11.18.2013

Tanda Tanya di Balik Langkah Pemerintah Menyelamatkan MK


Dari: "Daniel H.T."

>  
>
> http://politik.kompasiana.com/2013/11/17/tanda-tanya-di-balik-langkah-pemerintah-menyelamatkan-mahkamah-konstitusi-610325.html
>
> Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan ada tiga langkah yang harus dilakukan demi menyelamatkan MK (Harian Kompas, Sabtu, 16/11/13). Yang pertama, untuk sementara, secara fisik menempatkan polisi di ruang sidang guna mencegah kerusuhan serupa. Kedua, masyarakat harus bisa membangun opini bahwa tidak semua hakim MK terlibat korupsi. Masih banyak hakim MK yang bersih. Ketiga, penataan di dalam internal MK.
> Semua Berpulang kepada MK Itu Sendiri
> Langkah pertama yang disarankan Mahfud itu tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Menempatkan polisi di ruang sidang suatu pengadilan seperti MK adalah suatu ironi tersendiri. Orang bisa saja takut membuat kerusuhan karena ada polisi di sana, tetapi bisa juga semakin membuat masyarakat tidak percaya kepada MK. Mereka menganggap hakim-hakim MK itu tetap saja tidak bisa dipercaya, tetapi kini di-back-up oleh polisi supaya tidak ada yang berani protes dengan cara yang anarkis. Untungnya saran ini hanya bersifat sementara. Yang terpenting adalah internal MK-lah yang harus mampu mengembalikan rasa percaya masyarakat kepada mereka. Dan, dengan sendirinya, polisi tidak dibutuhkan hadir di ruang sidang.
> Dengan adanya rasa percaya yang tinggi, akan tercipta suatu kewibawaan. Adanya kewibawaan yang tinggi akan menimbulkan rasa segan dan hormat dari masyarakat. Bukan rasa takut.
> Rasa segan dan takut mempunyai makna yang sangat berbeda. Seseorang bisa saja ditakuti karena dia punya kekuasaan dan/atau kekayaan yang luar biasa. Tetapi, begitu dia kehilangan keduanya itu, hilang pula rasa takut orang kepadanya. Berbeda dengan rasa segan. Meskipun seseorang itu tidak mempunyai kekuasaan dan kekayaan (yang luar biasa), bahkan miskin, tetapi karena dia adalah sosok yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi (berkharisma), maka masyarakat akan segan dan menaruh rasa hormat kepadanya, bahkan sampai dia sudah meninggal dunia. Demikian halnya dengan sebuah institusi seperti MK, kalau dia sudah begitu dipercaya masyarakat karena hakim-hakimnya semua berintegritas tinggi, kehadiran polisi sama sekali tidak dibutuhkan. Selama polisi hadir di ruang sidang, selama itu pula menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada MK belum pulih.
> Langkah kedua yang disampaikan Mahfud MD tersebut di atas itu keliru. Bagaimana masyarakat yang diharuskan bisa membangun opini bahwa tidak semua hakim MK terlibat korupsi, kalau para hakim MK itu sendiri tidak mampu menunjukkan hal demikian? Seharusnya langkah ketiga itu menjadi langkah kedua, dan langkah kedua yang menjadi langkah ketiga.
> Langkah ketiga adalah penataan internal MK. Hal ini sebenarnya berkaitan erat dengan apa yang saya sebutkan di atas, yakni, mengenai sosok hakim-hakim MK yang bersih, jujur dan berintegritas tinggi. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau memang aslinya karakteristik sosok-sosok hakim MK itu adalah memang demikian. Tidak dibuat-buat. Apakah hakim-hakim MK yang sekarang aslinya memang mempunyai perilaku demikian?
> Pada akhirnya, semua berpulang juga kepada MK itu sendiri.
> MK Harus Steril dari Hakim MK Berlatar Belakang Politik?
> Selain tiga langkah yang diusulkan oleh Mahfud MD demi memperbaiki citra MK itu, ada lagi satu unsur yang acapkali diajukan oleh para pengamat. Yakni, mengenai MK yang harus steril dari hakim MK berlatar belakang politik.
> Pertimbangannya adalah hakim MK yang berasal dari parpol itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan jika mengadili suatu kasus sengketa Pemilu, yang salah satu pihaknya berasal atau didukung oleh parpol yang sama dengan parpol asal hakim MK itu.
> Presiden SBY rupanya mengakomodasikan usulan ini dengan tentunya terlebih dulu mendengar nasihat para pembantunya di bidang hukum. Di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK antara lain mengatur, seorang calon hakim MK harus tidak lagi menjadi kader parpol minimal 7 tahun ketika mengajukan diri sebagai calon hakim MK.
> Tapi, bagaimana dengan hakim MK asal pemerintah sendiri saat ini, yakni, Patrialis Akbar yang baru sekitar 2 tahun tidak aktif lagi di Partai Amanat Nasional (PAN)?
> Meskipun, Perppu itu menyebutkan waktu berlakunya sejak diundangkan, berarti tidak berlaku surut, namun, jelas semangat Perppu ini telah bertentangan dengan keberadaan Patrialis Akbar di MK. Demikian pula dengan Ketua MK yang baru, Hamdan Zoelva yang yang baru tiga tahun tidak aktif lagi di parpol-nya, Partai Bulan Bintang (PBB). Selain mereka, ada anggota hakim MK Harjono, yang berlatar belakang PDI-P. Jadi, saat ini ada tiga hakim dan Ketua MK yang berlatar belakang parpol, yang tidak sesuai dengan semangat yang terkandung di dalam Perppu tersebut.
> Dari sini dapat disimpulkan bahwa Presiden SBY tidak konsisten dan konsekuen dengan keputusannya sendiri. Di Perppu yang dibuatnya sendiri mensyaratkan tentang minimal 7 tahun tersebut, tetapi bersamaan dengan itu, dia membiarkan ada hakim MK dari pemerintah yang baru sekitar 2 tahun tidak aktif di parpol-nya, yakni, Patrialis Akbar. Kalau mau konsekuen, seharusnya tidak perlu menunggu sampai 2015 (masa berakhirnya masa jabatan hakim-hakim MK yang sekarang) untuk menarik kembali Patrialis Akbar dari MK.
> Dengan demikian kelihatanlah bahwa dicantumkan syarat tersebut hanya salah satu bentuk dari pencitraan agar dinilai mengakomodir suara masyarakat. Tetapi, dalam parkteknya, hal itu tidak diterapkan.
> DPR akan Menolak Syarat Minimal 7 Tahun Itu
> Syarat minimal 7 tahun tidak aktif di parpol itu, kemungkinan besar akan ditolak oleh DPR, ketika Perppu itu diajukan untuk mendapat persetujuan mereka. Karena, saya menduga,  DPR tidak akan sependapat dengan pemerintah mengenai ini. Bagi DPR latar belakang hakim MK yang berlatar belakang politik, tidak ada kaitannya dengan kualitasnya sebagai hakim MK. Termasuk dalam konflik kepentingan ketika harus menyidangkan suatu perkara, yang salah satu pihaknya se-parpol, atau didukung oleh parpol asal hakim MK tersebut.
> Mereka akan menyodorkan bukti-bukti dari argumennya itu bahwa selama ini MK punya cukup banyak hakim MK, tetapi mereka tidak terbukti berpihak kepada parpol-nya itu. Mantan Ketua MK, Mahfud MD akan dijadikan contoh bagus. Dia adalah sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua MK (2008 – 2013) dengan latar belakang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan sampai hari ini dikenal bersih.
> Kalau Akil Mochtar yang berlatar belakang Partai Golkar disodorkan sebagai contoh buruk hakim MK berlatar belakang parpol, DPR akan mematahkannya dengan argumen, kejahatan yang diduga dilakukan Akil itu tak ada kaitannya dengan parpol-nya (Golkar). Dia melakukan kejahatan itu demi kepentingan/memperkaya dirinya sendiri. Tergantung siapa yang berani bayar mahal, tidak perduli itu dari Golkar, atau bukan.
> Sedangkan Ketua MK yang sekarang, Hamdan Zoelva yang berlatar belakang PBB – sudah tiga tahun tidak aktif, belum terindikasi telah melenceng dari tugasnya selama menjadi hakim MK.
> Yusril Ihza Mahendra pun mempunyai argumen yang cukup kuat untuk menyatakan tidak masalah hakim MK, termasuk ketuanya berlatar belakang parpol. Justru, katanya, itu bagus. Dengan pernah aktif sebagai politikus dan punya pengalaman dengan berbagai masalah kenegaraan dengan rekam jejak yang bersih, orang itu layak disebut sebagai negarawan – salah satu syarat yang diajukan oleh UU MK, maka bisa diandalkan dia akan menjadi hakim MK yang kredibel.
> Dalam tulisannya di Kompasiana, dengan judul Negarawan, Yusril memberi kesaksiannya tentang hakim-hakim MK yang berlatar belakang parpol, tetapi tidak pernah berpihak kepada parpol-nya itu ketika mengadili suatu sengketa Pilkada.
> Yusril menulis:
> Hakim MK Palguna dan Harjono latar belakangnya PDIP, tapi dalam putusan Pilkada mereka tak memihak pihak berperkara dari PDIP;
> Hakim MK Ahmad Rustandi dulu pernah jadi anggota PPP, tapi saya tidak melihat dia memihak PPP dalam sengketa Pilkada;
> Hakim MK Muktie Fadjar dan Hamdan Zoelva pernah aktif di PBB, tapi PBB berkali-kali kalah di MK baik sengketa Pilkada maupun pengujian UU;
> Akil juga begitu, bagi Akil nampaknya yang penting adalah soal fulus, gak ada hubungannya dengan Golkar! Golkar bisa menang bisa kalah ditangan Akil, tergantung siapa yang bayar. Dugaannya begitu, gak ada urusan sama Golkar.
> Selama Hamdan pimpin sementara MK pasca panangkapan Akil, 3 kali saya ajukan perkara Pilkada ke MK. Pilgub Kalimantan Timur, Makassar dan Kubu Raya. Kaltim dan Makassar saya menang. Tapi Kubu Raya saya kalah. Jadi fair saja. Sampai Akil ditangkap saya kalah 7 kali, tak sekalipun menang.
> Walaupun saya Ketua Majelis Syura PBB, yang minta saya bela datang dari semua partai. Ada Golkar, PDIP, PD, PBB dan lain-lain. Bahkan, Ibu Mega dan Pak Abu Rizal Bakrie (ARB) beberapa kali minta saya membela pasangan calon Pilkada dari partai mereka. Sementara saya pernah membela orang melawan kandidat bupati yang didukung PBB di Kabupaten Morowali. Orang PBB itu kalah di MK.
> —
> Saya semula punya pikiran yang sama dengan para pengamat lainnya tentang hakim MK harus bebas dari orang parpol. Namun, setelah membaca artikel Yusril ini, pikiran saya menjadi lebih terbuka bahwa apa yang ditulis oleh Yusril itu adalah benar.
> Tetapi, saya tidak setuju kalau pembenaran Yusril itu berlaku juga untuk hakim MK yang masih menjadi kader aktif parpol. Bagaimana pun sangat sulit rasanya untuk bisa meyakinkan kita, kalau mereka akan tetap obyektif dalam menyidangkan suatu sengketa Pemilu yang salah satu pihaknya adalah berasal atau didukung oleh parpol-nya itu. Apalagi kalau itu menyangkut sengketa Pemilu Presiden.
> SBY Sebaiknya Mendengar Nasihat "Musuh Bebuyutannya"
> Dari pembahasan ini, kita menjadi sulit memahami latar belakang pertimbangan Presiden SBY  menambah syarat untuk menjadi hakim MK yang diatur di Perppu Nomor 1 Tahun 2013 itu, yakni minimal 7 tahun sudah tidak menjadi anggota suatu parpol ketika mengajukan diri sebagai calon hakim MK. Apakah karena menurut pertimbangan tersebut MK harus steril dari hakim MK berlatar belakang politik karena khawatir menimbulkan konflik kepentingan? Kalau ya, kenapa keberadaan hakim Konstitusi berlatar belakang parpol itu masih dibiarkan sampai sekarang, setidaknya kenapa Presiden tidak menarik kembali Patrialis Akbar yang dari PAN itu?
> Kalau bukan karena pertimbangan itu, lalu, apa? Bagaimana caranya menghitung sampai muncul angka 7 tahun itu, bukan misalnya 5 tahun, atau yang lainnya? Siapa yang berada di balik penyusunan Perppu ini? Jangan-jangan ada peranWamenhukham Denny Indrayana di baliknya, yang pernah dikatai Yusril, alur pikirannya tidak sehat?
> Kalau SBY sungguh-sungguh ingin MK selamat dari kehancurannya, sebaiknya dia mendengar kembali nasihat yang pernah disampaikan Yusril kepadanya.
> Meskipun Yusril adalah "musuh bebuyutan" SBY, tetapi tidak ada salahnya mendengar nasihat yang benar, daripada memaksakan diri mendengar nasihat bawahannya yang justru tidak pernah memecahkan masalah, tetapi malah terus menimbulkan masalah baru.
> Ketika Perppu itu diumumkan saja Wamenhukham Denny Indrayana sudah membuat masalah. Ketika itu dia mengedarkan naskah Perppu tersebut kepada  wartawan, yang kemudian ternyata berbeda dengan Perppu yang secara resmi diterima oleh Wakil Ketua MK ketika itu, Hamdan Zoelva, dan yang diumumkan di Lembaran Negara.
> Adanya dua versi Perppu itu jelas merupakan suatu kesalahan yang sangat serius, mengingat itu adalah perangkat hukum yang tidak bisa diubah-ubah begitu saja. Yusril pun sempat membuat satu artikel khusus untuk mematahkan alasan Denny tentang kenapa sampai adanya dua versi Perppu itu. Denny sampai hari ini tidak menjawab artikel Yusril tersebut.
> Di dalam artikel lainnya di Kompasiana, dengan judul MK dan Pemilukada, Yusril mengatakan sengketa Pilkada itu sudah keterlaluan banyaknya. Di tahun 2013 ini saja ada 177 sengketa Pilkada yang sebagian besar dibawa ke MK. MK yang hanya terdiri dari sembilan hakim itu sebenarnya sudah tidak sanggup lagi memeriksa dan memutuskannya secara efesien dan efektif. Karena menurut UU, MK harus sudah dapat memutuskan suatu sengketa dalam tempo 14 hari kerja, maka proses pengumpulan dan pemeriksaan bukti-bukti dan saksi-saksi pun terkesan asal-asalan, atau formalitas saja. Demikian juga dengan keputusannya, menimbulkan kesan mengejar tenggat waktu saja. Jika MK dipaksa terus untuk menangani sengketa-sengketa Pilkada itu, maka menurut Yusril,  cepat atau lambat kewibawaan MK itu akan runtuh binasa.
> Yusril mengusulkan agar kewenangan MK memeriksa sengketa Pilkada dicabut, dialihkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) setempat. Saat ini PT TUN hanya ada di Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Untuk keperluan itu Mahkamah Agung perlu segera menambah PT TUN – PT TUN di provinsi-provinsi lainnya. Untuk Pemilu, kewenangan MK hanya satu, yakni menangani sengketa Pemilu Presiden.
> Oleh karena itu Yusril merasa heran dengan SBY, kenapa momen Perppu itu tidak diisi dengan mengatur hal-hal yang betul-betul bersifat kegentingan memaksa seperti tentang kewenangan MK itu, tetapi malah diisi dengan ketentuan-ketentuan yang sebenar belum terlalu perlu diatur saat ini.
> Tapi, Yusril mungkin tidak perlu merasa heran, apabila ternyata orang di balik penyusunan Perppu itu adalah Denny Indrayana, karena toh, Yusril sendiri pernah bilang, alur pikiran Wamenhukham itu tidak sehat, sulit diikuti? Yang mungkin lebih patut dibuat bingung adalah kenapa SBY masih mau mendengar nasihat-nasihat hukumnya?
> Kita juga patut bingung, kenapa hakim-hakim MK sekarang ini juga diam saja mengenai kewenangan mereka memeriksa sengketa Pilkada yang sudah berjibun banyaknya itu? Kenapa mereka sendiri tidak pernah mengusulkan kepada Presiden agar meninjau kembali kewenangan MK menyidangkan perkara sengketa Pilkada itu? Kalau bukan karena suka, lalu karena apa? Kalau memang karena suka, kenapa suka?
> Langkah pemerintah untuk menyelamatkan MK ini lagi-lagi menimbulkan pertanyaan. ***
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar