2.21.2014

Tiba di "Ruang Kosong" Hunza Bersama Derita: India dan "Grand Overland Journey"-nya Agustinus Wibowo (4)


Dari: "hernowo mengikatmakna"

> Tiba di “Ruang Kosong” Hunza Bersama Derita: India dan “Grand Overland Journey”-nya Agustinus Wibowo (4)
>
> Oleh Hernowo
>
>  
>
>  
>
> “Perjalanan bukan hanya berpindah, tapi juga untuk berhenti. Di Hunza, di tengah perhentian, kebahagiaan kurasakan dari kehidupan yang begitu biasa, tak ada kisah-kisah petualangan hebat atau menantang. Kebahagiaan yang kurasakan ini sangatlah pribadi….”
>
> —Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 316
>
>  
>
> Agustinus menuju Pakistan dalam keadaan sakit. Dia terserang penyakit hepatitis ketika berada di Mumbai. Sebelumnya, di Rajasthan, dia sudah terserang diare—bukan diare biasa. Di India, sakit kuning atau hepatitis disebut jaundice. Akhirnya, Agustinus pun harus modok di Rumah Sakit (Gratis) Lady Hardinge, New Delhi. Ya, rumah sakit itu tak menarik biaya bagi pasiennya. India, memang, negeri yang penuh paradoks. Sebelum mondok, Agustinus sempat mengisahkan pengalamannya di Mumbai—khususnya ketika menginjakkan kakinya di Mahalaksmi.
>
>  
>
> “Aku datang ke Mumbai sebenarnya hanya demi mengunjungi Mahalaksmi, salah satuslum terbesar di kota ini. Aku rela melakukan perjalanan jauh-jauh ke sini hanya demi menonton kemiskinan. Aku adalah turis kemiskinan. Ironi? Tetapi bukankah kemiskinan itu adalah hal yang paling gamblang di India, juga di negaraku sendiri? Semua turis tentu melihat kemiskinan, tapi banyak orang yang lebih memilih untuk ‘melihat-namun-tidak-melihat’.”
>
>  
>
> Agustinus berbeda. Dia tak hanya melihat kemiskinan—dia bahkan mampu merasakan dan kemudian mengungkapkannya dengan menggetarkan. Foto-foto yang ditampilkan setelah halaman 236 membuktikan itu. Kisah perjalanannya di India pun dipenuhi dengan derita—baik derita di sekelilingnya maupun derita yang menimpanya secara pribadi. “Ada hal luar biasa tentang India. Sekali lagi tentang paradoks. Kemiskinan memang begitu akut, persaingan di tengah miliaran jiwa begitu ganas, tekanan sosial dan kasta pun sering kali di luar batas manusiawi, sehingga jutaan orang menjalani ‘hidup yang bukan hidup’.”
>
>  
>
> Sebelum bercerita tentang kemiskinan di India dan sebelum Agustinus terserang jaundice, dia memberitahukan kepadaku banyak hal tentang India. Misalnya, dia menulis “inilah India dengan kontras-kontras dahsyat yang saling bertabrakan” (halaman 266: tentang desa Bishnoi), “membaca kitab akbar India adalah bagaikan melihat lukisan Dewi Kali yang kejam namun cantik” dan “mengalami India adalah seperti menemukan harta karun kitab kuno di tumpukan barang usang di gudang” (halaman 267), serta—ini yang menggiriskan—“penderita hepatitis ada di mana-mana; saking banyaknya, sudah biasa” (halaman 281).
>
>  
>
> Setelah mengalami sakit kuning di India, Agustinus menapakkan kakinya di tanah Pakistan. Dia tiba di dusun terpencil Karimabad yang merupakan surga legendaris di pedalaman lembah Hunza, Pakistan Utara. Agustinus tiba di Hunza masih mengalami sakit yang parah. Dalam catatan perjalanannya, dia meyebut Hunza sebagai “ruang kosong”. Sebelum ke Hunza, sudah tujuh bulan dia mengembara ke pelbagai kota. Dia merasakan tujuh bulan perjalanannya itu hampa karena sudah menjelma menjadi rutinitas. Di Hunza-lah—sembari mengutip kata-kata filsuf China “kenikmatan hidup itu bagaikan ruang kosong dalam kamar”—Agustinus menemukan apa itu kebahagiaan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar