10.20.2014

Takhta


From: A.Syauqi Yahya 



SENIN, 20 OKTOBER 2014

Takhta

Takhta kelihatan gilang-gemilang, tapi kekuasaan adalah sebuah dilema. Catatan tertua tentang itu agaknya bisa dibaca dari kisah Hakim Samuel.
Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bagaimana orang tua ini menyaksikan pengikutnya, bangsa Israel, mencoba memilih sebuah sistem politik yang lain setelah sebuah penyelewengan terjadi.
Mereka semula hidup bersama dengan dipimpin penghulu yang disebut "hakim-hakim". Samuel adalah hakim penghabisan. Ketika usianya makin lanjut, ia mengangkat dua anaknya yang lelaki menggantikannya. Tapi Yoel dan Abia ternyata mengecewakan. "Mereka mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan."
Mengetahui kejahatan itu, berkumpullah para pinisepuh. Mereka datang kepada Samuel di Rama, menyatakan niat untuk mencoba sebuah sistem yang lain: mereka tak ingin lagi dipimpin para hakim, mereka ingin menjadikan kebersamaan sosial-politik mereka sebuah kerajaan.
Mereka pun mengajukan semacam petisi kepada Samuel, orang yang mereka hormati tapi telah mengecewakan: "Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain."
Samuel kesal. Tapi ia tak menjawab. Ia mengutarakan isi hatinya kepada Tuhan dalam doa.
Yang menarik, dalam cerita ini, Tuhan menyatakan Ia tahu ada yang salah dalam permintaan bangsa Israel itu, tapi Ia tak hendak mencegahnya. Sebagaimana disebutkan dalam Alkitab, Tuhan mengeluarkan firman, menyuruh Samuel meluluskan permintaan itu. "Sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak. Mereka tidak menghendaki Aku lagi sebagai raja mereka."
Tak mudah, bahkan tak mungkin, menerka kenapa permintaan perubahan tata kekuasaan itu harus dikabulkan. Yang jelas Samuel, hakim tua itu, tahu bahwa hidup tak akan jadi lebih mudah.
Itu juga yang dikemukakannya, mungkin dengan sedikit gerutu, kepada orang-orang Israel itu: dengan diangkatnya seseorang jadi raja, penguasa ini akan punya hak memberi titah dan orang banyak harus tunduk. Raja itu akan memaksa anak-anak lelaki membajak ladangnya, mengumpulkan hasil panennya, membuat senjata-senjatanya dan perkakas kereta perangnya, sementara anak-anak perempuan akan dijadikan pembuat minyak wangi atau bekerja sebagai tukang masak dan tukang roti baginda. Hidup bersama yang sama rata sama rasa akan berakhir.
Bahkan juga kesetaraan dalam hak milik akan hilang. Raja akan mengambil 10 persen hasil gandum dan anggur yang dipanen dan akan diberikannya kepada para pegawai istana. Bahkan raja "akan mengambil budakmu, ternakmu yang terbaik, dan keledaimu…."
Betapapun kerasnya peringatan Samuel, bangsa Israel tetap mengangkat seorang raja dan tak lagi mengakui otoritas hakim. Mungkin mereka ingat (satu hal yang tak dikatakan pak tua itu) bahwa para hakim juga, seperti terbukti dengan Yoel dan Abia, tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-wenang.
Namun gagasan mereka untuk mengganti para hakim dengan raja-raja memang bukan sebuah reformasi yang radikal. Dalam sejarah bangsa Israel, bahkan Raja Daud (yang dalam tradisi Islam dianggap "nabi") terbukti melakukan hal-hal yang cela, hanya berbeda sekian derajat dari yang digambarkan Samuel.
Tapi mungkin malah sebelum Samuel, manusia selalu di persimpangan itu: kedaulatan, atau kekuasaan, yang dilambangkan dengan takhta, adalah keniscayaan yang tak membawa kepastian. Ia perlu didirikan. Tapi ia mencemaskan. Di luar tata dan takhta itu, selalu membayang sesuatu yang Entah.
Pertanyaan yang tak mudah dijawab: jika ada kesadaran seperti itu, mengapa orang tak kembali saja kepada Tuhan, yang menurut Alkitab pernah jadi "raja" mereka?
Dikatakan bahwa memang kontrak kekuasaan itu tak mereka perpanjang lagi. Bisa diduga karena bagi mereka Tuhan yang memberikan hukum adalah Tuhan yang tak terjangkau. Sejak mula, bahkan di depan Musa, Ia tak hendak memperlihatkan wajah-Nya. Orang banyak itu tak bisa bertanya, apalagi menggugat. Hukum Tuhan senantiasa hanya ditafsirkan orang-orang tertentu, yang andai kata lurus hati pun tetap memandang dunia dari seginya yang terbatas.
Dalam hubungan itu tampak bahwa takhta raja-raja-sebuah bangunan kekuasaan pasca-Tuhan-mengandung sebuah pengakuan yang tersirat: hukum para raja, yang selalu menghendaki pemaksaan, bukan datang bersama apa yang disebut Walter Benjamin sebagai "kekerasan ilahiat", göttliche Gewalt. Takhta raja-raja membawa serta "kekerasan mithologis", kekerasan untuk menegakkan hukum, sedangkan "kekerasan ilahiat" menghancurkan hukum-khususnya hukum yang dianggap berhala dan menuntut ketaatan kita. "Kekerasan mithologis" adalah ketika hukum yang dibangun manusia sendiri wibawanya ditopang pelbagai mithos buat menunjukkan ia adalah titisan Keadilan yang melintasi ruang dan waktu.
Pengakuan yang tersirat bahwa ia memang tak ada kaitannya dengan Tuhan membuka pintu bagi perjuangan keadilan. Pada akhirnya, keadilan adalah sesuatu yang dipergulatkan manusia di dunia yang rumit dan fana, bukan tertib yang dihadiahkan dari luar bumi.
Di dalam proses itu, takhta yang gilang-gemilang itu akan tampak seperti kursi di kedai. Posisinya ditentukan dari saat ke saat. Tak istimewa.

Goenawan Mohamad

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar