8.25.2019

@bende mataram@ Bagian 153

@bende mataram@
Bagian 153


"Aku berbicara denganmu," BENTAK KI HAJAR KARANGPANDAN dengan muka merah-padam.


"Kau sangka apa aku ini, sampai kamu membentak-bentak seperti penyamun?"
"Apa kaubilang?"


Tanpa meladeni Ki Hajar Karangpandan, Ti-tisari lantas saja berputar hendak
melangkah pergi. Jaga Saradenta yang berwatak beranga-san, lalu berkata
nyaring, "Nona! Mengapa ka-mu bersikap tak menghargai orang-orang tua?"


"Hm! Seseorang yang belum saling berkenalan dan tiada hubungan
sanak-keluarga, lalu membentak-bentak kepada seorang gadis belia di tengah
lapangan dan di dekat jenazah seorang, pantaskah di sebut orang tahu harga
diri?"


Tajam kata-kata si gadis, sehingga mereka semua terkejut dan merasa malu.
Ki Hajar Karangpandan sebenarnya tidak bermaksud menghina atau kurang
tata-santun. Kalau saja berbicara membentak-bentak penuh luapan amarah,
adalah semata-mata kerena teringat akan sepak terjang muridnya yang sangat
menyakitkan hatinya. Sebaliknya Sangaji yang berwatak sederhana, polos, dan
jujur sama sekali tak menyangka—bahwa Titisari berani mengadu ketajaman
lidah mereka yang dihormati dan dihargai. Itulah sebabnya, lantas saja ia
ikut membentak.


"Titisari! Jangan berkurangajar!"


Mendengar tegoran Sangaji, gadis itu lalu menundukkan mukanya ke tanah, la
seperti minta maaf dan bersedia mengakui kesalahannya.


Wirapati yang berwatak lebih lapang daripada kedua rekannya, kemudian berkata.


"Eh, Nona. Sebenarnya aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu. Karena
telah menolong nyawa kami."


Wirapati memang tiada bermusuhan dengan Pringgasakti. Kalau ia sampai ikut
berkelahi, adalah semata-mata karena ikrar setia kawan. Lagi pula, ia
jujur. Dengan sebenarnya ia merasa tak ungkulan melawan Pringgasakti.
Sebaliknya Jaga Saradenta tidaklah demikian. Si tua berangasan itu sudah
menaruh dendam kesumat terhadap si iblis semenjak zaman mudanya. Meskipun
lawannya itu berilmu tinggi, bagaimana ia sudi mengakui kelemahan diri.
Serentak ia menyahut cepat, "Eh, apa kau bilang? Gadis itu telah menolong
nyawa kita? Mana bisa aku sudi menerima budinya? Biar kita berkelahi sampai
mampus, apa pedulinya?"


"Hm" dengus Titisari. Hatinya kembali menjadi panas dan mendongkol melihat
lagak Jaga Saradenta. Katanya tajam, "Kamu berbicara perkara budi? Siapa
pula yang kesu-dian memberi budi kepadamu? Kalau aku mengusir si Abu,
semata-mata karena kepentinganku sendiri. Waktu itu aku melihat Sangaji
dalam bahaya. Ingin aku menolong dia, karena di antara semua ini hanya dia
seorang yang kukenal dengan baik. Nah, kalian mau bilang apa?"


"Sangaji?" mereka mengulang serentak. Seperti saling berjanji mereka
menoleh ke arah Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu menjadi kikuk.
Mereka seolah-olah berkata kepadanya, "Hm... semenjak kapan kamu berkenalan
dengan seorang gadis?"


Dengan agak gugup, lantas saja Sangaji membungkuk hormat terhadap mereka
seraya berkata, "Maaf... mestinya siang-siang aku harus sudah
memperkenalkan. Dia adalah sahabatku."


"Sahabatmu?" Jaga Saradenta heran.


"Ya, sahabatku. Aku berkenalan dengannya di tengah jalan."


"Eh, begini gampang kamu mengikat persahabatan," gerutu Jaga Saradenta.


Mendadak Panembahan Tirtomoyo tertawa terkekeh-kekeh. Katanya kepada
Sangaji, "Anak baik! Kemarin kamu berbicara mengenai seorang sahabat yang
mempermain-mainkan orang-orang Banyumas. Bukankah sahabatmu seorang pemuda?
E-hem... apakah dalam waktu semalam saja kamu menemukan seorang sahabat
lain? Sahabat... sahabat..."


Merah-padam muka Sangaji mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo. Meskipun tak
diucapkan dengan terang, tetapi Sangaji merasa seperti diejek. Maklumlah,
Titisari dikiranya sahabat yang baru dijumpainya semalam belaka. Maka
buru-buru, ia memberi penjelasan siapakah Titisari sebenarnya.


Orang itu lantas saja mengerinyitkan dahi dengan sungguh-sungguh.
Teringatlah dia, tatkala Titisari mempermainkan anak buah sang Dewaresi ia
mempunyai kesan buruk. Gerak-geriknya mencurigakan. Ilmu apa yang
dipergunakan, belum dapat diterkanya.


Sekarang ia menyaksikan pula, bahwa si gadis mempunyai hubungan rapat
dengan Pringgasakti. Keruan saja diam-diam meningkatlah kecurigaannya.
Dalam benaknya ada sesuatu yang berkelebat, tetapi apakah itu ia belum
mengerti.


"Anak yang baik," katanya. Tetapi ia menelan kata-katanya yang hendak
diucapkan. Sebagai seorang pendeta yang saleh, ia berbeda jauh dengan
adik-seperguruannya Ki Hajar Karangpandan.


Tak mau ia menyakiti hati atau menusuk perasaan orang. Tetapi Ki Hajar
Karangpandan yang masih terikat kuat kepada masalah keduniawian dengan
segera tahu bahwa kakaknya seperguruan telah mempunyai pendapat yang tak
jadi diucapkan. Maka ia berkata mendesak, "Kamu mau berkata apa? Berkatalah!"


Panembahan Tirtomoyo bangkit tertatih-tatih. Ramuan obat yang baru saja
ditelannya benar-benar menolong kesehatannya dengan cepat. Dengan mata
tajam ia merenungi Titisari, tetapi mulutnya tetap terkunci rapat-rapat. Ia
hanya menggeleng-gelengkan kepala.


"Kau mau berkata apa?" desak Ki Hajar Karangpandan lagi.


Karena desakan itu, akhirnya dengan menarik napas panjang ia berkata minta
keterangan, "Titisari... bukankah begitu namamu?"


Titisari mengangguk. Ia nampak tenang tetapi sikapnya seperti seorang yang
siap untuk bertempur.


"Titisari!" Panembahan Tirtomoyo melanjutkan. "Kami semua adalah
orang-orang tua yang sudah pikun. Tolong terangkan, apakah hubunganmu
dengan Pringgasakti. Sebab antara kami dan dia mempunyai tali persoal-an
yang kuat, semenjak kamu belum lahir."


Titisari mendengus sekali. Kemudian menjawab, "Apakah Tuan-tuan sekalian
mempunyai hak mendesak aku agar memberi keterangan?"


Sangaji yang selalu menghargai dan menghormati orang-orang lebih tua
daripadanya, terkejut mendengar ujar si gadis. Sekarang ia bisa membenarkan
dugaan Panembahan Tir-tomoyo bahwa sahabatnya memiliki sifat-sifat liar.
Maka gugup ia berkata mencoba, "Titisari! Baiklah kukenalkan siapakah
mereka. Beliau adalah Panembahan Tirtomoyo yang kukatakan padamu semalam.
Kemudian... kemudian beliau berdua itu adalah guruku. Sedangkan beliau ini,
Ki Tunjungbiru dan..."


"Dia adik-seperguruanku. Namanya Ki Hajar Karangpandan. Dia seorang pendeta
pula. Hanya agak galak," sahut Panembahan Tirtomoyo.


Terhadap Sangaji, gadis itu mempunyai kesan sendiri. Begitu ia mendengar
ujar Sangaji, sikapnya lantas menjadi lunak.


"Dengan si iblis dan si jahanam itu, mestinya tak sudi aku berbicara."




Mendengar kalimat permulaan keterangan Titisari, mereka yang mendengar jadi
heran tertarik. Seleret cahaya terang, berseri pada wajah mereka
masing-masing. Mereka mulai berkesan baik terhadapnya. Dan tanpa disadari,
mereka berdoa mudah-mudahan Titisari tiada hubungan sanak-keluarga dengan
iblis itu. Ini semua demi kelancaran persahabatan Sangaji—anak-didiknya dan
anak yang berkesan baik. Dengan demikian, kan tidak akan sampai menerbitkan
gelombang yang kurang enak dalam dada mereka masing-masing.


"Aku kenal dengan mereka semenjak masih berumur enam tahun," Titisari
mulai. "Mereka?" Panembahan Tirtomoyo memotong.


"Ya, mereka—Abu dan Abas. Entah di mana Abas sekarang berada. Mereka dulu
berguru pada ayahku. Tetapi mereka bukan membalas budi pada ayah. Bahkan
air susu dibalas dengan air tuba. Mereka mencuri kitab pusaka ayah. Karena
peristiwa itu, ibuku meninggal dunia dengan sedih. Maklumlah, kitab itu
adalah kitab pusaka turun-temurun dari keluarga kami."


Panembahan Tirtomoyo mendadak sadar, bahwa iblis itu mestinya berjumlah dua
orang yang dahulu terkenal dengan sebutan Pringgasakti dan Pringga Aguna.
Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati,
mestinya juga tahu. Hanya saja ia heran, mengapa mereka tak berkesan
sesuatu tatkala menyinggung nama Abas alias Pringga Aguna. Orang tua itu
belum mengerti, bahwa Pringga Aguna telah mampus di Jakarta. Sedangkan Ki
Hajar Karangpandan yang berwatak acuh-takacuh tak ambil pusing terhadap
hal-hal yang membutuhkan pengamatan yang seksama.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar