2.16.2014

Racun


Dari: "A.Syauqi Yahya"

> Racun
>
> Senin, 17 Februari 2014
>
> Bahasa datang, dan kemudian penghancuran. Kini orang bisa dengan mudah menulis atau membaca kata-kata yang agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal di Internet, terutama dalam Twitter. Mungkin semua itu hanya ekspresi tak matang dan gagah-gagahan anak muda. Tapi jangan-jangan tak selamanya "anak muda". Jangan-jangan ada sesuatu yang lebih serius.
> "Bahasa tak semata-mata menulis dan berpikir bagiku; ia juga makin lama makin mendikte perasaanku dan mengatur keseluruhan hidup rohaniku dan tanpa sadar aku menyerah sepenuhnya kepadanya. Dan apa yang terjadi jika bahasa yang diolah itu terbuat dari anasir yang beracun…?"
> Kata-kata itu ditulis diam-diam oleh Victor Klemperer di Jerman di bawah kekuasaan Nazi, antara tahun 1933 dan 1935, ketika kebencian adalah bagian dari hidup sosial-politik.
> Klemperer, guru besar sastra di Universitas Teknologi Dresden, mengalami sendiri bagaimana bahasa membubuhkan marka-marka ke jalan kematian. Dikerumuni pidato, poster, pers propaganda yang terus-menerus, orang Jerman hidup dalam bahasa yang akhirnya memisahkan mana yang Jerman (asli) dan yang bukan (Yahudi). Klemperer dicopot dari statusnya karena ia ada di bawah kata "Yahudi", dan ribuan orang lain masuk ke kamar gas.
> Catatan-catatan itu kemudian diterbitkan dengan judul LTI–Lingua Tertii Imperii: Notizbuch eines Philologen pada 1947 dan terbit dalam versi Inggris pada 2002. Petilan-petilannya menunjukkan bagaimana traumatisnya pengalaman Klemperer: "Kata-kata dapat seperti dosis-dosis kecil arsenikum: ditelan tanpa disadari, seakan-akan tak punya efek, dan kemudian sejenak lagi reaksi racunnya merasuk."
> Merasuknya arsenikum yang tanpa disadari itu yang agaknya menyebabkan tak mudah menganalisis bagaimana proses pembinasaan itu bekerja. "Aku sendiri tak pernah bisa mengerti," tulisnya, "bagaimana ia [Hitler], dengan suaranya yang tak merdu dan bising, dengan kalimat-kalimatnya yang kasar dan bentukannya bukan-Jerman…, bisa memikat orang banyak dengan pidato-pidatonya…."
> Barangkali orang banyak itu sedang membutuhkan suara yang tak merdu dan bising—bukan suara puisi Goethe atau Rilke. Atau mungkin manusia tak sepenuhnya, dan tak selalu, sadar bahwa kekerasan itu cocok baginya. Manusia hidup dalam yang disebut oleh Zizek (dengan sedikit berlebihan, seperti biasa) "rumah penyiksaan melalui bahasa", torture-­house of language. Sejak bayi, manusia dibentuk oleh makna kata yang ditentukan ayah-ibu, keluarga, masyarakat, dan Negara—dan tak bisa membebaskan diri sepenuhnya dari bentukan itu, meskipun dengan makna itu manusia berselisih.
> Atau tindas-menindas.
> Bagaimanapun, ada kekuasaan dalam bahasa. Dalam Alkitab dikisahkan bahwa Tuhan memberi mandat kepada Adam untuk memberi nama kepada hewan—dan sejak itu Adam berkuasa untuk, misalnya, memisahkan ulat dari kupu-kupu. Pemisahan akhirnya juga terjadi dengan label "Yahudi", "negro", "Eropa", "kiri", "kanan", "liberal", "kafir", dan lain-lain. Orang pun dikurung.
> Sebab bahasa selalu punya dorongan untuk menstabilkan makna. Kamus disusun dan batasan diteguhkan. Sekolah, mahkamah, dan polisi menegaskannya. Kekuasaan lahir dari ujung bedil, kata Mao Zedong. Tapi sebelum bedil dimaknai sebagai senjata yang bisa membunuh, tak akan ada kekuasaan.
> Bahkan bahasa bisa mematikan sebelum bedil ditodongkan.
> Mao sendiri menggunakannya dalam Revolusi Kebudayaan yang diledakkannya di seluruh Cina pada pertengahan 1960-an. Xing Lu, pengajar di DePaul University, menulis Rhetoric of the Chinese Cultural Revolution (2004): sebuah dokumentasi panjang tentang hubungan kata dan pembinasaan. Poster dengan huruf-huruf besar yang ditulis Pengawal Merah memuja-muja Mao sebagai "matahari yang paling merah dari yang termerah", tapi berisi makian, cercaan, kepada "musuh-musuh revolusi"—makin lama makin memekik, dengan nama-nama binatang: "despot-anjing", "ular", "babi"…. Kata-kata kotor dianggap jadi lambang militansi.
> Bahasa kekerasan itu, dalam catatan Xing Lu, berakhir dengan tindakan kekerasan. Pengawal Merah menyiksa dan membunuh kaum "kontrarevolusioner" di mana-mana. Ayah Xing Lu sendiri salah satu korbannya.
> Satu insiden yang menarik ialah ketika seseorang disekap dan dilarang berbicara selama berhari-hari. Begitu Revolusi Kebudayaan dihentikan oleh Mao, orang itu dibebaskan. Tapi selama berminggu-minggu ia bisu. Ia kehilangan bahasa.
> Sebab bahasa pada mulanya adalah proses pertemuan. Pertemuan: ketika engkau hadir bukan sebagai rupa yang telah dipipihkan jadi rata, melainkan wajah yang bisa berbicara, tersenyum, dan bersentuhan. Pengawal Merah tak berhadapan dengan wajah itu. Juga penulis kata-kata kebencian dalam Twitter. Mereka sebenarnya mengelak dari pertemuan apa pun, justru ketika mereka sibuk sepenuhnya dengan kata-kata.
> Hannah Arendt agak keliru ketika ia membedakan, bahkan mempertentangkan, kekuasaan dengan kekerasan. Bagi saya, senantiasa ada unsur kekerasan dalam kekuasaan. Tapi Arendt benar bahwa ada wilayah di mana kekerasan tercegah: kehidupan politik sebagai kehidupan dengan Vorhandensein von Anderen, hadirnya orang lain secara wajar dalam pertemuan.
> Itulah yang tak ada dalam amuk massa—juga tak ada ketika kita duduk memisah dari orang lain dan menulis di Twitter.
> Tapi hanya dalam pertemuan, racun dalam kata-kata bisa menemukan penangkalnya.
> Goenawan Mohamad
>
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar