11.10.2014

politics and morality ?


Dari: <syauqiyahya@gmail.com>

> Senin, 10/11/2014 10:42 WIB
>
> Kolom
>
> Menjegal Langkah Ahok
>
> Refly Harun - detikNews
>
> Jakarta - The people who treat politics and morality separately will never understand either of them - Jean Jacques Rousseau, 1762
>
> Langkah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menduduki singgasana yang ditinggalkan Jokow Widodo (Jokowi) masih terus ditunda-tunda. Padahal, Kementerian Dalam Negeri sudah meminta agar DPRD DKI menyegerakan proses tersebut. Anasir-anasir di DPRD DKI yang dimotori Wakil Ketua M. Taufik masih mempersoalkan aturan mana yang berlaku untuk Ahok, apakah otomatis menjadi pengganti Jokowi ataukah perlu dipilih Gubernur DKI yang baru melalui DPRD.
>
> Terkait penggantian kepala daerah yang berhalangan tetap, awalnya yang dipakai adalah ketentuan pilkada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008. Ketentuan dalam UU 32/2004 tersebut diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Belum lagi aturan tersebut berlaku, Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut undang-undang tersebut. Otomatis, terkait dengan nasib Ahok, kini yang berlaku adalah Perppu 1/2014.
>
> Pasal 203 ayat (1) Perppu 1/2014 menyatakan, "Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya." Jokowi-Ahok diangkat berdasarkan UU 32/2004 sehingga Ahok berhak menggantikan Jokowi hingga sisa masa jabatan berakhir pada tahun 2017.
>
> Namun, tafsir sederhana tersebut belum dapat diterima M Taufik. Wakil Ketua DPRD tersebut punya tafsir lain, bahwa Jokowi-Ahok tidak diangkat dengan UU 32/2004, melainkan berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
>
> Pasal 10 UU 29/2007 menyatakan bahwa pemilihan dilakukan secara langsung dan Pasal 11 menyatakan calon harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen untuk menang dalam satu putaran. Bila tidak, diadakan putaran kedua di antara dua calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Itulah sebabnya, Jokowi-Ahok harus menjalani putaran kedua melawan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Di tempat lain, berdasarkan UU 32/2004, yang telah diubah dengan UU 12/2008, kemenangan dalam putaran pertama cukup dengan 30 persen.
>
> Karena berbeda dalam soal penentuan kemenangan putaran pertama itulah, M Taufik menyatakan bahwa Jokowi-Ahok diangkat berdasarkan UU 29/2007. Karena UU 29/2007 tidak mengatur tentang mekanisme pengisian gubernur yang kosong, M Taufik berlogika bahwa yang dipakai adalah ketentuan dalam Perppu 1/2014, yaitu Pasal 173 dan Pasal 174
> Pasal 173 ayat (1) menyatakan, "Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhalangan tetap, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota tidak serta merta menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota." Pasal 174 kurang kebih mengatur tentang pengisian jabatan kepala daerah yang lowong karena berhalangan tetap. Pada dasarnya terdapat dua ketentuan dalam Pasal 174, yaitu bila masa jabatan kurang dari 18 bulan akan ditunjuk penjabat (caretaker), sedangkan bila masa jabatan lebih dari 18 bulan akan diadakan pemilihan oleh DPRD. Caretaker bisa saja dijabat oleh wakil kepala daerah, tetapi karena tidak dipilih, wakil kepala daerah tersebut tidak dapat menjadi kepala daerah pengganti.
>
> M Taufik rupanya memegang teguh ketentuan Pasal 173 dan Pasal 174 Perppu 1/2014 sehingga berkesimpulan bahwa harus dilakukan pemilihan oleh DPRD untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Jokowi. Dalam perspektif M Taufik, Ahok tidak berhak dilantik sebagai Gubernur DKI untuk menyelesaikan sisa masa jabatan yang ditinggalkan Jokowi yang kurang lebih tersisa tiga tahun.
>
> Bila dibaca secara cermat norma Pasal 203 ayat (1) Perppu 1/2014, jelas di sana digunakan kata "pengangkatan". Soal pengangkatan kepala daerah terpilih sama sekali tidak diatur dalam UU 29/2007. UU 29/2007 hanya mengatur perintah untuk pilkada langsung dan suara minimal 50 persen plus satu untuk menang di putaran pertama. Hanya itu. Tidak ada yang lain. Soal mekanisme pengangkatan kepala daerah terpilih, termasuk dalam hal ini Gubernur DKI, diatur dalam UU 32/2004.
>
> Sekali lagi, karena Jokowi-Ahok diangkat berdasarkan ketentuan UU 32/2004, maka ketika Jokowi mengundurkan diri karena menjadi presiden, otomatis Ahok yang menggantikan hingga masa jabatan Jokowi berakhir. Pasal ini terdapat dalam aturan peralihan, yaitu pasal yang umumnya tercantum dalam bagian-bagian akhir undang-undang sebagai jembatan antara kondisi yang diciptakan undang-undang baru dan kondisi sebelumnya pada saat undang-undang lama diberlakukan.
>
> Satu Paket
>
> Setelah Ahok dilantik sebagai gubernur, berdasarkan ketentuan Perppu 1/2014, ia dapat mengajukan maksimal dua wakil gubernur kepada presiden melalui mendagri. Setelah keluar SK dari mendagri terhadap calon tersebut, Ahok sendiri yang melantik mereka.
>
> Pertanyaannya, mengapa berlaku dua ketentuan? Untuk pengisian jabatan Jokowi, masih berlaku ketentuan UU 32/2004, yaitu Ahok menggantikan hingga masa jabatan berakhir. Namun, untuk pengisian jabatan Ahok, tidak berlaku ketentuan UU 32/2004, yaitu pemilihan oleh DPRD dari dua calon yang diajukan parpol pendukung calon, melainkan langsung bisa diterapkan Perppu
> Jawabannya sederhana, karena pemilihan yang diatur dalam UU 32/2004 satu paket. Sedangkan Perppu 1/2014 hanya menyediakan pemilihan bagi kepala daerah, sementara wakil kepala daerah cukup diusulkan oleh kepala daerah terpilih.
>
> Dengan pemilihan satu paket tersebut, wajar bila wakil menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap. Namun, untuk pemilihan yang tidak satu paket, wajar pula bila wakil tidak otomatis menggantikan karena wakil tidak dipilih. Bila wakil menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap maka akan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menghendaki kepala daerah dipilih secara demokratis.
>
> Hingga titik ini, nasib Ahok sebenarnya sangat benderang. Terlepas ketidaksetujuan sebagian anggota DPRD dan sebagian warga DKI, demi hukum, Ahok harus dilantik sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi. Sayangnya, nafsu menjegal Ahok sepertinya sangat besar hingga mengalahkan rasionalitas, kepatutan, dan ketaatan terhadap hukum.
>
> Mereka yang memisahkan politik dan moralitas memang tak akan pernah mengerti keduanya…
>
> Jakarta, 7 November 2014. ?
>
> *) Refly Harun, Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar