10.18.2014

Goyang Itik


From: <syauqiyahya@gmail.com>




Goyang Itik Bibir Politisi

Oleh: Yustinus Sapto Hardjanto | 20 May 2013 | 07:52 WIB

Adalah biasa seseorang memperhatikan perilaku orang lainnya. Untuk perilaku yang terpuji maka akan diberi apresiasi atau pujian, sementara untuk perilaku yang dianggap 'tak senonoh' akan diberikan kecaman. Tentu kita masih ingat dengan 'kebangkitan' Dangdut yang dimotori oleh Inul Daratista dan kawan-kawan lewat goyang yang kemudian disebut ngebor, ngecor, gergaji, patah-patah dan seterusnya.
Selain doyan bergoyang lidah, banyak orang rupanya juga mengandrungi goyang pantat berirama Dangdut. Mungkin semboyan mereka adalah biarkan kami bergoyang. Nah, Inul dan kawan-kawan yang kemudian banyak dikecam bahkan diancam untuk diboikot itu ternyata tak kekurangan pengemar. Barangkali banyak bapak-bapak yang berselisih paham dengan istrinya lantaran berbeda pandangan dalam membaca goyang Inul.
Wabah goyang pantat itu kemudian sampai pada titik yang dianggap membahayakan bangsa dan negara. Goyang ala Inul dan sederet pe-dangdut lainnya masuk wilayah politik yang berangkat dari jalur moralitas. Rhoma Irama, Raja Dangdut 'Abadi' adalah motornya, dimana dia memandang apa yang disajikan oleh Inul dan kawan-kawan bukan lagi merupakan seni, bukan tontonan yang bisa jadi tuntunan melainkan pembangkit syahwat.
Fenomena goyang ala Inul sebenarnya merupakan gejala kontemporer dalam budaya pop, yang datang silih berganti. Tak usah dikecam-kecam pada akhirnya akan hilang sendiri diganti dengan gaya lainnya. Pun demikian dengan para pengoyangnya yang lama-lama akan merasa capek juga kalau setiap malam harus beraksi di atas panggung.
Dan benar setelah regim goyang dangdut ala Inul dan kawan-kawan beringsut dari panggung dan layar kaca, dunia musik hiburan diisi oleh aksi kelompok band dan penyanyi rombongan dengan gaya Melayu hingga Korea. Dan disela-sela itu perlahan-lahan goyang Dangdut mulai menyembul, kembali menampakkan geliat lewat kemunculan Surkiani yang kemudian dikenal sebagai Sisca Gotik. Gotik adalah singkatan dari Goyang Itik, yang segera diikuti dengan kemunculan goyang-goyang lainnya.
Timbul tenggelamnya goyang Dangdut atas salah satu cara merupakan cermin dari dunia politik di Indonesia, yang goyang dan goncangannya juga timbul tenggelam seiring dengan siklus pergantian kekuasaan baik nasional, regional maupun lokal. Menjelang pemilihan umum biasanya tensi politik akan naik bukan karena insan politik giat dan aktif melakukan pendidikan politik sehingga ghirah politik masyarakat meningkat. Tensi politik naik karena syahwat politik para politisi yang disalurkan melalui goyang bibirnya.
Bagi para pe-dangdut goyang pantat adalah senjata, sementara bagi polisi goyang bibir adalah peluru untuk menaikkan popularitas diri maupun kelompoknya sekaligus menurunkan atau menghancurkan popularitas lawan-lawan politiknya.
Dilayar kaca dalam sebulan terakhir ini banyak dihiasi oleh goyang bibir politisi dari partai tertentu yang petingginya tersangkut kasus. Melalui seorang politisi seniornya yang juga seorang legislator ternama, disenandungkan 'serangan' yang mengarah bukan hanya ke KPK melainkan juga merembet ke kasus-kasus yang menimpa partai lainnya. Lagunya jelas yaitu agar partai dan tokohnya dipersepsikan oleh masyarakat luas sebagai yang 'didzolimi' .
Menjelang pemilu, menjadi yang 'didzolimi' dimata masyarakat akan membuat peluang untuk meraih simpati (suara) menjadi sangat besar. Maka skenario untuk menjadikan diri sebagai yang teraniya selalu dimainkan lewat aksi menjadikan masalah menjadi peluang. Caranya gampang saja, lewat aksi juru goyang bibir juru bicara, yang merangkai permainan kata, menebar duga bahwa kasus yang ditimpakan kepada mereka adalah sebuah rekayasa. Rekayasa untuk menjatuhkan atau modus persaingan kotor yang dilakukan oleh kelompok politik lainnya dengan cara meminjam tangan lembaga negara.
Kenapa ini dilakukan?. Melihat sejarah pemilihan di Indonesia, citra sebagai yang teraniaya memang ampuh untuk mendulang simpati publik. Kebanyakan pemilih di Indonesia bukanlah pemilih yang ideologis, sudah punya pilihan sejak awal. Pemilih di Indonesia adalah sekumpulan orang yang mudah iba hatinya, jatuh simpatinya kepada mereka-mereka yang dianggap menderita dan teraniaya. Kepada mereka inilah pemilih akan menjatuhkan pilihannya, memberikan suara yang akan menghibur lara mereka dengan sebuah kemenangan.
Dan goyang bibir yang paling terakhir muncul dari seorang aktor politik yang kerap menebar kontroversi melalui ucapan-ucapannya. Politisi yang juga legislator dari partai penguasa yang baru saja bernafas lega setelah digempur masalah setahun belakangan ini mulai menyerang 'The Rising Star", sosok non partai yang namanya disebut-sebut layak untuk masuk bursa calon presiden Indonesia pada pemilu 2014.
Bukan rahasia lagi kalau nama calon presiden dari pemilu ke pemilu hanya berkisar pada orang itu-itu juga. Ada sosok yang hingga sampai menjadi kakek dan nenek terus saja disebut sebagai calon presiden oleh partainya masing-masing. Seolah-olah di Indonesia hanya merekalah yang layak untuk masuk dalam daftar calon presiden dari pemilu ke pemilu. Munculnya nama baru dengan catatan yang relatif baik akan membahayakan calon-calon yang sudah establish. Atau nama calon baru lain namun mempunyai catatan yang kurang baik, punya ganjalan di masa lalu yang menjadi noda bagi perjalanan politiknya ketika hendak meraih kedudukan puncak.
Goyang bibir politisi yang selalu merapat ke partai penguasa ini kelewat seronok jika dibandingkan dengan goyang ngebor dan goyang itik. Dari sisi kepantasan kata dan kalimatnya, goyang bibir politisi ini lebih mirip goyangan para gadis pendamping tamu di ruang karaoke VIP yang telah dicekoki minuman berbotol-botol oleh tetamunya.
Sang politisi ini lupa bahwa setiap warganegara yang telah memenuhi persyaratan dasar mempunyai hak politik universal. Hak untuk memilih dan juga hak untuk dipilih. Hak yang melekat pada dirinya terlepas dari bidang pekerjaan atau profesi yang selama ini dijalaninya. Secara konstitusional tak ada larangan sedikitpun misalnya bagi seorang tukang becak atau tukang ojek untuk menjadi peserta pemilu, entah pemilu untuk memilih legislator maupun presiden, juga Gubernur, Bupati dan Walikota.
Maka mengatakan "Seorang tukang mebel tak pantas menjadi calon presiden" jelas-jelas merupakan goyang bibir yang lebih jorok dan seronok ketimbang goyang ngebor, ngecor dan goyang itik yang selama ini kerap dibilang mengelitik syahwat lelaki. Apakah memang begitu watak goyang bibir politisi menjelang pemilu?. Silahkan saudara-saudari sekalian memberikan penilaian sendiri.
Pondok Wiraguna, 20 Mei 2013
@yustinus_esha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar