10.20.2014

Memprihatinkan


From: <syauqiyahya@gmail.com>



"Polisi Lain"

Putu Setia

Polisi itu ada banyak. Paling terkenal adalah polisi lalu lintas, lantaran berkeliaran di jalan. Lalu ada polisi wanita, meskipun tak ada sebutan polisi lelaki. Ada polisi air dan polisi udara, tapi tak ada polisi darat. Adapun polisi pamong praja, ini bukan dalam struktur Kepolisian Negara.

Itu polisi yang resmi melindungi warga masyarakat. Ada polisi kiasan, yang tak digaji: polisi tidur. Itu juga melindungi warga masyarakat, agar pengendara motor dan mobil terhambat jalannya. Karena banyak anak kecil di sana. Dan yang belakangan marak dengan aksi-aksinya adalah "polisi lain". Saya sebut "polisi lain" karena tak memenuhi syarat dimasukkan ke kategori polisi yang sudah disebut duluan.

Teman menganjurkan istilah "polisi moral" atau "polisi agama" karena selalu mengatasnamakan moral dan ajaran agama. Saya tak setuju, karena aksi mereka bertentangan dengan etika, sopan santun, persaudaraan, yang jadi inti kemuliaan moral. Polisi agama? Tentu jauh panggang dari api. Agama mengajarkan kedamaian, bukan kekerasan. Lagi pula, bagaimana mungkin agama punya "polisi", karena ini urusan yang sangat pribadi antara seseorang dan Tuhan, yang dipuja sesuai dengan agamanya.

Saya tetap pakai "polisi lain". Sebutan polisi diberikan karena ulah kelompok ini bisa membubarkan forum diskusi, mengobrak-abrik tempat hiburan, berupaya menggagalkan sebuah konser, bahkan merusak tempat ibadah dengan alasan rumah Tuhan itu dimiliki "kaum sesat". Jelas ini melebihi tugas polisi negara. Polisi lalu lintas paling hanya berani memberi tahu seseorang yang sesat di jalan umum, bukan "sesat" di jalan memuja Tuhan.

Diskusi membedah buku Iman, Cinta dan Kebebasan yang menghadirkan penulisnya, Irshad Mandji, dibubarkan di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Yang membubarkan, massa Front Pembela Islam (FPI), dan polisi akur-akur saja. Diskusi serupa juga dibubarkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tatkala berlangsung di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta. Dalam kasus ini, FPI dan MMI saya masukkan sebagai "polisi lain". Jelas?

Seperti anak kecil di pedesaan yang takut kepada polisi, kita takut pula kepada "polisi lain" itu. Kalau Anda masih berani, kata "kita" akan saya cabut. Namun saya kira kita ketakutan. Rektor Universitas Gadjah Mada pun takut, sehingga ambil jalan aman, melarang diskusi yang menampilkan Irshad Mandji itu. Amit-amit, bagaimana mungkin sesuatu itu bisa meresahkan atau membahayakan moral kalau belum dipaparkan dalam diskusi? Saya belum membaca buku Mandji. Dari kutipan beberapa media, saya pun banyak tak sepaham dengan dia. Tapi apa hak saya membungkam dia, wong dia saja tak pernah membungkam saya?

Tapi, nyatanya, ketakutan itu sudah meluas, bahkan merasuk ke pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti diumumkan, FPI bertekad menggagalkan konser Lady Gaga yang akan digelar 3 Juni mendatang. FPI mengancam, kalau konser itu tetap digelar, mereka tak menjamin keamanan jika kerusuhan terjadi. Kalimat ini harus dibaca: merekalah yang bikin rusuh, bagaimana perusuh membikin aman.

Pimpinan MUI lalu berhitung. Kerusuhan bisa sejak di bandara, di jalan-jalan, atau di stadion tempat konser. Ketua MUI Bidang Seni dan Budaya, Cholil Ridwan, lalu berkesimpulan pembatalan Lady Gaga akan menguntungkan karena meniadakan pengeluaran negara akibat kerusuhan. Inilah logika pemikiran takut.

Saya kira SBY pun takut kepada "polisi lain" itu. Karenanya, saya berani bilang, prestasi SBY selama dua periode memerintah akan dinodai oleh kasus ini. Memprihatinkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar