8.21.2019

@bende mataram@ Bagian 146

@bende mataram@
Bagian 146


Sanjaya waktu itu tetap berdiam tegak di tempatnya. Meskipun ia.tak senang
melihat sikap gurunya, tetapi hatinya kecut. Maklumlah, dia sangat takut
kepada gurunya yang bisa berlaku edan-edanan. Maka begitu ia melihat
gurunya kerepotan dikerubut para pendekar, diam-diam ia berdoa
mudah-mudahan gurunya bisa dibinasakan. Dengan demikian soal yang
menggelisahkan itu akan padam tanpa ekor lagi.


Tak lama kemudian Ki Hajar Karangpandan benar-benar kena desak. Lengannya
kena dilukai sang Dewaresi. Tetapi ia tak gentar. Dengan memutar pedangnya
ia menyabet kalang kabut. Nampaknya tiada teratur, tetapi mendadak dengan
sebat menyabet gundul Cocak Hijau. Karuan saja si kurus tua buruburu
menangkis dengan cempulingnya. Di luar dugaannya cempulingnya menjadi
sem-plak, sehingga terpaksalah dia mundur ber-jempalitan.


"Berhenti!" tiba-tiba terdengar suara nyaring. Itulah suara Wayan Suage
yang tiba-tiba berdiri dengan tertatih-tatih.


Entah mengapa, tiba-tiba saja orang-orang mundur berlompatan. Dengan
demikian, Wayan Suage seperti berada di tengah arena.


"Berhenti!" dia berteriak lagi. Dengan menje-lajahkan matanya ia berkata
lagi, "Tuan-tuan! Sebenarnya aku membuat susah Tuan-tuan sekalian. Soal ini
adalah soalku pribadi. Aku akan


menyelesaikan sendiri, dan biarkan pula aku menyelesaikan."


"Hm!" dengus Cocak Hijau yang beradat berangasan. "Apa kau hendak menyerah?"


"Menyerah? Mengapa aku mesti menyerah kepada begundal Belanda? Bukankah
kalian datang kemari untuk bersedia diperbudak Pangeran itu?"


Dengan lengan bergetaran ia menuding kepada Pangeran Bumi Gede yang masih
saja bercokol di atas pelana kudanya.


"Orang itulah yang menerbitkan gara-gara. Dialah yang merubah suatu
kedamaian menjadi suatu keonaran. Dan sekali lagi di sini, ia meletupkan
suatu keributan-keributan lagi. Tapi Tuan-tuan! Ini adalah soalku. Dan
biarkan aku menyelesaikan soalku sendiri. Tuan-tuan, minggirlah!"


Sehabis berkata begitu, mendadak saja ia melompat hendak menerkam Pangeran
Bumi Gede. Orang-orang terkejut. Sama sekali mereka tak mengira, kalau
Wayan Suage akan berbuat senekad itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi
Gede tersenyum di atas kudanya sambil mengibaskan tongkatnya. Kemudian
memberi isyarat kepada orang-orangnya agar meninggalkan gelanggang.


Dilihat sepintas lalu, ia seperti tak melayani Wayan Suage. Tetapi mendadak
saja, Wayan Suage terjatuh terkulai sebelum kakinya mendarat ke bumi.


Di antara mereka, hanyalah Wirapati yang mengerti sebabnya, karena dia
pernah memperoleh pengalaman. Cepat ia melesat meraih Wayan Suage.


"Saudara! Engkau... engkau..."


Pada saat itu, mendadak saja Wayan Suage menyenakkan mata. Orang yang
hendak mati kerapkali mempunyai ingatan tajam dan jernih. Begitu melihat
wajah Wirapati, tiba-tiba saja ia dapat mengenalnya.


"Hai... Bukankah kamu Tuan Penolong yang berteriak nyaring tatkala memasuki
rumah kami?" "Siapa kamu?" Wirapati terkejut berbareng heran.


Wayan Suage tersenyum. "Aku adalah orang... yang Tuan tolong... Kakiku
bukankah engkau yang menolong? Tapi kali ini... agaknya bisa yang merasuk
dalam tubuhku tak dapat lagi Tuan tolong... auk!" Napas Wayan Suage lantas
menjadi tersengal-sengal. Wirapati yang sudah mengenal hebatnya bisa
Pangeran Bumi Gede mengeluh dalam hati. Mukanya lantas saja menjadi pucat.


"Tuan penolong... mana anakku? Mana anak sahabatku?... Sangaji!"


Pada waktu itu orang-orang telah merubung. Mereka nampak seperti
orang-orang linglung yang telah kehilangan pikiran. Sangaji pun berada di
antara mereka. Begitu mendengar namanya dipanggil cepat ia duduk bersimpuh
di hadapan Wayan Suage.


"Benarkah engkau anakku?"


Sangaji adalah orang yang berhati sederhana dan jujur. Menghadapi
pertanyaan itu, tak tahulah dia apa yang harus dilakukan. Syukurlah, Wayan
Suage tak menunggu dia sampai menjawab. Orang tua itu dengan napas
berkempas-kempis meneruskan berkata, "Kau tahu siapa tadi yang melepaskan
senjata rahasia? Itulah musuhku dan musuh besarmu. Ayahmupun mati dengan
cara begini. Ingat-ingatlah, anakku. Kamu harus pandai menjaga diri, sampai
bisa membalaskan dendam ayahmu dan aku," ia berhenti menarik napas.
Meneruskan sambil memutarkan mata, "Tuan Pendeta! Tuan Penolong?"


Ki Hajar Karangpandan segera membungkuk.


Wirapati pun terus saja menyahut, "Engkau hendak berkata apa?" "Bolehkan
aku berpesan sepatah kata saja kepada Tuan-tuan berdua?"


Ki Hajar Karangpandan lantas saja menyahut dengan cepat. "Berkatalah! Aku
tahu engkau adalah laki-laki sejati. Aku akan mendengarkan tiap patah katamu."


"Tuan-tuan... aku mempunyai seorang anak perempuan... aku akan mati dengan
lapang dada...
andaikata... andaikata eh mana anakku Sangaji?"


"Aku di sini, Paman," sahut Sangaji dengan suara parau.


"Anakku... dahulu hari antara aku dan ayahmu pernah berjanji hendak
mengikat suatu persahabatan sejati. Tapi hari ini, ternyata keadaannya
mengecewakan... Sanjaya tidak lagi mengakuiku sebagai ayahnya. Dia seperti
orang lain... tetapi aku masih mempunyai seorang anak perempuan. Meskipun
ia hanya anak-angkat, tetapi ia seperti anak kandungku sendiri...


Anakku, kamu akan kuperjodohkan dengan dia... apakah... apakah... Tuan-tuan
berdua, sudikah Tuan-tuan mewakili aku mengatur perjodohan mereka?"


"Aku adalah bibit semula yang menerbitkan gara-gara ini," sahut Ki Hajar
Karangpandang. "Sebelum ajalku sampai, aku akan berusaha sekuat tenaga
untuk memenuhi kehendakmu."


Wayan Suage tersenyum. Matanya menutup rapat dan ia pulang kembali ke
asalnya dengan tenteram. Sangaji berduka berbareng bingung.


Titisari seorang gadis yang baik terhadapku. Masa aku sampai hati
meninggalkan dia untuk kawin dengan Nuraini? Lagipula... dengan disaksikan
oleh kedua guruku, aku telah diper-tunangkan dengan Sonny puteri Major de
Hoop. Apakah... apakah guruku yang berwatak ksatria akan membiarkan aku
mengkhianati orang? Ah. Rasanya tidak mudah, pikir Sangaji.


Selama dia berkawan dengan Titisari, ia mempunyai kesan baik terhadap si gadis.


Orang-orang terkejut Sama sekali mereka tak mengira, bahwa Wayan Suage akan
berbuat senekat itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi Gede tersenyum di
atas kudanya sambil mengibaskan tongkatnya.


Meskipun terhadap Sonny ia tak pernah melupakan, tetapi terhadap gadis Indo
itu kesannya hanya sebagai seorang sahabat akrab.


Wirapati sendiri bersikap diam. Ia tak berani bedaku lancang, karena tak
tahu persoalannya dengan jelas. Dengan Wayan Suage ia hanya berkenalan
selama setengah malam saja, yakni pada dua belas tahun yang lalu. Dengan
sendirinya tak mengetahui pula bagaimana hubungannya antara Wayan Suage dan
keluarga Sangaji. Kalau saja, ia sampai berjuang mati-matian mencari dan
sampai akhirnya mengasuh Sangaji, adalah semata-mata karena suatu
perjanjian belaka dengan si pendeta edan Ki Hajar Karangpandan.


Lainlah halnya dengan sikap Ki Hajar Karangpandan. Orang itu senantiasa
merasa diri berdosa terhadap keluarga Made Tantre dan Wayan Suage. Semenjak
meletusnya malapetaka dua belas tahun yang lalu, tak pernah ia melupakan
barang sebentar pun untuk berusaha menebus kesalahannya. Meskipun
terjadinya peristiwa itu sama sekali tak dise-ngajanya. Maka begitu ia
bertemu dengan Wayan Suage, hatinya girang dan terharu bukan main.
Mati-hidupnya lantas saja dianggapnya enteng. Dengan hati
seikhlas-ikhlasnya segera ia menyediakan diri untuk menggebu lawan-lawan
Wayan Suage. Tak peduli lawan itu adalah anak-buah ayah-angkat Sanjaya,
muridnya sendiri atau anak Wayan Suage. Tetapi di luar kemauannya sendiri,
justru pada pagi hari itu melihat maut merengut nyawa Wayan Suage.
Bagaimana hatinya tak jadi bergoncang?


"Saudara!" keluhnya dalam hati. "Mengapa kamu tergesa-gesa pergi. Mestinya
kamu harus mendengarkan dahulu jerih payahku menebus kesalahanku. Anakmu
telah kudidik dan kuasuh sekuasa-kuasaku. Sedangkan terhadap keluarga
sahabatmu, aku telah berhasil mengikat orang yang dapat kupercayai."


Sedih luar biasa dia, menyaksikan cara mati Wayan Suage yang begitu
berkesan hina. Mestinya tak usahlah dia mengalami kematian begini, seumpama
Sanjaya sedikit mempunyai hati manusia, pikirnya. Dan memperoleh pikiran
ini, mendadak saja timbullah api kemarahannya. Dan api kemarahannya itu di
alamatkan kepada Sanjaya sambil menggerum ia berputar. Kemudian meledak
dahsyat. "Binatang! Kamu bukan manusia. Benar-benar kamu


bukan manusia!"


Tetapi tatkala itu, Sanjaya tak nampak lagi batang hidungnya. Mereka semua
memusatkan seluruh perhatiannya kepada Wayan Suage, sehingga tidak
memperhatikan kapan pasukan Pangeran Bumi Gede mengundurkan diri dari
lapangan. Mereka menduga, Sanjaya pun mundur bersama-sama pasukan
ayah-angkatnya.


Ki Hajar Karangpandan masih saja terbakar hatinya. Nanar ia menjelajahkan
pandang. Kerumun manusia yang tadi datang memenuhi tepi lapangan, belum
semuanya bubar. Mereka masih berdiri bergerombolan. Ki Hajar Karangpandan
menghampiri mereka dengan maksud menyelidiki. Siapa tahu, Sanjaya
menyelinap di antara gerombolan manusia untuk mengintip keadaan mereka.
Orang tua itu juga mau percaya, kalau Sanjaya menyelinap di antara
gerombolan manusia untuk mengintip.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar