2.06.2014

Frekuensi televisi itu merupakan milik publik !


Dari: "A.Syauqi Yahya"

> KAMIS, 16 JANUARI 2014 | 22:35 WIB
>
> Selingkuh Partai dan Televisi
>
> Meroketnya elektabilitas Partai Golkar, NasDem, dan Partai Hanura merupakan fenomena menarik, tapi juga meresahkan. Sulit menyebut perubahan ini sebagai dinamika demokrasi yang sehat, karena partai itu kebetulan dipimpin oleh pemilik televisi. Mencorongnya pamor partai-partai itu diperkirakan akibat kampanye terselubung lewat media mereka sendiri.
> Pergeseran elektabilitas partai politik tergambar dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis beberapa waktu lalu. Perolehan suara Golkar mencapai 21,8 persen, PDIP 14,4 persen, Partai Demokrat 8,2 persen, Gerindra 11,1 persen, PPP 3,5 persen, PKB 5,8 persen, Hanura 6 persen, Partai NasDem 3,9 persen, dan PKS 2,7 persen. Hasil ini mengasumsikan Jokowi tidak dicalonkan oleh PDIP sebagai presiden.
> Betapa partai-partai yang dipimpin oleh bos televisi mendapatkan suara yang signifikan. Partai Hanura, yang dulu nyaris tak terdengar, kini mencorong. Orang tahu, partai yang didirikan mantan Panglima TNI Wiranto ini berhasil menggaet tokoh penting. Dialah Hary Tanoesoedibjo, pemilik jaringan televisi RCTI, Global, dan Sindo TV. Iklan Hanura membombardir pemirsa layar kaca nyaris setiap hari. Mereka juga membuat kuis bernama Win-HT, yang mengarahkan pemirsa memilih Wiranto-Harry Tanoesoedibjo sebagai calon presiden dan wakil presiden.
> Cara serupa juga dilakukan NasDem. Partai ini sangat diuntungkan oleh adanya Metro TV, yang dimiliki Surya Paloh, pendiri partai itu. Setiap kegiatan partai selalu tayang di TV itu. Golkar juga setali tiga uang. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie pun memanfaatkan TV One dan ANTV yang dimilikinya.
> Selingkuh partai dengan pemilik media ini berdampak semakin besar karena belakangan sejumlah partai ditimpa skandal korupsi. Sejumlah televisi terkesan mengeksploitasi hal ini secara berlebihan. Lantas, muncul tokoh-tokoh partai pemilik televisi lewat iklan atau siaran berita yang mencitrakan antikorupsi. Masyarakat seolah dibodohi karena selama ini beberapa tokoh itu tidak memiliki rekam jejak yang benar-benar bersih dari korupsi.
> Komisi Pemilihan Umum seharusnya membenahi hal ini. Jika ingin pemilu berlangsung adil, pembatasan iklan di televisi itu mutlak dilakukan. Televisi juga perlu diwajibkan menyediakan slot yang sama untuk kampanye semua partai. Frekuensi televisi itu merupakan milik publik yang dipinjamkan kepada stasiun televisi. Komisi Penyiaran Indonesia semestinya juga memberikan sanksi tegas bila pemilik televisi menyalahgunakannya untuk kepentingan politik.
> Rusaknya pamor beberapa partai politik karena sederet kasus korupsi yang menjerat kader mereka sebetulnya merupakan kabar baik. Ini berarti rakyat mulai pintar. Tapi jangan sampai pula masyarakat kembali salah memilih partai pol
>
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar