10.21.2014

Fenomena Celana Dalam ......


From: <syauqiyahya@gmail.com>




Fenomena Celana Dalam dan Efek Jokowi

http://m.kompasiana.com/post/politik/2012/10/22/fenomena-celana-dalam-dan-efek-jokowi/

Oleh: Mohammad Faysal | 22 October 2012 | 16:45 WIB

Tak seorang pun yang tak mengenal celana dalam. Semua orang, terutama kaum hawa pasti mengerti apa itu celana dalam berikut fungsi dan peruntukannya. Tetapi keistimewaan celana dalam bukan karena wujud atau eksistensinya yang telah menjadi pengetahuan universal bagi hampir seluruh species manusia di muka bumi. Penampakan celana dalam menyimpan kekuatan yang akan sanggup meruntuhkan nalar sehat siapa saja.

Ketika anda bertemu dengan banyak orang seringkali secara tidak sengaja melihat guratan celana dalam dibalik balutan rok dan jeans ketat. Sajian pemandangan tak terduga yang akan membuat anda seketika membuang pandangan atau justru dengan gagah berani memelototinya karena dianggap sebagai satu tontonan langka sekaligus istimewa. Fantasi anda pun barangkali akan mulai bekerja diatas normal. Anda akan menebak warna, ukuran dan segala hal seputar celana dalam itu.

Celana dalam telah berubah menjadi teks saat anda berusaha membayangkannya (metakognisi). Anda akan melakukan interpretasi terhadap celana dalam. Tetapi ini tidak bisa anda lakukan dengan leluasa. Karena sistem sosial terlanjur menabukan pembicaraannya di ruang publik secara vulgar. Kuasa nilai, adat dan agama akan membatasi ruang gerak dan artikulasi interpretasi. Akhirnya fenomena celana dalam seperti lahir, dikenal dan kemudian tabu untuk dibicarakan.

Jokowi rupanya saat ini juga telah menjadi teks hidup yang dapat dilihat (persepsi) dan dibaca oleh siapapun. Hanya saja artikulasi interpretasi atas teks hidup ini rupanya tidak cukup mendapat ruang dalam realitas, persis seperti nasib celana dalam. Konteks sosial sedemikian rupa telah mengintimidasi pembacaan atas teks secara merdeka.

Resistensi dan romantisme kharisma yang diperagakan konteks demikian kuat memblocking setiap usaha interpretasi itu. Keadaan semacam ini sebenarnya tidaklah mencerminkan koeksistensi dan intoleransi terhadap pluralitas sosial. Pembacaan teks secara merdeka dipandang tabu namun disaat bersamaan justru mewacanakan transparansi.

Saya fikir situasi ini akan menjadi keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Terjadi proses pembusukan makna. Wacana dan diskursus yang mempengaruhi dan dipengaruhi realitas akhirnya menggumpal menjadi korpus tertutup dan berwatak eksklusif. Monopoli interpretasi wacana dengan jelas memperagakan absolutisasi tafsir akibat phobia, trauma dan disorientasi kehidupan sosial dan politik.

Disorientasi itu antara lain dapat dicermati dari kultus atas kharisma seorang pemimpin yang sebetulnya hanya diperlukan pada tahap awal (Gus Dur: 2010). Dalam proses selanjutnya kharisma tersebut perlu ditunjang dengan kemampuan berfikir strategis sebagai imbangan untuk menghadapi kehidupan yang serba baru dan berubah. Jadi jelas, kharisma saja tidak dapat menyelesaikan perubahan zaman kecuali mereka yang ingin terjebak pada romantisme.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar