8.25.2019

@bende mataram@ Bagian 152

@bende mataram@
Bagian 152


Anak yang lagi belajar beringus tapi sudah memiliki jiwa begitu luhur,
bukankah pantas kita junjung tinggi? Inilah seorang ksatria sejati," ia
berhenti lagi. Kemudian berkata dengan suara bergelora, "Tuan-tuan
sekalian! Memompa segala bentuk kepandaian kepada seorang murid adalah jauh
lebih mudah daripada menanamkan bibit watak ksatria sejati. Iblis pun dapat
menyulap manusia goblok menjadi seorang yang ber-ilmu tinggi. Dan jika
nilai manusia hanya didasarkan pada suatu taraf ilmu pengetahuan dan ilmu
kepandaian belaka, apakah jadinya jagat ini. Semua laki-laki tahu, bahwa
jagat ini bakal penuh dengan iblis dan setan! Karena itu terimalah hormatku
atas jasa tuan pendekar berdua."


Sampai di sini selesailah sudah persoalan yang berlarut sampai dua belas
tahun. Jaga Saradenta dan Wirapati dinyatakan menang oleh Ki Hajar
Karangpandan. Itulah saat yang


diharapkan mereka berdua. Dengan demikian, terbacalah sudah jerih payahnya.


Mereka kemudian membimbing Panembahan Tirtomoyo berjalan besama-sama. Orang
tua itu kemudian menerangkan mengapa dia tiba-tiba sudah berada di pinggir
la-pangan. Semalam ia menunggu kembalinya Sangaji dengan hati gelisah.
Ketika dia mendengar kesibukan penduduk kota membicarakan suatu pertempuran
seru di lapang-an, dengan menguatkan diri ia pergi menjenguk. Ia melihat
mereka sedang mengadu tenaga. Meskipun hatinya ingin membantu, tetapi
kesehatan badannya tak mengizinkan.


"Yuyu Rumpung bukan orang sembarangan," katanya. "Sekiranya dia tidak
terluka secara kebetulan, tidak gampang-gampang dia kalian gebu pergi."


Mereka kemudian duduk mengelilingi jenazah Wayan Suage, sedang Sangaji
membawa Titisari duduk pula di antara mereka.


Ki Hajar Karangpandan nampak perasa menyaksikan duka-cita Nuraini.


"Nona," katanya perlahan. Maukah Nona menceritakan tentang kehidupan
ayah-angkat Nona selama beberapa tahun berselang?"


Nuraini menegakkan kepala. Dengan wajah bermuram ia berkata, "Selama
delapan tahun lebih, dia mengajakku merantau tak tentu tujuannya. Belum
pernah kami berdiam pada suatu tempat. Hanya sekali, dia pernah mengajakku
menjenguk Dusun Karangtinalang, untuk memperbaiki reruntuhan rumahnya.
Katanya, meskipun tidaklah sementereng dahulu, tetapi cukuplah baik untuk
tempat tinggal. Meskipun demikian, dia tak mau mendiami rumah itu. Dia
berkata kepadaku, hendak mencari keluarga Made Tantre dahulu..."


Tatkala mengucapkan nama Made Tantre, gadis itu bersuara setengah berbisik.
Ia nampak segan-segan.


"Bagaimana persoalannya, kamu sampai diambil sebagai anak-angkatnya?"


"Dahulu dia dirawat oleh almarhum ayahku." Nuraini memberi penjelasan.
"Setelah ayahku meninggal, aku dipungutnya sebagai anak-kandungnya sendiri.
Aku senang menda-patkan perlindungannya. Sebagai ayah dia tak pernah
mengecewakan hatiku. Hanya saja ia terlalu bersusah payah mencarikan
jodohku yang sepadan menurut hematnya," dan kembali ia bersuara perlahan.
Mukanya lantas saja menjadi merah dadu.


Sambil berebahan Panembahan Tirtomoyo mendengarkan si gadis berbicara.
Setelah menelan ramuan obat, ia merasa menjadi segar. Ingatannya melayang
kepada si gadis sewaktu melayani Sanjaya dalam gelanggang adu-nasib. Lantas
saja ia menyambung, "Eh— sebentar, Nona. Bolehkah aku bertanya kepadamu?"


Nuraini menoleh kepadanya. Ia tidak menjawab, tetapi pandang matanya
bersinar, suatu tanda bahwa hatinya berkenan.


"Siapakah yang mengajarimu mengenal ilmu tata-berkelahi?"


"Semenjak berumur empat tahun aku diajari satu, dua jurus oleh ayahku.
Anak-anak Jawa Barat mengenal ilmu berkelahi semenjak kanak-kanak, tak
peduli apakah dia seorang laki-laki atau perempuan," jawab Nuraini dengan
terus-terang. "Tetapi ayah-angkatku memberi bahan-bahan sangat berharga
pula. Dalam setiap perkelahianku aku selalu mengutamakan jurus-jurus ajaran
ayah-angkatku yang jauh lebih perkasa daripada ajaran ayahku sendiri."


"Hm," dengus Panembahan Tirtomoyo sambil mengerinyitkan dahi. "Aneh! Aku
melihatmu jauh lebih gagah daripada ayah-angkatmu sendiri, kenapa?"


"Barangkali dugaan Aki tidak terlalu salah. Memang aku pernah diajari
seorang berilmu sebanyak tiga jurus. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang
lalu, tatkala aku diajak ayah-angkat merantau ke Jawa Timur."


"Siapakah dia?" Panembahan Tirtomoyo menegas sungguh-sungguh.


"Aki, maafkan! Aku telah berjanji kepadanya tak akan membuka nama besarnya
terhadap siapa




saja. Sebenarnya beliau akan mewariskan seluruh ilmunya. Sayang, otakku
tumpul dan tiada guna."


Panembahan Tirtomoyo terdiam, la tak menegas lagi agar memperoleh
keterangan. Tetapi ia masih berpikir terus memecahkan teka-teki itu. Selama
Nuraini melayani Sanjaya, ia melihat si gadis menggunakan jurus aneh dan
bagus luar biasa. Ia mencoba menebak-nebak siapakah pencipta jurus itu,
namun ia tetap tak berhasil. Ia yakin, kalau si pengajar itu pasti seorang
berilmu yang sangat tinggi dan tak ingin namanya dikenal. Setelah mendapat
dugaan demikian, ia mengalihkan pembicaraan.


"Eh, Hajar! Bukankah kamu guru Sanjaya?"


Ki Hajar Karangpandan mengangguk malas seraya berkata, "Ah, tak pernah
kuduga, kalau aku akan dikecewakan. Inilah akibat watakku yang sok
ugal-ugalan. Sekarang aku memetik buah pakartiku sendiri. Andaikata aku
selalu meniliknya, pastilah anak edan itu sedikit mempunyai keluhuran budi.
Hm...!"


"Sejak kapan kau menjadi gurunya?"


"Tepatnya sembilan tahun sembilan bulan yang lalu," jawab Ki Hajar
Karangpandan. "Pada tahun itu juga aku telah menemukan dia secara
kebetulan, yakni setelah ketinggalan tiga tahun."


Sehabis berkata demikian, kemudian ia menghadap kepada Jaga Saradenta dan
Wirapati.


"Aku hampir berputus asa. Maklumlah, aku mengira bernasib sial. Aku sudah
merasa pasti, akan merasa kalah dalam gelanggang adu kepandaian. Pada suatu
hari aku menjenguk kembali Desa Karangtinalang. Mendadak aku melihat ibu
Sanjaya berada di depan rumahnya, dengan dikerumuni pengawal-pengawal hamba
kerajaan. Terus saja aku kuntit dan akhirnya mendengar kabar bahwa ia
diangkat menjadi selir Pangeran Bumi Gede.


Hm... sama sekali tak kuketahui, bahwa pangeran itulah yang menjadi
pembunuh kedua sahabatku. Sekiranya aku tahu, bagaimana sudi aku
berhubungan dengan dia semata-mata karena ingin mengambil murid anak-isteri
sahabatku yang terkena malapetaka."


"Yakinkah kamu, bahwa gurunya hanya kamu seorang belaka?" potong Panembahan
Tirtomoyo.


"Memang aku tak menunggui dan menilik dia pada setiap harinya. Mengapa?"
"Aku menemukan sesuatu yang aneh. Ada jurus-jurus yang belum kukenal."
"Eh... apa kamu sudah mengetahui?"


"Kemarin siang, secara kebetulan aku melihat muridmu sedang mengadu tenaga
melawan Nona itu, sahabatmu dan Sangaji."


"Inilah kegoblokkanku. Inilah kesem-bronoanku. Memang terang-terangan, aku
diingusi," kata Ki Hajar Karangpandan dengan suara mengguntur. Dan serentak
dia berdiri sambil meledak lagi. "Sekarang kudis itu sudah mulai kucium dan
kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Menurut katamu, kamu telah berada di
pinggir lapangan semenjak tadi. Mestinya kamu tahu pula, siapakah yang
sedang kita gempur bersama. Monyet itu memanggilnya guru dan bahkan mengadu
agar aku dibinasakan. Karena aku dikatakan sebagai guru murtad!"


Teringat akan iblis Pringgasakti, mendadak saja teringatlah dia pula kepada
Titisari. Serentak ia mengalihkan pandang. Jaga Saradenta dan Wirapati tak
terkecuali.


"Hai Nona!" bentaknya. "Kudengar tadi iblis itu memanggilmu adik kecil.
Sebenarnya kamu siapa?"


Perlahan-lahan Titisari berdiri. Tak senang ia mendengar pertanyaan Ki
Hajar Karang-pandan yang bernada kasar.


"Kamu berbicara dengan siapa?" sahutnya angkuh.




* * *


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar