2.11.2014

Pengakuan Telanjang Tim Sukses Caleg


Dari: <syauqiyahya@gmail.com>

> Pengakuan Telanjang Tim Sukses Caleg
>
> 
>
> Hendri
>
> 09 Feb 2014 | 01:38
>
> 
> Sumber: Ilustrasi Admin / Dok. Ajie Nugroho Kampret
>
> Malam masih belum beranjak ke penghujungnya ketika saya terhenyak ke sandaran kursi tempat saya duduk, benar-benar terkesima, setelah mendengar pengakuan jujur seorang kawan yang menjadi tim sukses Caleg DPRD Propinsi, tentang praktek-praktek yang dia dan timnya lakukan untuk pemenangan Sang Calon di Pemilu 2014 ini.
>
> Selepas Isya kemarin, saya memang kedatangan seorang kawan lama, sebut saja namanya Jono, yang maksud kedatangannya tentu minta dukungan saya untuk memilih client-nya di pemilu nanti. Setelah beberapa menit obrolan basa-basi, saya iseng bertanya bagaimana dia bisa menjadi tim sukses dan apa saja yang dilakukan oleh tim sukses untuk pemenangan calonnya?
>
> Pertama-tama Jono sedikit mengoreksi bahwa peran dia di tim sukses lebih tepat disebut sebagai "konsultan". Tugasnya adalah merancang strategi pemenangan pemilu meliputi strategi komunikasi caleg termasuk merancang atribut-atributnya, membentuk organisasi tim pemenangan sendiri diluar struktur organisasi partai, dan yang paling penting adalah menyusun program-program kerja tim sukses karena ini menyangkut pengeluaran dana.
>
> "Banyak caleg dalam kondisi panik karena pemilu tinggal 2 bulan lagi," ujar Jono santai. "Ini membuat caleg-caleg tersebut royal mengeluarkan uang berapa pun yang diminta tim sukses mereka. Kalau kita tidak karena semua pengeluaran sudah terprogram dan organisasi yang dibentuk memungkingkan realisasi pengeluaran menjadi lebih hemat dan tepat sasaran."
>
> Jono lalu bercerita bahwa program-program yang ia rancang selain pertemuan-pertemuan rutin juga mencakup program bantuan kepada masyarakat di daerah-daerah dimana realisasi penyalurannya dikontrol oleh koordinator daerah yang khusus digaji oleh si Caleg. Tujuan utamanya tentu untuk menarik simpati masyarakat.
>
> Terus terang saya agak sensitif dengan kata "bantuan" karena konotasinya yang mengarah pada "money politic" hingga secara refleks saya berusaha mengorek lebih bangak informasi tentang hal ini.
>
> Jono lalu bercerita bentuk bantuan bisa bermacam-macam sesuai kebutuhan masyarakat dengan nilai nominal yang menurutnya 'tidak seberapa'. Untuk nilai nominal melebihi jumlah tertentu, mereka meminta proposal dari masyarakat, misalnya renovasi mesjid, perbaikan jalan desa, dan lainnya.
>
> "Kami mengevaluasi semua proposal bantuan yang masuk," lanjut Jono lagi, "terutama anggaran biayanya, lalu cek data DPT untuk mengetahui kesesuaian jumlah mata pilih dengan anggaran tersebut. Persetujuan ada di tangan caleg, kalau rekomendasi kami disetujui maka proposal-proposal tersebut akan direalisasikan."
>
> "Semudah itu?" tanya saya penasaran.
>
> Jono menatap wajah saya sambil tersenyum; dia mengerti kemana arah pertanyaan itu.
>
> "Tentu kita akan menemui opinion leader-nya dulu untuk negosiasi. Biasanya langsung to the point, berani berapa suara dari jumlah mata pilih yang ada disana? Jika angkanya 'masuk' baru proposalnya direalisasikan."
>
> Jono lalu menjelaskan bahwa koordinator di daerah mereka lebih banyak fokus menggarap para opinion leader ini yang biasanya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat atau simpul-simpul massa untuk dilibatkan secara aktif guna mendulang perolehan suara masyarakat sebanyak-banyaknya. Mereka membuka peluang untuk 'bertransaksi' dalam bentuk barang (paket bantuan) maupun uang tunai.
>
> "Bayangkan, Hen," lanjutnya lagi, "ada satu daerah dengan seribuan jumlah mata pilih, kita sudah deal dengan hanya satu orang opinion leader disana." Jono kemudian menyebutkan nominal yang akan dibayar kepada opinion leader tersebut dengan hitungan per kepala, "dan dijanjikan minimal 90% suara akan masuk ke caleg kita."
>
> Saya agak terkejut mendengar pengakuan ini.
>
> "Kita tentunya sangat berhati-hati.., Deal seperti itu khusus untuk desa-desa di pelosok saja, tidak semuanya." Jono terlihat berusaha menetralisir suasana dan saya tahu dia bohong.
>
> "Bagaimana dengan hasilnya? Sesuai dengan yang dijanjikan?" Tanya saya lagi.
>
> "Nah, itu dia. Biasanya kita hanya bisa menekan opinion leader agar bisa menepati janji, bahkan kalau perlu pakai perjanjian hitam diatas putih. Tapi, tetap ada resiko, itu sudah kita kalkulasi, dan bagaimana pun kita tidak mungkin menuntut mereka kalau hasilnya tidak sesuai kesepakatan, bukan?"
>
> Saya hanya diam dan pikiran pun mulai menerawang jauh. Model pendekatan seperti ini memang akan lebih efektif buat caleg mendulang suara tanpa perlu secara terus-menerus bersosialisasi yang tentu saja menguras energi, waktu, dan biaya juga.
>
> "Terus, kita juga mengamati gerak-gerik caleg pesaing, hampir semuanya 'bermain' disini," lanjut Jono lagi. "Hanya, ada beberapa caleg yang menggunakan strategi berbeda."
>
> Jono lalu bercerita tentang seorang caleg yang membagi-bagikan voucher (semacam voucher belanja) kepada masyarakat. Voucher tersebut baru bisa ditukar dengan barang setelah pemilu legislatif, nah lho! Lain lagi kelakuan seorang caleg DPRD Kabupaten yang juga seorang pengusaha. Jauh sebelum pileg dia membeli banyak kambing lalu disebar kepada masyarakat untuk dipelihara. Bahasa celeg tersebut kepada mereka singkat dan jelas, "Jika saya terpilih menjadi anggota legislatif maka kambing tersebut jadi milik kalian, tapi jika saya gagal maka kita sedang berbisnis."
>
> Satu yang mengejukan saya adalah praktek-praktek bantuan dan bahkan jual-beli suara sekali pun sudah dianggap hal yang biasa bagi mereka. Masih terus terngiang di telinga kata-kata Jono saat melihat saya hanya terbengong-bengong dengan uraian panjang-lebarnya.
>
> "Sadarlah, Hendri.., kenyataan yang kita hadiapi sekarang adalah menghadapi pragmatisme sebagian besar golongan masyarakat."
>
> Ya. Jono benar. Masyarakat memang cenderung pragmatis dan susah menyalahkan sikap sebagian golongan masyarakat seperti itu. Kebanyakan dari masyarakat pragmatis ini justru tinggal di kantong-kantong pemukiman padat atau di desa-desa dengan tingkat penghasilan rata-rata Rp.100 ribu per hari bahkan kurang, dan jujur saja golongan inilah penghuni mayoritas penduduk Indonesia.
>
> Datang menghadiri sosialisasi untuk mendengar visi misi dan program kerja caleg sebanding dengan kehilangan potensi untuk mendapatkan penghasilan dengan besaran tersebut untuk makan anak istri mereka. Pragmatisme akan semakin meruncing jika para caleg justru memanfaatkan situasi ini dengan berlindung dibalik argumen mengganti biaya transpor dan uang makan untuk membayar kehadiran mereka saat sosialisasi. Cara berpikir yang makin sederhana; datang dibayar, nyoblos juga di bayar.
>
> Betapa besar tantangan yang dihadapi oleh KPU, Bawaslu dan perangkatnya, LSM, dan golongan masyarakat yang perduli, untuk mewujudkan pemilu yang bersih. Perjuangan memberantas money politic bukan hanya tentang regulasi dan penegakan aturan untuk membatasi ruang gerak para caleg melakukan praktek-praktek tersebut. Bahkan kampanye massive untuk menggiatkan anti money politic pun belum tentu cukup. Masalahnya, menghilangkan money politic sama dengan memerangi pragmatisme masyarakat yang ujung-ujungnya terkait erat dengan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
>
> Entah kapan Indonesia bisa seperti Amerika sebagaimana yang diutarakan Kasan Mulyono tentang cara penggalangan dana pemilu Obama (http://politik.kompasiana.com/2013/03/06/belajar-galang-dana-kampanye-ala-obama-539697.html ).
>
> Malangnya negeriku, betapa terjal dan berlikunya jalan untuk mewujudkan demokrasi yang ideal bagi kesejahteraan seluruh penduduk negeri ini.
>
> Dibaca : 1505 kali
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar