2.19.2015

Seandainya Polri...


From: A.Syauqi Yahya 


Quote

"Mengapa kecepatan, kecekatan dan profesionalitas Polri itu hanya diterapkan kepada perkara yang melibatkan pimpinan dan pegawai KPK saja?" ujar Yuherman kepada Kompas.com, Rabu (18/2/2015).

Tidak heran, lanjut Yuherman, publik menilai bahwa upaya hukum terhadap Bambang, Abraham dan para penyidik KPK tersebut adalah bentuk kriminalisasi. Hal ini terlepas dari kebenaran fakta perkara kasus masing-masing itu sendiri. Apalagi, kecepatan Polri dalam menindak itu terjadi usai KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.

"Terlihat jelas upaya balas dendam. Terlihat jelas itu kriminalisasi," lanjut dia.

Pria yang juga berprofesi sebagai pengacara itu pun berandai-andai. "Seandainya Polri itu menangani seluruh kasus secepat dan setepat seperti menyelidiki perkara pimpinan KPK itu, aman negara kita," ujar dia.

Unquote

Seandainya Polri...

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/18/19582001/Seandainya.Polri.

KOMPAS.COM / KRISTIANTO PURNOMO
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto didampingi kuasa hukumnya usai diperiksa oleh penyidik Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (3/2/2015). Bambang adalah tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilkada di Kotawaringin Barat pada 2010 silam.
Rabu, 18 Februari 2015 | 19:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Performa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) beberapa waktu belakangan memang "meningkat pesat". Sejumlah kasus ditangani cepat. Tidak ada ruang negosiasi seperti yang selama ini dipersoalkan publik.

Sebut saja kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Penyelidikan, penyidikan hingga penetapan tersangka BW dilakukan tak lebih dari lima hari.

Tanggal 19 Januari 2015 laporan atas BW masuk ke Bareskrim. Kepala penyidik Kombes Daniel Bolly Tifaona langsung menetapkan BW sebagai tersangka tanggal 23 Januari 2015.

Ada lagi kasus yang menjerat Abraham Samad, yakni pemalsuan dokumen berupa paspor. Laporan masuk ke Bareskrim pada 1 Februari 2015. Penyidik pun melimpahkan kasus itu ke Polda Sulselbar lantaran kasus serupa sempat diusut di sana. Tergolong singkat, tanggal 9 Februari 2015, Abraham ditetapkan sebagai tersangka meski status tersebut baru diungkap ke publik tanggal 17 Februari 2015.

Ada pun yang terkini, penyidikan Bareskrim dengan hanya berbekal laporan masyarakat soal kepemilikan senjata api ilegal oleh 21 penyidik KPK. Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso dengan tegas mengatakan bahwa akan menjadikan mereka sebagai tersangka secepatnya.

Kecekatan Polisi dalam mengumpulkan bukti, keterangan saksi hingga akhirnya melengkapi berkas perkara itu patut "diapresiasi". Sejenak, Polri menunjukan profesionalitasannya.

Tapi ada yang janggal dalam kecekatan yang tiba-tiba tersebut. Salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid, Yuherman pun bertanya-tanya.

"Mengapa kecepatan, kecekatan dan profesionalitas Polri itu hanya diterapkan kepada perkara yang melibatkan pimpinan dan pegawai KPK saja?" ujar Yuherman kepada Kompas.com, Rabu (18/2/2015).

Tidak heran, lanjut Yuherman, publik menilai bahwa upaya hukum terhadap Bambang, Abraham dan para penyidik KPK tersebut adalah bentuk kriminalisasi. Hal ini terlepas dari kebenaran fakta perkara kasus masing-masing itu sendiri. Apalagi, kecepatan Polri dalam menindak itu terjadi usai KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.

"Terlihat jelas upaya balas dendam. Terlihat jelas itu kriminalisasi," lanjut dia.

Pria yang juga berprofesi sebagai pengacara itu pun berandai-andai. "Seandainya Polri itu menangani seluruh kasus secepat dan setepat seperti menyelidiki perkara pimpinan KPK itu, aman negara kita," ujar dia.

Rentetan kasus mangkrak

Sebagai lawyer, Yuherman mengaku punya banyak pengalaman bagaimana lambatnya penanganan perkara oleh Polri. Kasus yang saat ini tengah ditangani misalnya, yakni kasus penipuan dan penggelapan yang ditangani penyidik di Polda Metro Jaya. Yuherman mengatakan, padahal Polisi sudah mengantongi dua alat bukti. Polisi tinggal menyertakan keterangan dari seorang saksi kunci. Alhasil, berkas perkara kliennya masih berada di meja penyidik sekitar satu tahun terakhir.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukan keprihatinan serupa. Polri hanya getol mengejar kasus pihak-pihak yang tidak menguntungkan mereka. Sementara, kasus yang lain Polri tidak berubah: Dianggap tetap lamban dan tebang pilih.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring ICW Emerson Yuntho menyebut, ada sembilan kasus serupa Bambang Widjojanto yang masih mangkrak di Bareskrim. Bahkan, kasus itu ada yang tak pernah disentuh lagi sejak tahun 2004.

Tahun 2004, Pemimpin RedaksiTempo saat itu, Bambang Harymurti, beserta jajaran redaksi melaporkan bos Grup Artha Graha Tomy Winata ke Bareskrim atas dugaan sumpah palsu yang dilakukan Tomy Winata dalam persidangan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 Oktober 2003.

"Tomy diduga membuat sumpah palsu karena membantah telah diwawancarai wartawan Tempo terkait berita berjudul 'Ada Tomy di Tenabang'," kata Emerson.

Kemudian, pada 14 September 2006, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daan Dimara melaporkan sesama mantan Komisioner KPU, Hamid Awaluddin. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu dianggap berbohong dalam mengungkapkan kesaksian palsu di bawah sumpah. Emerson mengatakan, saat itu Hamid tidak mengaku telah hadir rapat untuk menentukan harga segel surat suara pada Pemilu 2004.

"Padahal, para saksi menyebutkan bahwa Hamid hadir pada rapat itu," ujar dia.

Pada 24 Juni 2009, giliran penyanyi Ainur Rohima alias Inul Daratista yang dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ia dilaporkan oleh pengacara bernama Andar Situmorang. Inul dianggap telah membuat bukti-bukti dan laporan palsu.

"Bersama Inul dilaporkan juga kesepuluh pengacaranya dari kantor Hotman Paris dan rekan karena telah memalsukan dokumen," ujar Emerson.

Tiga mantan Menteri Hukum dan HAM, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Marsilam Simanjuntak, dan Hamid Awaludin, pun pernah dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 14 Januari 2010 dengan dugaan berkolusi dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Mereka telah memfasilitasi negara yang kemudian dimanfaatkan swasta. Pihak swasta yang turut dilaporkan dalam kasus ini yaitu Hartono Tanoesudibyo dan Harry Tanoesudibyo.

Sementara kasus yang menjeratnya belum diusut, pada 1 Juli 2010, Yusril malah melaporkan Jaksa Agung Hendraman Supanji karena menganggap Hendarman adalah Jaksa Agung yang tidak sah.

Lalu, pada Februari 2013, mantan Ketua KPK Antasari Azhar melaporkan dua saksi dalam persidangan perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Kedua saksi itu, Jeffry Lumempouw dan Etza Imelda Fitri Mumu, dianggap memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Yuherman berkesimpulan bahwa kecepatan yang disajikan Polri penuh kebohongan dan rekayasa. Hal yang paling parah, Polri menjadikan hukum sebagai alasan melemahkan aksi pemberantasan korupsi. Dia berharap atas pencalonan Badrodin Haiti menjadi Kapolri dapat membawa angin perubahan di institusi Polri. Menjadi lebih profesional, bersih dan humanis.

Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor: Bayu Galih

--
--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar