2.06.2014

Heteroglossia


Dari: "A.Syauqi Yahya"
> Heteroglossia
>
> Senin, 13 Januari 2014
>
> Di lantai pentas itu bisa ada rebana, suling dan ukulele, gambang dan wayang, gunungan dan kecrek, payung dan setandan pisang. Pernah ada balon yang sebenarnya kondom-kondom yang ditiup, tak jauh dari seonggok nasi tumpeng. Pernah ada dua benda yang dibungkus kain, dan sebuah struktur yang mirip pintu masjid, di sebelah sebuah tabung. Begitu banyak barang, masing-masing sepele dan tak jelas fungsinya.
> Tapi ada pesona.
> Di panggung, atau mungkin di lantai pentas, banyak hal bisa terjadi, sebab seorang dalang adalah seorang pesulap, dan Ki Dalang Slamet Gundono adalah pesulap yang tak tepermanai.
> Kini ia tak ada lagi di antara kita. Ia meninggal, Minggu, 5 Januari 2014, hanya sekitar lima hari setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Sukoharjo, dekat Surakarta. Saya sudah cemas ketika ia mengirim sandek ke telepon seluler saya pada 31 Desember 2013: "Mas Goen, saya sakit…. Kaki saya tak bisa jalan dan sakit luar biasa."
> Terakhir kali saya melihat ia di Teater Salihara: pementasan tanggal 16 November 2013 itu, yang dinantikan tamu dari pelbagai negara, tak selesai. Ia sudah tak sehat.
> Tapi orang tahu, ia luar biasa. Saya tak berhenti takjub bagaimana pesona itu bukan saja membuat pentasnya yang seakan-akan kacau itu jadi hidup-dan bagaimana ia, dengan warna lokal yang tebal, bisa menyentuh secara universal.
> Saya pernah menonton ia memainkan lakon Taliputra-Taliputri dengan gaya wayang klasik, mengenakan beskap hitam dan blangkon warna cokelat tua. Tapi ia lebih dikenal sebagai dalang dengan kostum yang ia rancang sendiri, dengan dadanya yang penuh lemak itu terbuka, memainkan "wayang suket", "wayang lindur", dan "wayang air"-pertunjukan yang dinamainya sendiri tanpa mencoba menjelaskannya sampai tuntas.
> Ia anti-batasan. Saya pernah menulis: Gundono adalah "teater tanpa definisi". Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah.
> Repertoarnya sering tak terduga. Ia menggubah satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Durga. Ia mampu memukau dengan kisah seorang kiai lokal yang melawan ulama yang berkuasa, tafsir atas Serat Cabolek karya Yasadipura I dari Keraton Surakarta abad ke-18. Di ketika lain, ia bergabung dengan teks Prancis terjemahan Elisabeth Inandiak atas satu fragmen Serat Centhini.
> Slamet Gundono adalah sebuah heteroglossia.
> Ketika Mikhail Bakhtin memperkenalkan kata ini, orang Rusia ini hendak menunjukkan keistimewaan bentuk novel dalam sastra. Novel adalah medium tempat pelbagai ragam bahasa bisa masuk, karena ia menampung percakapan sehari-hari: dialek daerah, bahasa khas satu kelompok sosial, bahasa dengan istilah profesional, bahasa birokrasi….
> Bakhtin berangkat dari pengamatannya tentang kehidupan verbal petani Rusia. Petani di pedalaman itu berbahasa Slavonik Gereja kepada Tuhannya, berbahasa dengan dialek lokal kepada anak-istrinya, dan mencoba meniru frasa pejabat kelas atas ketika mendiktekan sebuah permintaan kepada pemerintah setempat.
> Di Indonesia heteroglossia juga kita temui tiap kali-meskipun dengan sejarah sosial yang berbeda. Terutama dalam tradisi daerah. Ketika pepatah lama mengatakan bahwa "bahasa menunjukkan bangsa", yang dimaksudkan adalah hubungan bahasa dengan hierarki: tiap "bangsa"-lapisan sosial-akan menggunakan tata krama verbal yang sesuai.
> Saya ingat satu adegan dalam novel monumental Putu Wijaya, Putri: sang tokoh, perempuan muda lulusan Universitas Udayana, pada suatu ketika bertemu dengan tiga orang berkasta tinggi yang di kampus itu bekerja sebagai tukang parkir, pegawai kantin, dan pesuruh kantor. Putri-anak petani Meliling yang jadi abdi dari puri setempat-tetap menggunakan bahasa halus kepada mereka. Sapaan Putri "langsung menusuk ketiga orang itu". Mereka terkejut: "Hidup yang tambah keras membuat mereka terbiasa menerima segala bahasa…."
> Dan gadis itu pun sadar: bahasa "mungkin tak sengaja menjadi alat kekuasaan". Bahasa, kesimpulan Putri pula, "mencoba mengendalikan manusia dari dalam suaranya".
> Slamet Gundono lahir dan dibesarkan di Slawi, dekat Tegal, dengan bahasa yang sering diolok-olok orang Jawa Tengah yang lain, terutama dari kalangan priayi. Tapi Slamet juga anak seorang dalang yang tak asing dengan bahasa Jawa literer wayang kulit. Sumbangan besar Slamet Gundono di sini tampak: heteroglossia-nya menyingkirkan otoritas bahasa yang dirawat di rumah-rumah bangsawan. Dengan lancar, tanpa beban, ia masukkan ungkapan verbal orang Slawi yang biasa dipakai nelayan pantai utara. Di sana-sini, begawan Manikmayanya akan menggunakan kata nyong untuk "aku", kata nok untuk memanggil si upik.
> Heteroglossia Slamet, dengan demikian, bukan sekadar suara yang beragam. Ia mengandung perlawanan kelas yang dibisukan menghadapi kelas yang memonopoli wibawa dan ukuran keindahan. Kesenian Slamet Gundono bukan punya komitmen sosial dalam pesan-pesannya, tapi lebih dalam: dalam pilihan ekspresinya. Dan ia melakukannya tanpa berteriak karena semua wajar, tanpa kemarahan, sebab resistansi terbaik menghadapi wibawa yang kaku adalah humor….
> Ketika ia pergi di usia 47 tahun, yang tetap kembali adalah sumbangan itu, senyum itu, pesona itu.
> Goenawan Mohamad
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar