11.20.2013

Tidak Ada Orangtua Mana pun yang Mau Anaknya Menjadi Korban "Calon Bajingan"

Dari: "Daniel H.T."

>  
>
> http://hukum.kompasiana.com/2013/11/18/tidak-ada-orangtua-manapun-yang-mau-anaknya-menjadi-korban-calon-bajingan-610718.html
>
> Polisi menyita aneka macam senjata tajam dari siswa-siswa SMA yang hendak tawuran. Ini kriminal, bukan kenakalan remaja (Republika)
> Sudah lama saya merasa heran dengan tindakan polisi yang selalu membebaskan semua siswa SMA yang tawuran,  dan melakukan tindak kekerasan lainnya yang mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.Bahkan sampai melakukan tindakan penganiayaan sampai korbannya menderita luka-luka cukup parah pun, polisi tidak pernah melakukan penindakan hukum terhadap pelaku-pelakunya. Semua dikembalikan ke orangtuanya masing-masing disertai nasihat normatif, yang acapkali hanya membuat nasihat itu lewat dari kuping satu ke luar dari kuping yang lainnya. Alasan polisi selalu klise, kalau diproses hukum, dikenakan wajib lapor, atau ditahan, apalagi sampai mengikuti sidang pengadilan, nanti mengganggu proses belajar mereka. Padahal, kelak setelah dilepas, mereka sendirilah yang akan mengganggu proses belajar mereka, dengan melakukan hal-hal yang sama lagi.
> Nanti, kalau sampai jatuh korban jiwa tewas, barulah polisi sibuk mengejar pelakunya untuk ditangkap dan diproses hukum. Seperti dalam kasus tewasnya siswa SMAN 6 Bulungan, Jakarta, Alawy Yusianto Putra, pada September 2012 lalu. Tentu, polisi tidak perlu lagi menunggu jatuh korban jiwa berikutnya, baru mau memproses pelakunya secara hukum.
> Dari pihak sekolah pun biasanya hanya memanggil orangtua siswa-siswa SMA itu, diperingatkan dan diminta menandatangani surat pernyataan. Namun, seiring berlalunya waktu, aksi-aksi kekerasan dan tawuran antarasiswa pun terus terjadi. Ditangani oleh pihak polisi dan sekolah dengan cara yang sama pula. Sehingga dari tahun ke tahun fenomena ini sering terulang dengan  bak lingkaran setan saja. Masyarakat pun hanya bisa mengelus dada dan menahan geram.
> Padahal, aksi-aksi mereka itu sudah bukan tergolong kenakalan remaja lagi, tetapi murni kriminal. Tidak jarang dalam menjalankan aksinya itu pun para pelajar itu membawa berbagai macam senjata tajam, atau alat-alat lainnya yang dapat melukai lawannya, seperti pisau, clurit, rantai dan gir sepeda, gergaji, palu, dan lain-lain. Ditinjau dari usia para siswa itu (berusia 15-17 tahun) bisa diproses secara hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.  Mengenai risiko terganggu proses belajarnya adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh para siswa itu akibat dari perbuatan mereka itu.
> Sering terulang kasus-kasus kriminal yang dilakukan siswa-siswa itu dengan kualitasnya yang terus meningkat,  menunjukkan bahwa penanganan kasus-kasus seperti itu oleh polisi dan pihak sekolah selama ini tidak efektif, tidak pernah bisa menimbulkan efek jera bagi mereka.
> Membajak Bus Itu Bukan Murni Kenakalan Remaja
> Fenomena ini terulang lagi dalam kasus 36 siswa SMAN 46 Jakarta yang membajak bus Kopaja 615 jurusan Lebak Bulus - Tanah Abang, 17 Oktober lalu.
> Menurut keterangan polisi, 36 siswa SMAN 46 itu  ditambah 4 orang alumnus dari sekolah yang sama, pada 17 Oktober itu, membajak bus Kopaja itu di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lengkap dengan berbagai senjata tajamnya. Bus Kopaja itu dipaksa untuk menuju sebuah sekolah, yang rencananya akan diserang (tawuran), tetapi berkat keberanian sopir bus Kopaja yang mendadak membelok busnya ke dalam Mapolsek Metro Kebayoran Baru, aksi pembajakan itu bisa digagalkan, dan semua siswa itu ditangkap polisi.
> Polisi menunjukkan rantai dengan kepala gir sepeda yang dipakai siswa-siswa SMAN 46 pembajak bus Kopaja, 17 Oktober 2013 (Indosiar)
> Namun, seperti yang sudah-sudah, polisi seolah-olah tidak bisa membedakan antara kenakalan remaja dengan tindakan kriminal. Seolah-olah menurut polisi, aksi pembajakan bus itu hanya merupakan bagian dari kenakalan remaja biasa. Maka itu, setelah dinasihati, orangtuanya dipanggil, diperingati, disuruh tandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan hal yang sama, mereka semua dibebaskan, pulang ke rumah masing-masing. Selesai.
> Pembajakan bus seperti ini jelas bukan lagi murni kenakalan remaja, tetapi kriminal, meskipun di dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak seusia mereka disebut "kenakalan anak", namun tetap saja secara substantif apa yang mereka lakukan itu tetap saja suatu tindakan kejahatan/kriminal. Di dalam UU tersebut menyebutkan yang dimaksud dengan "Anak Nakal" adalah anak yang melakukan tindak pidana.  Ancaman hukumannya pun menurut UU tersebut bisa sampai pada tahapan pemenjaraan (anak).  Sehingga seharusnya, tidak ada halangan bagi polisi untuk menahan dan memproseskan hukum mereka semua sampai ke tahapan pengadilan anak. Sangat disayangkan polisi terus saja melakukan kesalahan demi kesalahan besar seperti ini. Akibatnya, tidak ada efek jera, tidak ada kepastian hukum, dan masyarakat akan terus setiap saat terancam dengan aksi-aksi kriminal serupa dari para siswa seperti mereka.
> Kesalahan penanganan kasus seperti ini terus berulang. Pihak SMAN 46, polisi, dan orangtua para siswa itu dikabarkan telah membuat kesepakatan bersama untuk tidak membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
> "Ada kesepakatan antara sekolah, orangtua, dan kepolisian, agar kasus tersebut tidak dibawa ke ranah hukum, tapi dibawa dan dikembalikan ke ranah pendidikan serta dihadapkan ke peraturan sekolah," kata Kadis Pendidikan DKI, Taufik Yudi.
> Menurut Taufik, alasan tidak mempidanakan para siswa yang membajak bus tersebut adalah karena bila dihadapkan pada proses hukum, maka anak-anak tersebut akan terganggu proses belajar-mengajarnya.
> "Mereka nanti diperiksa, bolak-balik kantor polisi, belum lagi menghadapi sidang, kan kasihan kalau sampai seperti itu. Sementara mereka berkewajiban untuk belajar," jelas Taufik (detik.com, Jumat, 15/11/13).
> Seperti yang saya katakan di atas, ini adalah cara penanganan kasus yang sangat salah dari polisi, yang terus diulang-ulang. Pembajakan bus, dan membawa senjata tajam adalah dua tindak pidana kejahatan (pidana berat), bukan tindak pidana pelanggaran (pidana ringan). Yang namanya tindak pidana berat seperti ini, secara hukum tidak ada yang namanya diselesaikan secara damai atau kekeluargaan. Ini juga bukan delik aduan. Boleh-boleh saja para pihak menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan di antara mereka sendiri, tetapi secara hukum, tidak ada yang namanya kompromi, atau diselesaikan dengan cara kesepakatan seperti ini. Apa pun yang terjadi polisi wajib memproses hukum kasus ini sampai tuntas di pengadilan. Kalau polisi tidak melakukan itu, berarti polisi tidak menjalankan kewajibannya dengan baik. Polisi harus diminta pertanggungjawabannya.
> Alasan tidak memproses hukum para siswa itu, seperti yang dikemukan oleh Kadis Pendidikan DKI Jakarta tersebut di atas juga merupakan bagian dari kesalahan besar penanganan kasus seperti ini yang terus diulang-ulang. Jika dikenakan wajib lapor ke kantor polisi, belum tentu proses belajar mereka terganggu. Kan bisa dijadwalkan setelah jam sekolah. Tetapi, kalau sampai ditahan, dan harus ikut sidang pengadilan, pasti proses belajar mereka terganggu. Apalagi kalau kelak hakim menjatuhkan vonis bersalah dan harus dipenjara. Tetapi itu adalah risiko yang memang harus ditanggung oleh para siswa itu akibat dari perbuatan mereka sendiri. Namun, saya yakin hakim juga tidak akan menjatuhkan vonis penjara, paling tinggi akan dikenakan hukuman percobaan. Artinya, dia tidak harus masuk penjara, tetapi jika dalam tempo tertentu dia mengulangi perbuatannya itu, barulah langsung dipenjara sesuai dengan vonis hakim itu.
> "Tidak Tahu Diuntung"
> Acungan jempol diberikan kepada pihak SMAN 46, yang kali ini bersikap tegas dengan, mengeluarkan siswa-siswa itu dari sekolahnya itu, karena dinilai sudah tidak layak lagi belajar di sana. Mereka difasilitasi untuk pindah ke sekolah lain. Sekolah mana yang akan mau menerima mereka, tergantung kebijaksanaan pihak sekolah itu, dan kelakuan para siswa itu sendiri. Kalau sampai tidak ada sekolah yang mau menerima mereka pun, karena takut akan membawa virus kriminal di sekolah itu, maka itu pun risiko yang harus dipikul oleh para siswa itu. Sekaligus menjadi peringatan keras dan diharapkan timbul efek jera bagi siswa-siswa sekolah lainnya. Tindakan tegas pihak sekolah yang mengeluarkan siswa-siswanya itu sudah sangat tepat. Cukup sudah toleransi-toleransi yang disertai nasihat-nasihat klise yang selalu mengiringi kasus-kasus kriminal siswa-siswa seperti ini.
> Tetapi, pihak orangtua siswa-siswa itu rupanya tidak terima anak-anak mereka dikeluarkan dari sekolahnya. Mereka berencana akan menggugat pihak SMAN 46 karena tindakan tegas sekolah tersebut.
> Ada orangtua dari siswa-siswa itu yang mengatakan, tidak seharusnya sekolah langsung menjatuhkan sanksi dikeluarkan dari sekolah seperti itu, tetapi harus ada peringatan pertama, peringatan kedua, dan peringatan ketiga. Kalau sampai tiga kali masih melanggar, barulah dikeluarkan dari sekolah (detik.com).
> Ini cara-cara mereka yang tidak bisa bersikap tegas, dan terlalu tolerir terhadap pelanggaran-pelanggaran. Kalau sifat pelanggaran itu hanya berupa kenakalan remaja, seperti berkelahi dengan tangan kosong, membuat keributan di kelas, dan lain-lain sejenisnya, itu masih bolehlah diterapkan sistem peringatan pertama sampai ketiga itu. Tetapi, kalau sudah merupakan tindakan kriminal, apakah masih masuk akal diterapkan sistem ini?
> Jadi, kalau siswa-siswa itu membajak bus, sekolah kasih peringatan pertama dulu. Kalau mereka masih membajak bus lagi, dikasih peringatan kedua, sampai tiga kali membajak bus, baru dikeluarkan dari sekolah? Konyol sekali, bukan?
> Lebih konyol lagi adalah pernyataan Satgas Perlindungan Anak M Ihsan. Dia protes Ahok yang mendukung tindakan tegas pihak SMAN 46 itu. Kata dia, ini pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah, dan Ahok tidak mengerti UU, yaitu, Pasal 49 UU Perlindungan Anak dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3 yang mewajibkan pemerintah memberikan pendidikan bagi siswa.
> Jadi, menurut dia apapun perbuatan siswa-siswa itu, membajak bus, mengancam dan menganiaya orang, pemerintah tetap wajib melindungi mereka, tidak boleh dihukum, dan tetap wajib menyediakan sekolah bagi mereka.? Sekolah Negeri yang anggarannya mendapat subsidi dari uang rakyat?
> Adanya UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menunjukkan bahwa proses hukum terhadap anak-anak pun diperlukan, terutama bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana serius seperti ini. Tentu, kita tidak harus menunggu sampai ada korban jiwa, baru mau menjalani proses hukumnya.
> Kalau yang begini bukan calon bajingan, dan tidak dikeluarkan dari sekolah, lalu apa menurut Ihsan (Solopos)
> Kalau ini bukan calon bajingan, lalu apa? (Antaranews.com)
> Kalau ini bukan calon bajingan, lalu apa? (merdeka.com)
> Kalau ini bukan calon bajingan, lalu apa? (Tempo.co)
> (berita8.com)
> Ahok menjawab tudingan Ihsan itu dengan mengatakan, pernyataan-pernyataan tegasnya yang mendukung penindakan tegas bagi para siswa itu, merupakan bentuk menegakkan undang-undang. Sebab, tugas negara adalah menegakkan UU dan peraturan dalam menciptakan kenyamanan dan ketertiban hidup masyarakat.
> "Untuk tertib, hanya dengan menegakkan UU dan aturan. Saya ini dalam rangka menegakkan UU supaya anda takut. Jadi kalau anak anda mukul orang sembarangan, tidak dihukum, itu namanya negara tidak ada UU. Jadi saya bilang, kalau mau ngetopitu cari yang lebih pinterlah!" (Liputan6.com).
> Bagi saya, sikap para orangtua itu tidak tepat, tidak proporsional. Kalau Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok, bilang para siswa itu kalau tidak didik secara benar akan menjadi calon bajingan, saya bilang, kalau para orangtua itu benar-benar melaksanakan rencananya untuk menggugat SMAN 46 itu, maka mereka sudah tergolong "tidak tahu diuntung!" Tidak bersyukur kalau anak-anak mereka itu tidak diproses hukum, malah mau menggugat pihak sekolah. Dan, tidak terima pula ketika Ahok mengingatkan mereka, supaya anak-anak itu harus dididik, sebab kalau tidak, anak-anak itu akan menjadi calon bajingan, malah marah. Padahal apa yang dikatakan Ahok itu adalah benar. Bagaimana kelak mereka tidak menjadi calon bajingan, kalau sudah melakukan tindakan kriminal seperti itu, dan tidak pernah dididik (secara benar).
> Tidak Ada Orangtua Manapun yang Mau Anaknya Menjadi Korban "Calon Bajingan"
> Karena ucapan  Ahok yang menggunakan sebutan "calon bajingan" itulah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Satgas Perlindungan Anak, M. Ihsan tidak terima dan marah. Bukan cuma marah, Ihsan bahkan bermaksud memperkarakan Ahok secara hukum atas ucapan Wagub DKI itu, yang dinilai sangat tak batas. Tidak ada orangtua manapun yang dapat menerima kalau anaknya disebut calon bajingan, katanya. Langkah awalnya untuk menindaklanjuti ucapan Ahok itu adalah melalui pengacaranya akan mengirim somasi kepada Ahok, menuntutnya minta maaf.
> "Saya kaget ketika membaca pernyataan Ahok sebagai Wagub DKI Jakarta, yang perlu diketahui bahwa tidak ada orangtua manapun dapat menerima kalau anaknya disebut calon bajingan oleh Ahok. Satgas PA melalui pengacara yang ditunjuk akan mengajukan somasi pada Ahok atas pernyataannya 'anak-anak calon bajingan'. Semoga menjadi 'efek jera' atau pembelajaran bagi Ahok untuk menjaga omongan karena posisinya sebagai pejabat publik akan melukai perasaan masyarakat," tegas Ihsan (detik.com).
> M. Ihsan harus juga tahu, orangtua yang tidak mau anaknya dikatakan bajingan, maka sebelum anak itu benar-benar menjadi bajingan, dia harus mendapat perhatian, pola asuh dan didikan yang benar. Pertama, dari orangtuanya sendiri, kedua dari sekolah, dan ketiga dari lingkungannya (pergaulan). Itulah yang sebetulnya yang ingin diingatkan Ahok kepada para orangtua yang anak-anaknya melakukan tindak kriminal membajak bus Kopaja itu.
> Sekarang kita tanyakan kepada Ihsan, orangtua mana yang mau anak-anaknya menjadi korban dari anak-anak "calon bajingan" itu? Siapa yang kelak mau menjadi korban dari siswa-siswa itu ketika nanti mereka menjadi bajingan benaran?
> Ayah korban tewas tawuran antarsiswa SMA di Jakarta, menangisi anaknya yang dimakamkan, 2012. Tidak ada orangtua yang mau anaknya menjadi korban seperti ini (detik.com)
> (Solopos)
> Hujan tangis di pusara sahabat yang tewas dalam tawuran (Solopos)
> Ahok bermaksud baik dengan memberi peringatan kepada para orangtua itu demi masa depan anak mereka itu sendiri. Anak-anak itu, masih sedemikian belia, sudah melakukan kejahatan serius. Mereka harus diberi perhatian lebih dengan pola asuh yang benar. Orangtua harus introspeksi diri, adakah yang salah dari mereka, kenapa anaknya menjadi seperti itu. Kalau itu semua diabaikan, besar kemungkinan mereka kelak menjadi penjahat, atau bajingan. Itulah yang mau diingatkan Ahok kepada para orangtua itu.
> Ihsan mengatakan dengan somasi itu dia bermaksud membuat Ahok jera dan sekaligus menjadi pembelajaran bagi Ahok supaya jaga itu mulutnya. Padahal, siswa-siswa pelaku kejahatan pembajakan bus itulah yang seharus diberi efek jera sekaligus pembelajaran bagi mereka supaya kapok, dan tidak lagi mengulangi perbuatan mereka, yakni, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka itu melalui jalur hukum sampai ke proses pengadilan. Cara ini juga akan menjadi peringatan bagi siswa-siswa lain yang mempunyai perilaku serupa.
> Pakar Psikologi Bilang, Ahok Benar
> Selama ini apa peran Satgas Perlindungan Anak setiap kali terjadi aksi kriminal (bukan kejahatan remaja), seperti tawuran dengan menggunakan berbahai senjata tajam, pembajakan bus, dan penyerangan orang lain dengan menggunakan air keras? Pelaku-pelaku remaja ini seharusnya diapakan? Apakah dielus-elus kepalanya sambil diberi nasihat, kemudian mencari-cari pembenaran untuk menangkis kritikan dari pihak ketiga? Itu namanya memanjakan dan memproteksikan anak. Orangtua yang memanjakan anaknya, apalagi memproteksi si anak (selalu membenarkan apa pun yang dilakukannya) adalah orangtua yang mengira dia sayang kepada anaknya itu, tetapi yang terjadi sesungguhnya dia sedang menjerumuskan si anak ke lembah kekelaman masa depannya.
> Orang tua yang benar-benar sayang kepada anaknya harus bisa (tega) untuk memberi hukuman yang pantas kepada anaknya kalau dia berbuat kesalahan. Kalau dia sampai berbuat kejahatan, dia juga harus mempertanggungjawabkan konsekuensinya. Termasuk sampai diproses di pengadilan.
> Hakim tentu juga akan memperhitungkan usia belia sang anak. Vonisnya pun bisa saja hanya hukuman percobaan. Namun dengan siswa-siswa itu mengalami proses pemeriksaan di kepolisian, di pengadilan, sampai divonis hakim, pasti itu sudah menimbulkan efek jera bagi mereka, dan contoh yang bagus bagi siswa-siswa lainnya, agar jangan berani lagi melakukan tindakan-tindakan yang sama. Semua konsekuensi ini harus diterima si anak. Dia harus mengerti, berani berbuat harus berani pula bertanggung jawab.
> Setahu saya mereka yang bekerja di Komisi Perlindungan Anak, termasuk di dalamnya Satgas Perlindungan Anak harus paham mengenai masalah-masalah psikologi seperti ini. Bukan asal namanya anak, apa pun yang dilakukan selalu harus dibela.
> Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menilai apa yang diucapkan Ahok adalah benar. Sekarang ini sudah banyak kasus pelajar yang sudah melebihi batas nakal. Jika tidak ada tindakan tegas, anak-anak tersebut bisa benar-benar menjadi bajingan.
> "Ahok benar, mengingat banyak kasus pelajar saat ini, dari video porno, tawuran, dan pembajakan. Maka sudah sepatutnya mereka (pelajar) diberi tindakan tegas. …  Pernyataan itu kan gaya Ahok. Itu gaya bahasa Ahok. Maksudnya benar," kata Hamdi di Jakarta (Liputan6.com,15/11/13).
> __,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar