2.06.2014

Analekta


Dari: "A.Syauqi Yahya"

> Analekta
>
> Senin, 03 Februari 2014
>
> Konghucu adalah kearifan yang ditularkan dengan kata-kata. Persoalan yang sering muncul: bagaimana kata-kata, betapapun dinyatakan sakti dan suci, tak akan berubah makna ketika bersentuhan dengan dunia yang tak sakti dan tak suci?
> Barangkali orang perlu mencoba mendengarkan diam—menyimak yang tak dikatakan.
> Sejarawan Annping Chin menulis dalam The Authentic Confucius: A Life of Thought and Politics (2007): "Konghucu tak ingin kata-katanya berakhir sebagai hukum." Sebab ia "mencintai seluruh perjalanan pribadinya buat menemukan apa yang benar dan mungkin dicapai di antara pelbagai variabel hidup".
> Sepanjang usianya yang 72 tahun, orang arif dengan jidat seperti gunuk itu menyadari apa yang berlangsung dalam dunianya penuh cacat. Ia hidup di masa ketika Cina dalam keadaan rusuh. Perang antar-kerajaan berkecamuk, dunia seakan-akan berubah jadi ajang kekerasan dan kerakusan. "Yang benar" dan "yang mungkin dicapai" terkadang tak bertaut.
> Apalagi ketika tatanan politik porak-poranda. Konghucu tak percaya hukum akan membuat kehidupan beres. Yang perlu dilakukan adalah menjalankan ritus. Saya tak yakin ia benar, tapi di abad lain, di dunia dan pengalaman yang lain, Montesquieu seakan-akan mengulanginya: "Bila satu kelompok manusia (un peuple) punya ideal moral bersama yang baik (bonnes mœrs), hukum akan jadi bersahaja."
> Tapi lebih penting dari itu adalah "perjalanan pribadi" untuk menemukan "yang benar" dan "yang mungkin dicapai".
> Yang tragis, perjalanan itu sering dihentikan oleh kekuasaan (dan klaim Kebenaran) yang merenggutkan apa yang pribadi.
> Maka dalam sejarah, Konghucu yang wafat 479 tahun sebelum tarikh Masehi itu datang, disingkirkan, didatangkan lagi, disingkirkan, didatangkan…. Sampai abad ke-21.
> Dalam hidupnya, Konghucu berjalan dari tempat ke tempat, yakin ia bertugas membereskan keadaan. Tapi tanpa formula, tanpa hukum. Dalam Analekta—kumpulan ucapan pendek, dialog, dan anekdot yang dihimpun para "murid"-nya selama kurang-lebih 75 tahun setelah Sang Guru wafat—kita akan menemukan sebuah proses usaha, ya, usaha, mengubah dunia.
> Ia melatih kader-kader yang berbakat, yang ulung, dan siap membereskan sebuah wilayah. Bila ia datang, ia biasanya diterima dengan hormat—tapi kemudian, setelah berhasil membereskan pemerintahan, intrik terjadi. Para pejabat istana merasa tersingkir. Mereka tak mau menerima. Suatu ketika di sebuah kerajaan sebuah siasat berhasil: para pejabat mengirim 80 perempuan cantik untuk Menteri yang bertugas melindungi Sang Guru. Ketika Pak Menteri tak muncul di kantor selama tiga hari, Konghucu dan murid-muridnya diusir.
> Ada yang mengatakan, ia tak disukai karena ia dianggap radikal. Ia menghujat penguasa yang menindas, yang ia gambarkan lebih buas ketimbang macan. Orang arif ini juga agaknya terlalu banyak mencerca. Laozi pernah mengatakan kepadanya: "Jangan berisik, jangan seperti orang memukul genderang untuk menemukan anak yang hilang."
> Tak mengherankan bila, dengan pelbagai alasan, ajarannya diharamkan. Sekitar 213 tahun sebelum Masehi, maharaja Cina pertama, untuk mengendalikan pengetahuan di bawah titahnya, membakar Analekta.
> Tapi seperti saya katakan di atas, Konghucu yang pernah disingkirkan juga pernah didatangkan lagi. Di bawah Wangsa Han, ajarannya jadi ideologi negara sampai sekitar dua ribu tahun kemudian. Menjelang pertengahan abad ke-20, Mao Zedong memutuskan lain. Ajaran Sang Guru diganyang. Di Qufu, di Provinsi Shandong, tempat kelahiran Konghucu, di awal "Revolusi Kebudayaan" yang gemuruh, Pengawal Merah setempat menyerbu Situs Tiga Kong yang dikeramatkan. Mula-mula gagal. Tiga bulan kemudian, November 1966, mereka berhasil. Makam Sang Guru dihancurkan sampai rata dengan tanah. Januari 1967, para petani merampok makam itu untuk mendapatkan harta terpendam.
> Namun Konghucu tak seterusnya absen. Mao mangkat, Republik Rakyat Cina-nya berubah total. Abad ke-21 datang bersama kapitalisme—tapi tanpa demokrasi. Para pemuda digebuk habis setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen, kekuasaan Partai dipulihkan. Tapi dengan perubahan.
> Sementara gelora politik dari bawah diredam dengan semangat untuk jadi kaya, Partai Komunis tak lagi menyebut diri "partai revolusioner". Marxisme-Leninisme dibisukan, dan Konghucu didatangkan lagi.
> Pada ulang tahun ke-2557 Sang Guru, yakni sewindu yang lalu, Negara membakukan gambar wajahnya: pak tua berparas lembut, dengan tangan tersilang di dada. Satu tradisi baru dimaklumkan: pasangan suami-istri memperbarui sumpah perkawinan di depan patung pak tua itu. "Harmoni itu hal yang mesti dimuliakan," Ketua Partai sudah mengutip kata-kata dalam Analekta.
> Kata-kata…. Pernah Konghucu menjawab, andai ia berkuasa, yang pertama sekali akan dilakukannya adalah "membenarkan nama-nama". Nama, atau kata, harus sesuai dengan apa yang disebutkan, demikian keyakinannya. Hanya dengan itu orang bisa bekerja.
> Tapi ia tentu tahu, nama dan kata bisa meleset menandai—dan meleset dimaknai. Setelah begitu banyak berpetuah dan mencerca, ia tentu tahu, ada hal-hal yang bisa terjadi dalam diam.
> Menjelang akhir hidupnya, ia bertanya kepada para muridnya: "Berbicarakah Langit? Toh empat musim susul-menyusul sesuai arah dan ratusan makhluk dilahirkan. Berbicarakah Langit?"
>
> Goenawan Mohamad
>
> --
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar