1.21.2014

Krontjong Toegoe


Dari: "DioN Erbe"

> Krontjong Toegoe, Tafsir Jakarta Tenggelam
> Senin, 20 Januari 2014 | 15:21 WIB
> KOMPAS/IWAN SETIYAWANKelompok musik Krontjong Toegoe tampil dalam pentas malam apresiasi budaya "Krontjong Toegoe dari Masa ke Masa" di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (16/1/2014). Pentas ini sebagai bentuk apresiasi untuk musik keroncong yang kian terpinggirkan.
>
> LAGU-lagu Krontjong Toegoe mengalun di tengah hujan deras, Kamis (16/1/2014) malam, di Bentara Budaya Jakarta. Istilah "toegoe" atau "tugu" mengingatkan pada Prasasti Tugu yang ditemukan di Cilincing, Jakarta. Prasasti itu berujung pada tafsir, jika salah kelola, Jakarta bakal tenggelam seperti Kerajaan Tarumanagara di muara Sungai Citarum akibat banjir.
>
> Ketika kami membawakan keroncong dengan gaya tempo dulu, yang mendengar hanya opa-opa dan oma-oma. Maka kami membuat terobosan untuk menjaring pendengar baru dengan musik keroncong yang lebih segar dan produktif," ujar Andre Juan Michiels, pemimpin kelompok Krontjong Toegoe.
>
> Krontjong Toegoe memiliki sembilan personel. Kelompok ini generasi ketiga. Ayah Andre, Arend Juan Michiels, pemain generasi kedua dengan Grup Musik Krontjong Poesaka Moresko Toegoe.
>
> Penampilan Krontjong Toegoe di Bentara Budaya Jakarta merupakan bagian dari acara Apresiasi Budaya "Krontjong Toegoe dari Masa ke Masa", 16-17 Januari 2014. Acaranya, pameran, talkshow, dan pementasan.
>
> Krontjong Toegoe salah satu cikal bakal musik keroncong di Indonesia yang dirintis kaum Mardijkers. Ini adalah sebutan untuk orang-orang yang dibebaskan dari perbudakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
>
> Di kawasan rawa-rawa Cilincing, kaum Mardijkers membangun komunitas yang kini dikenal dengan nama "Kampoeng Toegoe" alias Kampung Tugu. Mereka memainkan musik di kala senggang dengan ukulele, yakni alat musik petik mirip gitar kecil berdawai lima. Jika alat musik ini dipetik, berbunyi "crong... crong... crong...".
>
> Pada perkembangannya, alat tersebut dimainkan bersama biola, gitar, rebana, mandolin, suling, cello, dan gendang.
>
> Andre mengatakan, keroncong generasi ayahnya, Arend, hanya membawakan lagu-lagu keroncong tempo dulu. Lagunya tanpa banyak aransemen baru.
>
> Andre mengenalkan keroncong kepada anak-anaknya sejak mereka berusia tujuh tahun, yang kini tergabung dalam Mardijkers Junior dengan para anggota berusia 13-19 tahun.
>
> "Berbeda dengan saya. Ketika di usia belia, justru ayah saya melarang menyentuh alat musik keroncong," kata Andre.
>
> Krontjong Toegoe merekam perubahan. Jalan lebar, sawah luas, pepohonan hijau, kini bersalin rupa menjadi perumahan. Kampung Tugu sejak lima tahun terakhir sudah menjadi langganan lokasi banjir.
>
> Merespons perubahan
>
> Respons terhadap perubahan lingkungan sekarang digubah menjadi lagu berjudul "Kampung Tugu". Albumnya akan segera dirilis.
>
> Juru bicara Ikatan Keluarga Besar Toegoe, Arthur J Michiels (40), mengatakan, lagu keroncong yang pertama di daerah Tugu, bahkan di Indonesia, adalah keroncong "Moresco". Keroncong Tugu mula-mula hanya dimainkan dengan gitar kecil Frorenga empat dawai, gitar Monica tiga dawai, dan gitar Jitera lima dawai.
>
> Dalam perkembangan selanjutnya, baik alat musik maupun jumlah pemain alat musik menjadi bertambah, yakni penggunaan alat musik lain seperti suling, gendang, rebana, mandolin, cello kempul, biola, dan triangle (besi segitiga). Lagu yang semula hanya empat buah, "Moresco", "Nina Bobo", "Founga", dan "Kafrinyo" bertambah dengan "Irama Stambul" dan "Irama Melayu".
>
> Tafsir Tarumanagara
>
> Krontjong Toegoe merepresentasikan Kampung Tugu, lokasi penemuan Prasasti Tugu. Sejak tahun 1911, prasasti yang terbuat dari batu kali lonjong itu disimpan di Museum Nasional dekat Monas, Jakarta.
>
> Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, menuturkan, Prasasti Tugu diperkirakan dibuat Raja Tarumanagara Purnawarman pada sekitar tahun 450 Masehi.
>
> Prasasti Tugu dengan lima baris kalimat berhuruf palawa menyingkap pembuatan kanal dari Sungai Candrabagha (Kali Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Cakung) sepanjang 11 kilometer. Diperkirakan pembuatan kanal itu memiliki dua tujuan, yaitu meredam banjir dan untuk irigasi pertanian.
>
> "Kanal yang dibuat dari Kali Gomati melintasi istana Tarumanagara sebelum menuju laut," kata Hasan.
>
> Pembuatan kanal ini menunjukkan upaya atau teknologi menghadapi banjir di Tarumanagara waktu itu. Ini sekaligus menyingkap tafsir bahwa kehancuran Tarumanagara di pantai utara juga akibat banjir dari luapan Sungai Citarum.
>
> "Tarumanagara hancur oleh luapan banjir Sungai Citarum meski sudah ada teknologi kanal," ujar Hasan.
>
> Hasan menunjuk beberapa lokasi di Jakarta seperti di Pasar Ikan dan Museum Bahari. Dari hasil penggalian untuk risetnya, ditemukan tanah asli terpendam sampai setengah meter lebih.
>
> Jakarta juga menjadi muara sungai-sungai. Tumpukan sedimentasi sungai meninggikan permukaan sungai. Menurut Hasan, dari sejarah Tarumanagara bisa diambil pelajaran berharga upaya mempertahankan suatu wilayah dari ancaman bencana banjir.
>
> "Jika salah kelola, Jakarta bisa bernasib seperti Tarumagara," kata Hasan.(Dwi As Setianingsih dan Nawa Tunggal)
>
> --
> Powered by Telkom SPEEDY® ~hening kasuciayaning Allah~
> http://jofania.wordpress.com
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar