11.11.2013

hanya mungkin terjadi bila semua pemegang kuasa mendayung pada arah yang sama.

Dari: "A.Syauqi Yahya"

> Macet
>
> Sabtu, 09 November 2013 | 23:40 WIB
>
> Toriq Hadad
> @thhadad
>
> Salah kalau dibilang Jakarta macet. Yang benar, Jakarta supermacet. Paling kurang, ya, luar biasa macet.
> Gubernur Jokowi ataupun Ahok, wakilnya, mungkin akan menuduh istilah ini lebai. Tapi memilih istilah yang tepat sama sulitnya dengan mencari jalan-jalan tikus Ibu Kota. Ambil contoh istilah "ramai lancar" atau "padat merayap" yang sering dipakai penyiar radio. Di jalanan, kecuali subuh buta atau lewat tengah malam, saya rasakan sama saja: hampir selalu penuh sesak, mobil dan motor sodok-menyodok, arus tertatih-tatih. Pengguna Twitter yang putus asa mandek di jalan kerap menuliskan begini: maceeeeettttt!!!
> Jakarta macet sudah biasa. Jakarta kosong itu baru berita. Soal usang ini dimuat media lagi setelah Presiden Yudhoyono tertusuk sindiran beberapa perdana menteri negara Asia Tenggara dalam pertemuan di Jakarta belum lama ini. Para petinggi negeri jiran itu mengeluhkan waktu dua jam dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Istana, juga solusi yang direncanakan pemerintah. Presiden merasa Gubernur Jakarta yang harus menjawab.
> Pernyataan Presiden normal saja. Hanya, kalau ia mau menahan pedih, ia bisa berkelit. Mobil bertambah banyak, motor apalagi. Penguasa Orde Baru dulu selalu menutup jalan beberapa lama sebelum tamu negara lewat. Tapi sekarang cukup dikawal voorrijder. Ekonomi membaik, perilaku penguasa berubah. Memang ada "ongkos"-nya, para tamu negara lebih lama menghabiskan waktu mencapai Istana.
> Tentang tertusuk itu, sebaiknya kita tak berdebat soal perasaan. Tak akan selesai. Presiden kita pencipta lagu, seorang seniman. Perasaan seniman memang gampang sendu.
> Anehnya, Jokowi, yang bukan seniman--meski penggemar musik cadas--ikut-ikutan tertusuk mendengar kabar dari Istana itu. Kandidat "calon presiden"--karena belum diumumkan resmi oleh partai PDI Perjuangan yang menyokongnya--mengatakan justru Pusat yang tak mendukung pengentasan kemacetan Ibu Kota. Ia menunjuk program mobil murah yang ditandatangani Presiden.
> Debat berkembang. Tapi tak ada solusi jitu dilontarkan. Beberapa politikus Partai Demokrat mendukung Presiden--tentu saja, tak mungkinlah mereka berseberangan. Pengamat politik berpandangan konspiratif: debat sengaja dibuat untuk mengurangi popularitas Jokowi--yang menolak undangan konvensi Partai Demokrat--sebagai calon presiden. Benar? Pasti salah, wong belum satu partai pun mencalonkan Jokowi.
> Dari waktu ke waktu, soal macet Jakarta dijawab dengan wacana. Padahal polemik minus solusi tak memperbaiki apa pun. Juga tak menyelamatkan Jakarta dari kerugian besar, yang ditaksir menelan lebih dari Rp 170 triliun setiap tahun. Dulu terdengar gagasan membangun megapolitan, tapi ternyata cuma wacana. Presiden Yudhoyono pernah membahas ide pemindahan ibu kota, yang ujung-ujungnya juga wacana. Jokowi ingin memberlakukan pelat nomor ganjil-genap, tapi ya itu tadi: sebatas rencana. Lumayan ia sudah memulai pembangunan subway, juga monorel.
> Tiga tahun lalu, Presiden Yudhoyono menugasi Wakil Presiden mengambil-alih soal kemacetan Jakarta. Wapres segera menyusun 17 langkah buat menangkal macet itu. Kalau faktanya sekarang Jakarta semakin macet, jangan-jangan program yang banyak itu juga belum beranjak dari wacana.
> Mencari solusi kemacetan Jakarta hanya mungkin terjadi bila semua pemegang kuasa mendayung pada arah yang sama. Bila tak kompak, seperti sekarang ini, kita hanya berputar-putar tanpa beranjak maju.
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar