2.22.2014

Merasakan Kehidupan Tanpa Matahari di Chapursan: India dan "Grand Overland Journey"-nya Agustinus Wibowo (5)


Dari: "hernowo mengikatmakna"

> Merasakan Kehidupan Tanpa Matahari di Chapursan: India dan “Grand Overland Journey”-nya Agustinus Wibowo (5)
>
> Oleh Hernowo
>
>  
>
>  
>
> “Itu adalah sebuah kebahagiaan tanpa syarat. Chapursan membuatku sadar bahwa kehangatan mentari itu begitu berharga, langit biru adalah karunia tak terhingga. Perjalanan mengajarkan musafir bersyukur untuk setiap tetes embun dan embusan napas, untuk setiap berkas sinar dan desau angin, ledakan tawa dan persahabatan….”
>
> —Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 324
>
>  
>
> Masihkah ada alasan untuk tidak berbahagia? Di “ruang kosong” Hunza, Agustinus mengajak kita—para pembaca bukunya—untuk merenungkan kebahagiaan. Aku dapat merasakan apa yang dirasakan Agustinus. Perjalanannya selama tujuh bulan sejak dari Ngari (di wilayah Tibet)—menyusuri kota-kota di Kathmandu, lantas menuju puncak tertinggi di dunia (Himalaya), dan menembus India—hingga ke Hunza (Pakistan) bukanlah wisata biasa. Persahabatannya dengan Lam Li, pengalaman tak enaknya di rumah Donchuk, hingga penghinaan terbesar yang dialaminya di sebuah losmen yang gelap di salah satu kota di India sebelum keberangkatannya ke Mumbai, merupakan petualangan batin yang luar biasa kaya.
>
>  
>
> Aku kesulitan untuk melukiskan secara lebih tepat kekayaan batin yang dimiliki Agustinus selama melakukan perjalanannya itu. Kesulitanku hampir sama dengan kesulitan merespons renungannya ketika dia berada di “ruang kosong” Hunza: “Kebahagiaan. Kata itu sungguh mudah diucapkan. Semua orang tahu apa artinya, dan selalu mendambanya. Kebahagiaan itu memabukkan. Sekali mencicipinya, kita akan berusaha mati-matian untuk mencarinya. Tapi semakin dicari, kebahagiaan rasanya semakin menjauh. Inilah awal penderitaan, karena orang yang dimabuk kebahagiaan akan terus terobsesi, terus mencari, terus kehausan, diliputi keserakahan untuk terus menenggak dan menimbun tanpa henti.”
>
>  
>
> Saat menuju Chapursan, sembari menjinjing kebahagiaan, Agustinus mengalami perjalanan yang tak biasa. Perjalanan itu bagaikan melintasi seutas benang tipis yang meliuk-liuk di bibir maut. Jalan berbatu selebar 4-5 meter, hanya cukup untuk satu mobil. Sesekali kerikil berjatuhan dari atas dan bergeletuk di atap mobil, mengingatkan maut bisa datang kapan saja. Di sisi satunya, jurang menganga curam, tegak lurus, diramaikan sungai deras yang menyanyikan simfoni kematian. Silap sedikit artinya maut. Jalan sempit berkelok dengan sudut lancip. Apa jadinya jika berpapasan dengan mbil lain dari arah berlawanan?
>
>  
>
> Apa yang sesungguhnya kau cari, Agustinus? Kebahagiaankah? Kebahagiaan sejatikah? Hanya kebahagiaankah? Ternyata, perjalanan yang penuh marabahaya itu merupakan bekal luar biasa untuk menuju perjalanan yang lebih menantang dan menggetarkan: Kashmir! Agustinus ingin menjadi relawan di daerah korban gempa. Menjadi relawan memang tujuan-utama Agustinus ke Pakistan. Di sanalah aku merasakan dia mendapatkan pengalaman luar biasa yang menjadikannya dapat memahami dan—ini yang menurutku dahsyat!—mengalami apa itu yang namanya kebahagiaan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar