2.08.2015

Semakin Sulitnya Mencari Pengamat Politik yang Objektif



From: A.Syauqi Yahya 


Semakin Sulitnya Mencari Pengamat Politik yang Objektif

http://m.kompasiana.com/post/read/700502/3/semakin-sulitnya-mencari-pengamat-politik-yang-obyektif.html

Hanny Setiawan
07 Feb 2015 | 22:42

Lahirnya pengamat-pengamat warga yang lugas membawa secercah harapan untuk demokrasi semakin sehat. Secara teori, demokrasi partisipatif adalah bentuk varian demokrasi trias politika konservatif. Dengan perkembangan teknologi digital melalui sosial media, konsep demokrasi partisipatif semakin terasa kekuatannya.
Pengamat-pengamat profesional seperti Denny Indrayana, Yusril Ihza Mahendra, Burhan Muntadi, Denny JA, dll diadu dengan Gun4awan, Gatot, Pakde Kartono, Rachmat Koto, Mike Reyssent, dll. Hasilnya sejauh ini pengamat warga tidak kalah tajam dan galak dengan yang profesional.
Bahkan kadang terkesan pengamat sepert Siti Zuhro, Didik J. Rachbini hanya mengumbar like atau dislike tak ubahnya dengan komentator awam.
Pengamat warga seakan menemukan destiny-nya, dan saya termasuk yang mendapatkan berkah dari fenomena ini.
***
Artikel ini saya tujukan sebagai otokritik dari semua pengamat warga, termasuk saya. Berkembangnya dengan membesarnya fenomena media sosial, sehingga membedakan yang mainstream dan nonmainstream semakin sulit, pengamat warga semakin terlihat "angkuh" dan kurang belajar. Dalam membuat opini terkadang kita takabur dan merasa paling tahu sendiri. Bahaya sekali.
Sebagai pengamat warga kita hanya bisa membaca yang tersurat, dan mencoba mengerti yang tersirat. Dan yang tersurat kita dapatkan dari media-media yang juga ditulis oleh jurnalis/reporter muda yang mungkin juga baru belajar menulis. Artinya, DATA dan INFORMASI yang pengamat warga sangat terbatas. Sehingga bisa terjebak opini atas opini, bukan opini atas data. Akibatnya, pengamat warga bisa menjadi testing the water para "political strategic designer".
Sebagai contoh, judul artikel "Saya kecewa memilih Jokowi", atau "Prabowo Mendukung Jokowi Meninggalkan PDI-P" menjadi sangat absurd dan penuh dengan kesengajaan memainkan emosi para pengamat warga.
***
Para pengamat warga bisa dikatakan "mewakili" kelompok menengah yang memang sangat terkenal susah dipegang komitmennya. Bisa ke kiri atau ke kanan tergantung mood. Seperti air di daun talas, mudah diombang-ambingkan.
Sangat disayangkan apabila kesempatan menunjukkan diri sebagai pengamat lugas, justru dimainkan otak-otak intelektual menjadi permainan politik mereka.
Di mana kesalahannya?

Context is A King. Cara melihat satu peristiwa demi satu peristiwa adalah cara melihat yang sangat berbahaya. Pengamat warga yang tidak memiliki current data yang valid, harus bisa memakai data masa lalu untuk melihat tren politik seseorang. Konteks dia mengambil keputusan menjadi sangat penting, lebih dari keputusan itu sendiri.
Contoh yang biasa saya pakai adalah, memilih antara SATE AYAM dan KOTORAN AYAM. Ketika seorang mengambil keputusan memilih kotoran ayam, pengamat yang dangkal akan mengatakan goblok, bodoh, ga jelas, dan sebagainya. Sebaliknya pengamat yang kritis dan jeli akan meriset dulu konteksnya. Untuk apa, apakah harus memilih, adakah opsi lain, dan apa track record orang yang mengambil keputusan tersebut.
Ketika terbukti ternyata orang itu mengambil keputusan memilih kotoran ayam karena dia mau pakai untuk pupuk kandang, maka tiba-tiba semua argumen pengamat "bodoh" tadi jadi runtuh. Karena SALAH KONTEKS.
Kesalahan yang lain adalah, konteks yang berbeda dipakai untuk masing-masing peristiwa. Secara filosofis, ini disebut gejala posmo.
Contoh : KPK vs Polri ada dua konteks yang berbeda politik dan/atau hukum. KPK menggunakan alibi politis, Polri menggunakan alibi hukum. Padahal keduanya sebetulnya menggunakan alibi yang berlawanan ketika mengambil keputusan. Ketika KPK membuat tersangka BG, mereka memakai konteks hukum dan tidak mau disebut politis. Tapi setelah pimpinan KPK di buat tersangka, mereka meminta bantuan Presiden intervensi hukum. Kebalikannya Polisi membuat tersangka dan menangkap BW setelah Budi Waseso sehari jadi Bareskrim jelas adalah tindakan politis balas dendam yang beralibikan hukum.
Terlihat baik KPK dan Polri sebenarnya adalah dua institusi yang DOLAK-DALIK. Mereka hanya mau membenarkan diri sendiri. Dalam kasus ini, mengapa saya tetap melihat bahwa memang harus diselesaikan secara politik dan hukum. Tidak bisa salah satu konteks. Dalam hal ini Jokowi sudah benar mengambil sikap hanya menyelesaikan secara hukum akan membawa dampak politis yang besar, hanya menyelesaikan secara politis Jokowi melanggar konstitusi. Politik diambil kesepakatan, hukum biarkan terus berjalan.
***
Perbedaan konteks yang dilihat para pengamat ini membuat sebuah permasalahan menjadi luas. Kekayaan dalam perbedaan. Tapi menjadi malapetaka ketika memang ada pengamat-pengamat beragenda politis yang memaksakan konteksnya untuk dilihat.
Tugas pengamat warga harus terus menjadi penyeimbang dari pengamat-pengamat profesional yang sudah dibeli bukannya menjadi pengekor atau malah dipermainkan oleh aktor-aktor intelektual. Karena sudah terbukti di masa ini semakin sulit mencari pengamat politik yang obyektif. Salam #IndonesiaBaru
Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu.
(Nabi Sulaiman)

Pendekar Solo
Dibaca : 177 kali

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar