2.11.2014

Filosofi Kalachakra: "Pendongeng" Hebat Itu Bernama Agustinus Wibowo (3)


Dari: "hernowo mengikatmakna"

> Filosofi Kalachakra: “Pendongeng” Hebat Itu Bernama Agustinus Wibowo (3)
>
> Oleh Hernowo
>
>  
>
>  
>
> “Apakah kematian itu memang berupa kegelapan sempurna? Dingin yang tiada tara?”
>
> —Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 57
>
>  
>
> Bagaimana merasakan kematian, mungkinkah? Ketika perjalananku menyusuri halaman-halaman Titik Nol baru mencapai sekitar lima belas persen, aku sudah menemukan makna. Makna itu kutemukan ketika Agustinus mengisahkan tentang kedahsyatan filosofi “Roda Waktu”—kalachakra. Akhirnya, ketika kita mati kita takkan membawa apa-apa. Kita telanjang dan hanya dibungkus kain putih. Jasad kita disatukan dengan tanah. Tidak ada yang menemani kita. Ya, barang-barang yang kita kumpulkan selama hidup di dunia tidak ada yang dapat kita bawa.
>
>  
>
> “Seperti halnya perjalanan hidup kita yang juga diiringi perjuangan untuk menghasilkan karya-karya besar dan berbagai pencapaian, tetapi semuanya tetap akan kembali lagi pada kekosongan.” Ya kembali menjadi bulir pasir yang hampa. Sudahkah Anda mendengar kisah tentang kesenian lukisan pasir Tibet? Agustinus mengisahkan lukisan pasir itu dengan penuh greget. Para biksu menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk secara bersama menyelesaikan lukisan mandala raksasa yang sangat rumit di atas lantai.
>
>  
>
> Satu demi satu bulir pasir dicurahkan diiringi doa dan mantra. Satu orang saja kehilangan konsentrasi dalam sedetik, maka lukisan raksasa ini akan hancur berantakan. Satu embusan napas bisa mengacaukan semua hasil jerih payah. Begitu besar pengorbanan untuk menghasilkan sebuah karyatama. Tapi, karya agung ini tidak untuk bertahan lama. Begitu selesai, doa dibacakan, dan para biksu akan bersama menyapu lukisan pasir yang mereka buat berpenat-penat.
>
>  
>
>  
>
> Hasil kerja keras mereka, doa-doa mereka, curahan jiwa seni mereka, kembali lagi menjadi bulir-bulir pasir tanpa makna, hanya dalam seketika. “Itulah kalachakra, Roda Waktu,” tulis Agustinus di halaman 53. Dongeng Agustinus tentang kehampaan ini belum seberapa. Ada dongeng lain yang lebih menyengat! Dongeng itu tentang ziarah orang-orang Tibet. Ziarah bagi orang Tibet bukan lagi berjalan kaki. Para peziarah itu merayap. Mereka bersimpuh pada lutut, lalu sekujur tubuh telungkup. Dahi menempel ke tanah….
>
>  
>
> Aku mencoba membayangkan dan melakukan. Oh, betapa sulitnya! Itu belum seberapa. Coba perhatikan yang ini: Tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa, mengatupkan telapak tangan, lalu kembali tengkurap di tanah. Demikian seterusnya, maju selangkah, tengkurap, maju selangkah, tengkurap melintasi padang, bongkahan batu, bahkan menyeberangi sungai dingin.
>
>  
>
> Untuk apa? Untuk apa semua derita itu? “Ziarah bukan pembuktian diri. Bukan penaklukan tantangan. Bukan pula penyingkapan misteri. Tak ada kebanggaan pasca ziarah. Tak ada penginapan khusus dan kendaraan khusus. Tak ada gelar kehormatan istimewa di depan mata. Tak ada busana khas. Tak ada pula bonus. Mereka tak bicara tentang kenyamanan atau fasilitas plus.
>
>  
>
> “Mereka bukan untuk memecahkan rekor tercepat, bujet terminim, atau menjadi yang paling hardcore. Setelah perjuangan di garis batas hidup-mati, mereka kembali ke kampungnya. Sebagai orang biasa.” Dan coba Anda bayangkan: Lintasan ziarah mengelilingi Gunung suci Kailash panjangnya mencapai lima puluh empat kilometer, mendaki celah di puncak gunung sampai ketinggian 5.600 meter. Memulai ziarah di alam seperti itu berarti menandatangani sebuah kontrak mati. Itulah gambaran kehidupan yang sesungguhnya akan kita lalui.[]
>
>
> --
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar