8.27.2019

@bende mataram@ Bagian 157

@bende mataram@
Bagian 157


"Pringgasakti bukan aku. Aku bukan Pringgasakti. Mengapa mesti
dipersangkut-paut-kan? Nah, andaikata dengan alasan itu dia memisahkan
persahabatan kita ini, apakah yang akan kaulakukan?"


Dengan semangat berkobar-kobar Sangaji meledak.


"Aku hendak menggenggam tanganmu dan kubawa menghadap padanya. Dan aku akan
berkata, Ini adalah Titisari. Dia bukan iblis atau keluarga iblis. Dia
manusia baik."


Terdorong oleh semangatnya yang berkobar dalam dada, tanpa terasa ia
menggenggam pergelangan tangan Titisari dan ditarik ke dadanya.


Mula-mula Titisari tersenyum geli menyaksikan laku Sangaji. Tapi mendadak
hatinya tergetar karena Sangaji begitu sungguh-sungguh.


"Aji! Gurumu itu mungkin dapat kauberi pengertian. Tetapi terhadap pendeta
gila yang menyebutku iblis, belum tentu kamu berhasil," katanya perlahan.


"Titisari!" suara Sangaji gemetaran. "Kalau dia hendak memisahkan kita...
biarlah kita minggat ke Jakarta."


"Kalau dia tetap memburu?"


"Biarlah kita mati. Apa kamu takut mati?"


Semangat Titisari terbangun. Hatinya berdebar-debar, karena terharu
mendengar ucapan Sangaji yang sederhana tetapi sungguh-sungguh. Benar!
Paling baik kita mati, pikirnya. Apakah ada yang melebihi mati? Lantas ia
menjawab, "Aji! Mulai detik ini aku akan mendengarkan tiap patah katamu.
Mati pun bukan soal bagiku. Karena itu selama-lamanya kita tak akan berpisah."


"Memang! Kita takkan berpisah untuk selama-lamanya. Sudah kukatakan kemarin
malam di pantai, bahwa kamu adalah seorang gadis yang termanis."


"Betulkah itu?" Titisari tertawa nakal.


Muka Sangaji terasa menjadi panas. Meskipun demikian ia mengangguk. Di
waktu itu semangatnya sedang berkobar-kobar dengan dahsyat, sehingga tak
ingatlah dia bahwa tunangannya di Jakarta masih setia menunggunya. Pemuda
itu sama sekali tak menduga^ka-




lau Sonny de Hoop di kemudian hari akan me-rupakan sumber keruwetan dan
kesulitan tak terhingga.


Demikianlah perjalanan mereka lantas saja menjadi lancar. Bulan makin
nampak gede. Sinarnya bersemarak menentramkan hati dan penglihatan.


Kira-kira menjelang tengah malam, mereka berhenti mencari penginapan.
Maklumlah, mereka kini merasa capai karena semenjak kemarin benar-benar
tidak tidur sekejap pun, meskipun hati mereka girang luar biasa. Lagi pula
tanda jalan yang dijanjikan Wirapati takkan dapat terlihat pada malam hari.


Willem dilepaskan dengan begitu saja. Dan mereka menghempaskan diri di atas
tanah kering, berselimut udara dan berbantal batu. Dinyalakan suatu
perdiangan kecil dan sebentar saja telah tertidur lelap.


Menjelang pagi hari, angin meniup begitu tajam dan dingin. Suasana hening
dan sunyi. Mendadaklah terdengar suara sebongkah batu menggelinding ke
bawah. Kaget mereka menyepakkan mata dan seolah-olah sudah saling berjanji,
pandang matanya saling memberi isyarat. Perlahan-lahan mereka menegakkan
kepala. Mereka melihat Willem lagi menggaruk-garuk tanah. Mengira, suara
tadi datangnya dari perbuatan si Willem, mereka berbaring kembali.
Perdiangan yang sudah lama padam, dibiarkan tak menyala.


Waktu subuh hampir lewat, kembali mereka terbangun oleh suara yang
mencurigakan. Kini, mereka benar-benar bersiaga. Serentak mereka menegakkan
punggung dan menjela-jahkan mata. Mereka melihat si Willem terbaring tak
jauh daripadanya. Binatang ini pun mendadak saja menegakkan kepala dan
serentak bangkit berderakan. Mereka kian jadi curiga. Hati-hati mereka
mengadu punggung dan memperhatikan sekelilingnya. Tetapi sua-sana menjelang
fajar hari tetap hening dan sunyi menyayat. Meskipun demikian, tak berani
mereka lengah sedikit pun. Sampai matahari timbul di udara, mereka tetap siaga.


Karena tempat sekitarnya tidak ada mata air, mereka meneruskan perjalanan
ke selatan mengikuti tanda jalan yang ditinggalkan Wirapati.


"Titisari! Apakah kamu mempunyai firasat diikuti seseorang?" Sangaji minta
pertimbangan.


"Tidak hanya semalam," sahut Titisari. "Semenjak kita berpisah dengan
gurumu, perasaan itu telah kurasakan."


"Mengapa?"


"Kedua pusaka warisanmu itu bukan sembarang pusaka."


"Masa begitu?" Sangaji tak yakin. "Seumpama semalam ada orang jahat, kenapa
tidak mencuri si Willem?"


"Justru itu, dugaanku kian kuat. Orang yang semalam menjenguk kita, bukan
seorang penjahat murahan atau maling kuda. Pastilah jejak kita akan
diikuti, sampai kamu berhasil meng-ambil pusakamu. Dan pada saat itu,
tiba-tiba saja kamu telah terkepung rapat."


Mendengar ulasan Titisari, bulu roma Sangaji menggeridik. Tetapi ia
membungkam mulut.


Tatkala matahari telah sepenggalah tingginya, mereka sampai di sebuah dusun
agak ramai yang berada di kaki Gunung Sumbing. Sangaji membeli seekor kuda
putih untuk Titisari. Dan mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya
Titisari lebih suka menunggang kuda berbareng. Tetapi Sangaji merasa kikuk
oleh pandang orang dan merasa kurang leluasa. Mau tak mau Titisari menerima
alasan itu.


Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah sungai yang jernih airnya. Segera
mereka mencencang kudanya dan terjun ke dalam sungai.


Biarpun Sangaji dibesarkan di Jakarta, belum pernah sekali juga berenang di
laut atau di sungai. Karena itu ia berdiri di tepian setinggi dada.
Sebaliknya Titisari terus saja menyelam di dasar sungai dan timbul di
seberang sana. la berenang gesit dan cekatan seperti seekor ikan.


Wajahnya riang luar biasa.


"Aji!" serunya. "Selama hidupku aku berada di antara air. Ayo kuajari kau
berenang."


Sangaji menggelengkan kepala. Ia takut air. Sekiranya tak teringat semenjak
pagi tadi belum mandi, takkan gampang-gampang ia mencelupkan tubuhnya ke
dalam sungai.


Titisari seorang gadis yang nakal. Segera ia menghampiri dan berkata
nyaring. "Idddiiih... anak laki-laki, masa tak bisa berenang?"


Belum lagi Sangaji menangkis ejekannya. Mendadak ia menyelam. Sangaji
bercelinguk-an mencarinya, tapi gadis nakal itu lama tak muncul-muncul.
Karuan saja, hati Sangaji ber-debar-debar. Hampir saja ia mengira, Titisari
hilang disambar buaya atau mendapat bahaya lainnya, mendadak kakinya serasa
dibetot orang. Kaget ia meronta, tetapi ia kena seret terus. Ketika ia
melihat, bahwa dirinya diseret ke tengah, ia takut setengah mati.


"Hai! Hai!" ia berteriak sambil memukuli air.


Pada waktu itu, ia seperti terlempar berputaran dan Titisari muncul di
permukaan sambil tertawa nyaring. Karuan saja, Sangaji gelagapan sampai
meneguk air beberapa kali.


"Pukulkan tanganmu dan jejakkan kakimu! Air sekelilingmu pandanglah sebagai
musuhmu!" teriak Titisari menasihati.


Mau tak mau Sangaji tunduk pada nasihatnya, meskipun hatinya mendongkol
bukan main. Tetapi aneh setelah tangan dan kakinya berserabutan tak karuan
juntrungnya, tubuhnya tidak tenggelam lagi. Bahkan ia bisa berputar-putar
dan maju membungkuk-bung-kuk seperti katak bangkotan.


Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mulai mengajar bagaimana
harus berenang. Setelah itu cara mengatur napas.


Bagi Sangaji pelajaran mengatur napas dengan memukul tangan dan kaki adalah
mudah. Pertama-tama ia mengenal ilmu tata-ber-kelahi dan ilmu pernapasan
dari Ki Tunjung-biru. Maka dua jam kemudian, ia sudah bisa berenang seperti
seorang ahli berenang kelas empat. Dia sudah bisa mulai berputar-putar
mengikuti Titisari ke mana gadis itu berenang. Dan lambat-laun ia mendapat
suatu kegembiraan baru yang belum pernah dirasakan selama hidupnya.


Dia tak mengenal lelah sampai waktu luhur telah lewat. Sekarang Titisari
yang jadi repot. Sama sekali ia tak menduga kalau muridnya begitu giat dan
tak mengenal lelah. Maka cepat-cepat, ia berseru, "Aji! Apa kita mau tidur
dan makan di dalam air?"


"Kenapa?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar