8.27.2019

@bende mataram@ Bagian 158

@bende mataram@
Bagian 158


"Aku lapar! Ayo tolong aku mencari ikan." Sehabis berkata demikian, cepat
ia menyelam dan menguber-nguber ikan sampai hampir menjelang senja. Mereka
kemudian berbaring di tepi sungai sambil membakar ikan. Titisari ternyata
pandai memasak. Dengan cekatan ia memetiki daun-daun dan dimasak menjadi
sayur berikan.


Sangaji sudah memeras tenaga hampir sehari penuh dalam kubangan air, maka
ia menggerumuti masakan itu seperti kuda.


"Kalau saja kita membekal nasi, alangkah sedap," katanya.


Mendapat ingatan itu, lantas saja mereka berbelanja di dusun. Membekal
beras dan bumbu. Kemudian melanjutkan perjalanan lagi.


Demikianlah, empat hari telah dilampaui dengan senang dan tidak ada
halangan. Hanya saja pada malam hari, mereka selalu berjaga, karena suara
yang pernah didengar senantiasa berada di dekatnya. Pada hari kelima,
langit hitam tebal. Lalu terdengarlah suara dentuman guruh saling menyusul.


"Kamu takut, Titisari?" tanya Sangaji.


"Dulu aku pernah takut pada guruh. Dalam bayanganku, seolah-olah naga besar
melingkar dan




menyusur mega hitam. Kini... apa lagi sekarang, sama sekali tidak takut."
"Kenapa?"


"Karena aku dekat denganmu. Biarpun guruh itu benar-benar seekor naga
raksasa sakti, aku tidak gentar. Karena apakah yang melebihi mati?
Sekiranya naga itu menyerang, pasti kamu melawan sekuasa-kuasamu dan kalau
kamu terpaksa gugur, akupun akan menuntut bela. Sekiranya aku bisa membunuh
naga itu, aku akan mendaki gunung setinggi-tingginya sambil memapah
jenazahmu. Kemudian akan kubawa meloncat ke jurang. Nah, dengan begitu kita
akan selalu bersama dan tidak ada sesuatu kekuatan apa pun juga yang akan
memisahkan kita."


Hebat pengaruh kata-kata itu yang diucapkan dalam suasana jagad dalam
keadaan remang-remang hampir hujan. Sangaji begitu terharu, sampai menekan
pergelangan tangan Titisari dan hampir saja diciumnya.


Hujan benar-benar turun sangat derasnya. Mereka tak memedulikan. Terus saja
mereka melanjutkan perjalanan. Tapi tatkala malam hari tiba, mereka
berteduh di sebuah gua (sebenarnya lebih merupakan kubangan tebing gunung)
dan cepat-cepat mengeringkan pakaian. Titisari segera memasak air dan
menanak nasi. Kemudian membakar beberapa ekor ikan sungai.


Tatkala hendak menyambal ikan itu akan dipenyetkan dalam sambel dengan
jeruk pecel, mendadak ia mendengar suara langkah di luar mulut gua. Belum
lagi ia memberi isyarat, Sangaji telah memipitkan diri di belakang dinding
mulut gua. Tahu-tahu di depannya muncul seorang laki-laki berkepala botak
yang terus saja tertawa menyeringai. Dialah Yuyu Rumpung penasihat sang
Dewaresi.


"Hm... begini besar rejekimu sampai masih bisa masak ikan segala," katanya.


Sangaji terkejut setengah mati, sampai mulutnya tergugu. Sebaliknya
Titisari lantas saja mendamprat.


"Eh... jadi baru malam ini kamu muncul terang-terangan. Rupanya hujan besar
membuatmu gagal menepati siasatmu. Kamu terpaksa membatalkan rencanamu
menguntit kami, bukan?"


"Hai bocah edan! Siapakah kawanmu ini? Begini cantik. Apakah dia bisa
diganyang pula seperti ikan yang dibakar?"


Panas hati Sangaji, mendengar ucapan Yuyu Rumpung yang menghina Titisari.
Biarpun sadar tenaga sendiri tiada unggulan, lantas saja ia menyerang.


Yuyu Rumpung kini telah pulih kembali seratus persen, tetapi sembilan
bagian telah dimiliki. Karuan saja, begitu Sangaji melontarkan


serangan dengan tertawa besar ia menangkap pergelangan tangannya dan
dilontarkan balik. Tubuh Sangaji terpental masuk ke dalam gua menubruk
Titisari.


"Cepat minggir!" serunya gugup, karena merasa tak dapat menguasai diri.


"Mengapa mesti minggir?" sahut Titisari sambil menyambut. "Bukankah tidak
ada yang bisa melebihi mati?"


Karuan saja, kena benturan tubuh Sangaji yang terpental karena dorongan
tenaga Yuyu Rumpung, Titisari terpelanting sampai menumbuk dinding gua.
Meskipun demikian, ucapannya menimbulkan semangat berjuang yang menyala
dahsyat dalam dada Sangaji.


"Bagus! Tidak ada kekuatan manapun yang mampu memisahkan kita," seru
Sangaji. Dan terus saja dia kembali menyerang.


Ia memang berwatak ulet, tabah dan tahan uji. Meskipun kena gempuran Yuyu
Rumpung setiap kali ia menyerang, masih saja dia tidak jera. Bahkan dia
berusaha sekuat tenaga agar bisa membobol mulut gua.




Titisari pun tak tinggal diam. Hanya saja dia cerdik. Dengan cekatan ia
menerkam kayu pembakar dan hendak dipergunakan sebagai senjata, la tak
memperdulikan ikan-ikan yang sedang dibakarnya. Sekonyong-konyong
berkelebatlah bayangan putih. Bayangan putih itu, terus saja menyanggah
maksud Titisari sambil berkata, "Eh—eh, sayang Nona! Sayanglah pada
ikan-ikan itu!"


Terus saja bayangan putih itu sibuk menyalakan api dan menaruh ikan-ikan
dengan hati-hati di atas bara. Titisari heran berbareng terkejut. Dengan
tajam ia mengamat-amati bayangan putih itu. Ternyata ia adalah manusia yang
berkulit putih.


"Ai... sayang-sayang! Rupanya Nona pandai membakar ikan! Teruskan membuat
pecel lele! Jangan pedulikan bangsa cecurut itu."


Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sepercik harapan timbul dalam
hatinya. Dasar ia cerdik dan cerdas, lantas saja bisa menebak bahwa orang
berkulit putih itu bukan kawan Yuyu Rumpung. Pikirnya, di mulut gua Yuyu
Rumpung berjaga-jaga dengan kuat dan sedang mengadu tenaga dengan Sangaji.
Bagaimana orang ini tiba-tiba saja bisa melesat memasuki gua? Apa dia
memiliki ilmu siluman?"


Mendapat pikiran demikian lantas dia berkata mencoba.


"Perkara membuat pecel lele, itu sih gampang. Tapi kawanmu itu mengotori
gua dengan abu tanah begini rupa."


"Kawan yang mana?" dengus orang berkulit putih. "Yang botak itu."


"Hm... orang seperti anjing kudisan itu, bagaimana bisa jadi kawanku? Suruh
dia pergi dan menjauhi gua. Bilang aku si jembel tua yang memerintahkan!"


Titisari berbimbang-bimbang. Melihat Titisari berbimbang, orang berkulit
putih itu lantas berkata lagi, "Bilang, burung gagak berbulu putih yang
menghendaki."


Mendengar ucapan orang berkulit putih itu, sekonyong-konyong mata Titisari
menyala berkilat-kilat. Serentak ia meloncat maju sambil membentak.


"Hai botak tua! Kamu diperintahkan pergi menjauhi gua. Gagak Seta yang
perintah!"


Mendengar nama Gagak Seta, benar saja Yuyu Rumpung lantas saja berdiri
tegak. Mukanya berubah hebat. Pucat dan ber-gemetaran.


"Apa kau bilang?" katanya dengan suara tertahan.


Belum lagi Titisari menjawab, Gagak Seta yang masih saja membungkuki
ikan-ikan bakaran menyahut.


"Kau anjing, enyahlah cepat-cepat! Aku si jembel tua mau makan. Dan kau
anak muda, wakili aku menggaplok botaknya tujuh kali."


"Menggaplok?" Sangaji menegas heran.


"Aku bilang gaplok, gaploklah! Tak bakal dia berani membalas atau mampu
membalas."


Benar juga. Tatkala Sangaji mencoba-coba meraba pipinya, si botak tak
berani berkutik. Maka ia benar-benar menggaplok. Kali ini lebih keras
sampai mulut si botak mengeluarkan darah. Dan pada gaplokan yang ke enam,
tiba-tiba Titisari berteriak, "Nanti dulu! Akupun tadi kena dipelantingkan,
karena itu dia harus membayar."


Setelah berkata demikian, ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada
Yuyu Rumpung pulang-balik sampai pendekar itu meringis kesakitan.


"Bagus! Bagus!" seru orang berkulit putih dengan gembira. "Kamu begitu
bersemangat dan aku senang melihat seorang yang bersemangat. Nah, sekarang
suruhlah dia pergi jauh-jauh!"


Tanpa diperintah lagi, Yuyu Rumpung lantas mengundurkan diri, setelah
membungkuk dua kali. Sangaji heran luar biasa. Ia tahu, pendekar itu sangat
galak dan ganas. Mengapa tiba-tiba dia


menjadi begitu jinak? Apakah orang yang lagi membungkuki ikan itu majikannya?


"Hai Nona kecil! Apa kamu akan membiarkan ikan-ikanmu terbakar hangus?"
teriak orang berkulit putih.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar