12.04.2014

Pamrih




Pamrih

Oleh: Bre Redana


Asketisisme (asceticism) memang istilah yang lumayan asing. Terlebih dalam kehidupan sehari-hari kini, di mana orang kian jauh dari kata yang mengandung pengertian berpantang dari kesenangan duniawi itu. Dunia kita makin dipenuhi pamrih. Pamrih kemudian dibalut manipulasi canggih seiring kemajuan zaman.


Manusia terdiri dari daging dan roh. Tak terhindarkan, karena gejala roh, terdapat kecenderungan manusia untuk mencari hal-hal yang sifatnya spiritualistik. Nah, dalam kecanggihan manipulasi terhadap pamrih tadi, muncul berbagai kursus pembangkitan motivasi seperti menjamur sekarang. Dalam hal ini, orang didorong untuk senang berkerja, seolah tanpa pamrih.


Cuma seolah, sebab pamrih duniawi tadi disembunyikan dengan berbagai tipu daya. Misalnya disembunyikan dengan istilah "sukses". Pengertian "sukses" sendiri ditunjukkan dari secara subtil sampai kampungan dengan kepemilikan atas rumah, mobil, dan sebagainya. Kalau dalam bahasa penampilan, ya seperlente dan sekenes penampilan umumnya para pemberi kursus motivasi, sebutannya: motivator (orang yang sinis menyebut "tukang jual abap").


Tak ada yang salah dengan itu semua. Kita semua semata-mata produk dari zaman yang mengukur segalanya dari capaian duniawi. Asketisisme—seperti disebutkan di atas—merupakan gejala yang kian asing, baik bagi masyarakat umum, para pemimpin, bahkan sampai ke para pemuka agama.


Politik pencitraan adalah contoh, bagian dari suatu usaha untuk memperoleh popularitas, kemasyhuran, dengan menyembunyikan pamrih di baliknya. Dibantu gadget dan media baru, banyak orang berlomba melakukan politik pencitraan. Siapa saja: pengusaha, seniman, sineas, pimpinan lembaga survei, politisi, dan lain-lain.


Yang paling banyak disorot umumnya memang Cuma para politisi. Media sendiri sering keblinger, mengira penampilan pemimpin di berbagai forum sebagai sangat penting. Soalnya dipuji banyak pihak, katanya. Kependulian atas komentar orang, adalah contoh kuatnya pamrih dalam politik pencitraan.


Karya berupa ciptaan lagu seorang pemimpin dipuja-puji luar biasa oleh pengikutnya—meski tak ada satu stasiun radio pun menyiarkannya. Kemudian juga digelar pertunjukan besar-besaran. Didasari pamrih masing-masing—berdasar kepentingan masing-masing pihak untuk mendapatkan sesuatu makin berkembanglah puja-puji.


Ada yang mengatakan, inilah momentum kebangkitan musik Indonesia. Inilah hebatnya kita, kata mereka. Tak ada di sunia dukungan sampai diwujudkan dengan pemimpin mengarang lagu seperti di sini. Pamrih membutakan pertimbangan jangka jauh ke depan bahwa hal seperti ini bisa jadi cemoohan sejarah di masa depan nanti.


Terbiasa dimanipulasi dan memanipulasi diri sendiri dengan pamrih, orang menjadi terkesima ketika melihat munculnya pemimpin dengan penampilan yang terkesan apa adanya. Pemimpin ini tak ganteng, tidak perlente, bahkan cenderung seperti abdi, kalau dalam pewayangan taruhlah seperti para punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Terbiasa dirundung manipulasi, orang terkesima terhadap sesuatu yang apa adanya, wajar-wajar saja.


Maka, terdengar istilah-istilah yang berhubungan denga harapan mesianistik—sesuatu yang berhubungan dengan Ratu Adil—misalnya istilah "satrio piningit". Padahal, dalam semua studi mengenai mesianisme, harapan akan munculnya Ratu Adil umumnya berujung pada kekecewaan. Kalau mau diucapkan secara terus terang, Ratu Adil adalah omong kosong.


Yang lebih masuk akal, pada era demokrasi, takhta sebenarnya di tangan rakyat. Dulu Hamengku Buwono IX dengan arif menyebut: takhta untuk rakyat.


Pemimpin yang siap bekerja tanpa pamrih adalah inspirasi bagi rakyat. Kita semua yang harus bekerja. Itu yang akan mengubah keadaan: sepi ing pamrih, rame ing gawe. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar