ade mengungkapkan tarif listrik untuk industri di Indonesia sudah terlalu mahal hingga 10,5 sen dolar AS per kwh, padahal Vietnam dan Korsel hanya 6 sen dolar AS per kwh.

"PHK sudah pasti, sebagian dirumahkan, kita sudah kasih tahu ke pemerintah, tapi pemerintahnya pura-pura bego. Apalagi menterinya masuk KPK, mana mau urus dunia usaha," katanya.

Selain itu, Ade mengatakan alasan pabrikan pemintalan menghentikan produksi karena tak mau lagi menanggung beban kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2015. Bahkan beberapa organisasi buruh mendesak kenaikan UMP hingga 30%.

"Belum lagi risiko kenaikan UMP, mendingan berhenti saja lah. Saya sedih, ini bukan saya yang kurang gigih memperjuangkan," katanya.

Share: Twitter | Facebook | Email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar