2.25.2014

Mari berhutang

> *Berhutang
>
> Raksasa Google memutuskan membayar hutangnya dengan menerbitkan obligasi senilai 1 milyar dollar (setara hampir 12 triliun rupiah). Situasi ini menarik, karena sebenarnya Google punya kas kontan sebesar 60 milyar dollar (setara hampir 708 triliun rupiah). Kenapa Google tidak lunasi saja hutangnya dengan uang kas sendiri? Toh, dia punya uang sebanyak itu. Kenapa dia malah menerbitkan hutang baru (obligasi)? Alasannya sederhana: karena menerbitkan obligasi jauh lebih efisien untuk membayar hutang tersebut. Bunga obligasi juga bisa menjadi pengurang pajak, dibebankan. Sementara membayar dengan kas, akan mengurangi kemampuan ekspansif Google.
>
> Saya akan menyebut kondisi ini dengan istilah: ketika berhutang melampaui definisi berhutang itu sendiri. Dengan kata lain, berhutang tidak lagi ada korelasinya dengan butuh kas, lebih untuk strategi bisnis, mengurangi pajak, mengefisienkan sumber pendanaan, yang akhirnya meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Berhutang bukan sebuah kebutuhan, lebih karena strategi.
>
> Indonesia hingga per akhir Desember tahun lalu berhutang sebesar 264,1 milyar dollar (setara 3.000 triliun rupiah lebih); di bulan Desember itu saja, kita menambah hutang 3,8 milyar dollar (setara 44 triliun rupiah). Kenapa kita berhutang? Karena kita butuh uang tersebut untuk menambal anggaran belanja negara. Setiap bulan negara ini harus membayar belasan triliun untuk gaji pegawai pemerintah, puluhan triliun untuk subsidi BBM, juga pembanguna infratsruktur, dll.
>
> Saya akan menyebut kondisi ini dengan istilah: berhutang menjadi kebutuhan.
>
> Tapi sebenarnya, apakah bagi Indonesia berhutang itu sungguh kebutuhan? Apakah jika kita sepakat berhenti berhutang, maka roda pemerintahan akan terhenti? Saya tidak tahu jawaban persisnya. Semua orang akan punya pendapat masing2, dan saya yakin sekali: pejabat dan elit politik negeri ini, mana mau kita berhenti berhutang. Derasnya uang kas tunai mengalir ke roda pemerintahan, adalah sweetener menarik bagi mereka. Tidak akan ada orang berkuasa, tapi tidak ada uang yang bisa digunakan, bisa sakit gigi karena manyun.
>
> Dalam kehidupan keseharian, juga relevan pertanyaan apakah kita baik2 saja tanpa hutang? Lagi2 jawabannya banyak. Sebagai catatan, pertumbuhan kredit konsumen (mulai dari KPR/rumah, Kendaraan Bermotor, Kartu Kredit, dsbgnya), di Indonesia amat signifikan. Negeri ini adalah salah-satu pangsa pasar kartu kredit yang tumbuh menggemaskan. Besarnya jumlah penduduk, semakin banyaknya kelas menengah, maka bisnis berhutang menjadi menarik. Tentu saja, ada banyak kasus berhutang karena keperluan mendesak dan memang penting, seperti biaya pengobatan, biaya pendidikan, mengembangkan bisnis, dll.
>
> Saya tidak akan menyimpulkan tulisan ini; pun tidak akan berpolemik. Saya hanya simpel mengingatkan: Siapapun yang berhutang, akan menanggung kewajiban membayarnya. Gagal dia membayarnya, keluarganya yang repot pontang-panting. Harta benda disita, semua digadaikan untuk membayar hutang,
>
> Negara manapun yang berhutang, pun sama, akan menanggung kewajiban membayarnya. Dan ini jadi rumit sekali. Orang2 sekarang yang hobi berhutang, anak cucunya yang akan menanggung warisan. Dengan hutang 3.000 triliun lebih, dibagi rata ke seluruh penduduk, maka selamat buat bayi manapun yang lahir, kalian sudah langsung terbebani hutang 12,5 juta masing2--dengan fakta 30 juta penduduk negeri ini, penghasilannya hanya 10rb/hari, atau hanya 300rb per bulan. Itu sungguh menjadi situasi yang "adil".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar