2.15.2015

Mengapa Jokowi tak Semenarik Dahulu?


From: A.Syauqi Yahya



Mengapa Jokowi tak Semenarik Dahulu?

http://m.republika.co.id/berita/kolom/fokus/15/02/14/njr8rs1-mengapa-jokowi-tak-semenarik-dahulu

14 Pebruari 2015 21:12 WIB

Arif Supriyono
Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Senior Republika
Email: arifspyn@gmail.com

Begitu Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, sebagian besar masyarakat menyambut dengan harapan tinggi. Optimisme terhadap masa depan bangsa dan negara ini pun mencuat seketika.

Harapan itu bahkan tak hanya diusung oleh masyarakat kita. Dunia internasional pun seolah mengamini munculnya harapan baru bagi bangsa Indonesia.

Penampilan Jokowi yang sederhana dan jauh dari formalitas, serta kepeduliannya terhadap masyarakat kecil, menjadi salah satu jaminan optimisme itu. Jokowi dianggap sebagai orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga tenaga, waktu, dan pikirannya seolah hanya dipersembahkan untuk orang lain.

Jokowi pun dianggap sebagai orang yang tak kenal isitilah 'aji mumpung' atau memanfaatkan situasi untuk kepentingan dirinya. Saat menjadi wali kota Solo, ia menolak didaulat untuk menduduki posisi sebagai pimpinan PDIP setempat.

Sikap memperkaya diri atau korup juga sama sekali tak terlihat dalam diri Jokowi. Ia bisa disebut sebagai orang yang antikorupsi lantaran kekayaannya yang tak seberapa meski telah menjadi kepala daerah. Dalam berbagai kesempatan, ia juga menyatakan kesiapannya untuk memerangi korupsi

Kebijakan-kebijakannya yang prorakyat kecil bisa dibuktikan selama menjadi wali kota Solo. Saat menjadi gubernur Jakarta --walau tak sampai dua tahun-- ia juga tegas serta berani menertibkan kawasan Tanahabang yang kabarnya banyak dibekingi 'orang kuat'. Hal yang tak pernah bisa dilakukan oleh gubernur sebelumnya, sekalipun mereka berlatar belakang militer. 

Harapan yang begitu tinggi itu rupanya belum bisa terwujud. Malah ada kecenderungan rasa optimisme masyarakat itu kian berkurang hari demi hari.

Belum seminggu sejak dilantik jadi presiden, ketidakpuasan masyarakat sudah mulai muncul. Susunan kabinet Jokowi dianggap jauh dari ideal dan bahkan sangat kental dengan aroma bagi-bagi kursi semata.


Advertisement
Dalam pelbagi kesempatan sebelumnya, Jokowi selalu menyebut bahwa koalisi yang dibangunnya bersifat nontransaksional. Faktanya, beda jauh antara ucapan dan apa yang terjadi.

Beberapa personel kabinet juga dianggap menduduki posisi yang tidak tepat dengan latar belakang maupun kiprahnya selama ini. Namun, masalah ini masih bisa diperdebatkan.

Pertanyaan besar masyarakat ketika itu adalah tetap diangkatnya anggota kabinet yang mendapat catatan merah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, Jokowi sendirilah yang meminta KPK dan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan) untuk melihat rapor calon anggota kabinet dari kemungkinan terlibat kasus korupsi.

Kekecewaan sebagian masyarakat bertambah lagi ketika proses pemilihan jaksa agung. Keengganan Jokowi melibatkan KPK dan PPATK menjadi tanda tanya besar. Jokowi pun menetapkan jaksa agung baru (HM Prasetyo) yang juga politisi Partai Nasdem tanpa catatan dari dua lembaga tersebut.

Masyarakat bertambah kaget tatkala presiden menempatkan lebih banyak orang berlatar belakang partai politik di posisi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Semula, melalui pernyataan para stafnya, Jokowi akan membebaskan Wantimpres dari unsur politik. Rupanya itu tak bisa dijalankan.

Anehnya lagi Jokowi juga mengangkat Jan Darmadi, pengusaha yang menjadi politisi Nasdem dan sarat pengalaman dalam mengelola judi. Ia pernah menjadi tokoh judi hwa hwe (era akhir 1960-1970), lotto (1980-an), dan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di era 1990-an. Kritik masyarakat tak menggoyahkan Jokowi untuk mengganti posisi Jan Darmadi.

Masyarakat kian gemas tatkala Jokowi mengusulkan nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri, walau nama ini juga mendapat catatan merah KPK saat masuk nominasi sebagai calon menteri. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tak jua menyurutkan langkah Jokowi untuk menarik pencalonannya.

Rakyat 'yang tak jelas' (meminjam istilah Meko Polhukam, Tedjo Edhy Purdijatno) kian kecewa setelah KPK dikriminalisasi. Para komisioner KPK dijadikan tersangka oleh kepolisian, mulai dari Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan sangat boleh jadi yang lainnya juga akan mengalami hal yang sama (Zulkarnaen dan Adnan Pandu Pradja).

Kasus yang menjerat para komisioner KPK pun merupakan perkara lama yang sudah diputuskan pengadilan. Selain itu, reputasi pihak yang melaporkan ke polisi justru sarat dengan masa lalu yang kelam.

Yusuf Sugianto Sabran (yang melaporkan BW) pernah terjerat illegal logging dan kasus pembunuhan. Fahtur Rosjid (yang mengadukan Zulkarnaen) pun pernah dipenjara gara-gara kasus korupsi saat Zulkarnaen menjadi kepala Pengadilan Tinggi Jatim.

Adapun Abraham Samad dilaporkan karena pertemuannya dengan petinggi PDIP dalam rangka penjaringan sebagai cawapres. Ini lebih terkait dengan soal etik ketimbang masalah pidana. Anehnya, saat akan menjaring Samad sebelum pilpres, PDIP tak merasa hal itu sebagai sesuatu yang melanggar etika. Sebelum itu, foto Samad yang diduga kuat hasil rekayasa muncul dua kali di internet seolah sedang beradegan mesum dengan seorang wanita.

Melihat upaya penghancuran KPK yang begitu sistematis, Jokowi belum juga mengambil sikap. Presiden lalu membentuk Tim 9 yang dipimpin Buya Syafii Maarif dan Jimly Asshidiqqie. Masukan dari Tim 9 pun hingga kini tak membuat Jokowi merasa perlu untuk segera bertindak.

Masyarakat jadi bertanya-tanya. Dukungan kalangan agamawan (Muhammadiyah dan NU) tak juga menggerakkan Jokowi untuk segera mengambil tindakan.

Belum habis kegemasan masyarakat pada Jokowi, mendadak presiden kita itu muncul dan menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara Proton Holdings Berhads dengan PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL) milik AM Hendropriyono. Sebagaimana tertulis di papan, kerja sama ini untuk mengembangkan mobil nasional Indonesia.

Sebagian masyarakat pun geram dan menganggap Jokowi telah ingkar janji karena justru tak mengangkat industri otomotif dalam negeri yang sudah ada. Sedangkan ACL sama sekali tak dikenal di industri otomotif.

Mobil Esemka, yang pernah mengangkat nama Jokowi begitu menjulang, ditinggalkan begitu saja. Janji Jokowi untuk mencarikan investor tak juga terwujud. Bantahan Jokowi, bahwa itu bukan proyek mobnas, juga mendapat bantahan balik dari Proton Sdn Bhd. Perusahaan Malaysia itu berpendapat, kerja sama ini merupakan cikal bakal bagi lahirnya mobnas Indonesia.

Apa pun, kehadiran Jokowi di acara penandatanganan itu menambah kecewa dan luka di hati masyarakat. Kian hari, ada saja hal yang membuat kekecewaan masyarakat terhadap sikap Jokowi.

Kekecewaan itu lalu menimbulkan pertanyaan: mengapa Jokowi tak lagi semenarik dahulu? Sebagian masyarakat, termasuk saya, masih berharap Jokowi bisa kembali lagi seperti dulu.

Red: Didi Purwadi

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar