@bende mataram@
Bagian 145
Tetapi seruan itu kasep. Sebat luar biasa sang Dewaresi menyapu gagang 
tombak Wayan Suage sehingga patah menjadi dua. Kemudian dengan tangan 
kirinya ia menyodok iga-iga Wayan Suage sehingga roboh terguling.
Pada saat itu, mendadak terdengarlah derap kuda dengan disertai 
sorak-sorai. Pangeran Bumi Gede, ternyata berotak tajam. Begitu ia melihat 
para pendekar mau membantu dirinya untuk melibat Ki Hajar Karangpandan dan 
Ki Tunjungbiru, lantas saja ia mengarah kepada Wayan Suage.
Cepat luar biasa kudanya telah sampai di depan Wayan Suage yang sudah roboh 
terguling. Tetapi tatkala tangannya hendak menyambar, sekonyong-konyong 
melesatlah sebatang pedang memotong pergelangan tangannya. Buru-buru ia 
menarik tangannya dan menoleh selintasan. Dan nampaklah seorang gadis 
berdiri tegak tak jauh dari-padanya. Segera gadis itu dikepung pasukannya. 
Tetapi seorang pemuda yang nampaknya ketolol- tololan maju membobol 
kepungan. Dialah Sangaji yang mengulurkan tangan membantu Nuraini.
Dengan segenap tenaga ia mengamuk dan berhasil melemparkan empat orang 
prajurit sekaligus. Kemudian dengan bersenjata sebatang pedang pula, ia 
menikam ke kiri-ke kanan untuk menggebu lawannya.
Pasukan yang mengepung lantas saja bubar berderai. Untung pada saat itu, 
Sanjaya datang menolong. Dengan segera keadaan jadi jatuh sebaliknya. 
Sangaji kena didesaknya, sedangkan Nuraini lantas saja berdiri tegak tidak 
mau membantu.
Melihat Sangaji dalam keadaan bahaya, Ki Tunjungbiru berusaha melindungi. 
Tetapi berkali-kali ia gagal mencoba membebaskan diri dari penggeroyokan. 
Maklumlah, lawan-lawannya adalah pendekar-pendekar sakti semua.
Mereka tak gampang-gampang bisa dimundurkan. Andaikata Ki Tunjungbiru bisa 
melukai, belum tentu lantas menyerah.
"Jangan khawatir, anakku. Aku datang," tiba-tiba terdengar suatu suara.
Dalam keadaan terdesak, masih sempat Sangaji menoleh. Serentak ia akan 
bersorak gembira, karena yang datang ialah kedua gurunya, Jaga Saradenta 
dan Wirapati.
Seperti diketahui, mereka berpisah dengan Sangaji semenjak di perbatasan 
Cirebon. Mereka berdua hendak menyelidiki suatu keadaan yang mencurigakan. 
Maka sampailah mereka di Pekalongan setelah berhasil menghambat perjalanan 
anak-buah sang Dewaresi di sepanjang jalan.
Demikianlah—ketika melihat muridnya dikepung orang, segera mereka mengerti 
akan bahaya. Tanpa mencari penjelasan dahulu, lantas saja mereka 
menyerbukan diri. Karuan saja, kedatangan mereka berdua adalah laksana 
badai di tengah alam sunyi. Para prajurit yang mengepung Sangaji kena 
dilemparkan seorang demi seorang yang roboh pingsan bergulingan.
"Jangan hiraukan aku!" teriak Sangaji nyaring. "Tolonglah dahulu Aki 
Tunjungbiru dan dia...!
Jaga Saradenta dan Wirapati segera mengalihkan pandang. Mendadak mereka 
melihat dan mengenal Ki Hajar Karangpandan. Serentak mereka berteriak.
"Hai orang edan! Kaupun berada di sini?"
Ki Hajar Karangpandan menoleh. Tatkala melihat mereka berdua, tiba-tiba 
saja dia tertawa mengguruh seperti laku orang edan benar-benar. Sambil 
bersuit lantas ia meloncat menghampiri mereka. Sudah barang tentu pendekar 
yang mengeroyoknya segera memburunya. Tetapi kini mereka menghadapi tiga 
orang tangguh. Maka pertempuran jadi seimbang.
Syahdan, waktu itu Sanjaya lagi memusatkan perhatian terhadap lawannya. 
Mendadak ia mendengar suara tertawa gurunya. Ia menoleh dan heran melihat 
gurunya dikeroyok para tetamu undangan. Segera ia melompat mundur, sambil 
berteriak.
"Semua berhenti! Semua orang berhenti! Berhenti! Berhenti! Tuan-tuan berhenti!"
Ia terpaksa mengulangi teriakannya beberapa kali, baru maksudnya tersampai. 
Kemudian dengan takzim ia menghampiri Ki Hajar Karangpandan. Katanya, 
"Guru! Semua adalah orang kita."
"Semua siapa?" bentak Ki Hajar Karangpandan.
Sanjaya sangat takut kepada gurunya. Memang dialah satu-satunya yang 
ditakuti dan disegani. Dengan gemetaran ia menjawab, "Marilah aku 
perkenalkan. Mereka adalah para tetamu undangan Ayah."
"Siapa ayahmu?"
Sanjaya jadi terdiam, la tak mengerti, mengapa gurunya berkata demikian. 
Dengan menaikkan alis ia mengamat-amati gurunya. Kemudian mengalihkan 
pandang kepada Pangeran Bumi Gede. Tetapi belum lagi matanya melihat muka 
Pangeran Bumi Gede, mendadak terdengar gunanya membentak Wayan Suage yang 
masih jatuh tersungkur tak berkutik di atas tanah,
"Dialah ayahmu." "Apa?"
"Dialah ayahmu yang benar." Ki Hajar Karangpandan mengulangi. Kemudian 
dengan melompati ia menyibakkan sang Dewaresi dan Cocak Hijau yang berada 
di depan Sanjaya, ia berkata nyaring, "Kamu anak edan! Kamu gila! Kamu 
badut! Dua belas tahun kamu berada di dalam pelukan orang jahat yang 
kauanggap sebagai ayahmu. Sekarang kamu telah bertemu dengan ayahmu sejati, 
mengapa kamu masih saja berdiri seperti orang linglung?"
Sanjaya sesungguhnya telah mendapat kesan aneh terhadap ibunya. Diapun 
ter-henyak pula ketika mendengar ucapan Sangaji sewaktu hendak membentur 
Wayan Suage. Walaupun dia belum percaya penuh, namun mengganggu pula 
hatinya. Kini ia mendengar ujar gurunya yang ditakuti dan disegani. 
Walaupun gurunya itu terkenal sebagai seorang pendeta yang kadang-kadang 
menunjukkan tingkah-laku kurang waras, tetapi setiap katanya bisa 
dipercayai. Tanpa merasa ia menoleh ke arah Wayan Suage yang terbaring di 
atas tanah. Alangkah hina kesan orang itu. Ia menggeletak di atas tanah 
seperti pesakitan. Pakaiannya kotor, raut-mukanya penuh kisut dan kakinya 
buntung sebelah. Kemudian ia berpaling kepada Pangeran Bumi Gede yang 
nampak gagah duduk di atas pelana kudanya. Pakaiannya serba indah dan 
mentereng. Lagi pula gagah, ganteng dan berwibawa.
Tak mungkin dia orang jahat. Selamanya dia bersikap agung dan baik 
kepadaku. Aku dimanjakan. Aku dianggapnya pula sebagai darah dagingnya 
sendiri. Tak pernah aku melihat, dia mengecewakan Ibu atau aku sendiri. 
Masa dia bukan ayahku? Hm... apakah orang-orang ini sedang mengujiku atau 
mempermain-mainkan aku? pikir Sanjaya.
Ia memeras otak. Tanpa merasa lagi, ia merenungi Wayan Suage. Pikirnya, dia 
ayahku?
Benarkah itu? Orang semiskin ini bagaimana bisa menjadi ayahku? Aneh! 
Sungguh aneh! Ia berhenti menimbang-nimbang. Mendadak suatu pikiran 
berkelebat menusuk benak. Ah! Apakah orang ini datang ke Pekalongan dengan 
membawa rencana-rencana tertentu yang sudah diperhitungkan masak-masak? 
Siapa tahu, dia sudah berhasil mempengaruhi guruku. Tetapi mengapa pula si 
bocah edan bisa menyebutkan dia sebagai ayahku? Ah, tidak. Bagaimanapun 
juga aku takkan mengikuti dia. Alangkah goblok andaikata aku mengorbankan 
kemuliaan dan kekayaannya dengan mengikuti orang miskin yang tak karuan 
tempat tinggalnya.
Setelah mendapat keputusan demikian, lantas saja ia berseru kepada gurunya, 
"Guru! Jangan dengarkan mereka. Guru kena perangkap yang sudah diatur 
sebelumnya. Sekarang, tolong tangkap orang hina itu! Dialah yang 
menerbitkan gara-gara tak karuan ini."
Ki Hajar Karangpandan terbelalak ketika mendengar ujar Sanjaya. Tubuhnya 
menggigil, karena dadanya serasa mau meledak. Dengan tangan berserabutan ia 
membentak. "Apa kau bilang? Kau bilang aku kena perangkap? Hm. Benar-benar 
kamu binatang dan bukan manusia!"
Sang Dewaresi, Cocak Hijau dan Glatikbiru yang masih mendongkol kena 
disibakkan Ki Hajar Karangpandan ketika melihat dia lagi bercekcok melawan 
muridnya, segera mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Seperti telah 
berjanji, mereka bertiga menyerang dengan dahsyat dan sengit. Ki Hajar 
Karangpandan jadi mendongkol. Dengan terpaksa ia menangkis dan dengan 
demikian dia jadi bertempur lagi.
Sanjaya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa gurunya berada 
dalam bahaya. Sebab, ketiga orang itu bukan orang-orang sembarangan. Namun 
dia tetap berdiam diri buta tuli. Hal itu membuat Ki Hajar Karangpandan 
benar-benar marah. Dengan bersuit panjang ia mengajak rekan-rekannya 
menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, agar dia bisa menghukum 
muridnya.
Ki Tunjungbiru segera mengedipi Jaga Saradenta dan Wirapati. Orang-orang 
itu tidak lagi menunggu istirahat yang kedua kalinya. Segera mereka 
melompat membantu Ki Hajar Karangpandan. Tetapi pendekar-pendekar tetamu 
undangan Pangeran Bumi Gede tidak juga tinggal diam. Meskipun mereka bukan 
sekutu sang Dewaresi, Cocak Hijau atau Glatikbiru, namun mereka merasa diri 
menjadi kawan sepihak. Mereka terus saja merangsak bersama.
Sudah barang tentu, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta 
dan Wirapati agak repot melayani mereka. Karena jumlah mereka jauh lebih 
banyak. Sedangkan tenaga Sangaji atau Nuraini bagaimana bisa diharapkan. 
Mereka berdua seolah-olah bocah yang belum pandai beringus jika 
dibandingkan dengan kegagahan para pendekar.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar