8.23.2019

@bende mataram@ Bagian 150

@bende mataram@
Bagian 150


Pantaslah mereka dahulu agak ketakutan membicarakan kehebatan lawannya. Ki
Tunjungbiru bahkan mengakui, kalau mereka bertiga belum tentu bisa melawan.
Ternyata ucapannya benar. Bahkan memperoleh bantuan Ki Hajar Karangpandan
yang cukup tangguh tak dapat juga memenangkan.


Selagi ia memusatkan seluruh perhatiannya, mendadak saja lengannya serasa
ada yang menyentuh. Ia menoleh. Alangkah terkesiap hatinya, karena yang
menyentuh lengannya adalah Yuyu Rumpung. Pendekar sakti penase-hat sang
Dewaresi itu masih saja berpenasaran kepadanya, la ingin membekuk si bocah
dan hendak diganyangnya mentah- mentah, karena gigitan si bogah masih saja
terasa nyeri.


"Haaaa! Kau lari ke mana lagi?" Yuyu Rumpung menggeram.


Sangaji terlalu kaget, la melihat mata Yuyu Rumpung yang buas dan
menakutkan. Liurnya nampak meruap ke bibirnya, sehingga menerbitkan kesan
ngeri luar biasa. Tanpa dikehendaki sendiri, seluruh tenaganya seperti
terlolosi.


Nuraini yang sedang menunggu jenazah ayah-angkatnya, melihat Sangaji dalam
bahaya. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri ia memungut potongan pedang
Ki Hajar Karangpandan yang tadi terpental jatuh tak jauh dari tempatnya.
Kemudian ia menyambitkan sejadi-jadinya.


Yuyu Rumpung sebat luar biasa. Matanya tajam dan benar-benar seorang
pendekar yang sudah berpengalaman. Begitu ia mendengar kesiur angin, cepat
ia menarik tangannya yang sudah mencengkeram lengan Sangaji dan meloncat
mundur. Sekarang rasa mendongkolnya diarahkan kepada si gadis. Dengan
menjejak tanah ia menyerang. Tetapi si gadis tak gentar. Dengan sikunya ia
menapaki. Sudah barang tentu ia kalah tenaga. CIntung Yuyu Rumpung masih
dalam keadaan sakit. Tenaga tubuhnya tinggal sebagian. Meskipun demikian,
si gadis kena dipentalkan sampai tujuh langkah.


Waktu itu Sangaji seperti telah terbangun dari rasa tak sadarnya. Melihat
Nuraini dalam keadaan bahaya, ia datang membantu, meskinya hatinya gentar
menghadapi si botak. Dengan demikian Yuyu Rumpung dikerubut dua orang.


Dalam lapangan itu lantas saja merupakan gelanggang pertempuran yang
dahsyat. Masing-masing memperoleh tandingannya. Yang masih bebas adalah
Sanjaya seorang.


Pemuda yang cerdik, licin dan licik itu, diam-diam mencari kesempatan
sebagus- bagusnya, la melihat semua rekan gurunya telah terlibat dalam
suatu pertempuran. Inilah saat sebaik-baiknya untuk menurunkan tangan.
Diam-diam ia memasuki lapangan dengan membawa senjata jepretan berisikan
butiran-butiran racun. Senjata jepretan itu adalah hasil peniruan senjata
ayah-angkatnya Pangeran Bumi Gede. Barangsiapa kena bidiknya akan mati
terjengkang seperti udang terbakar.


Hati-hati ia mengendap-endap maju. Korban pertama yang hendak diarahnya
adalah gurunya sendiri. Yakni, Ki Hajar Karangpandan. Di seluruh dunia
hanya dia seorang belaka yang ditakuti dan disegani. Jika orang yang
ditakuti dan disegani sudah mampus, ia bisa hidup dengan senang dan bebas
dari rasa was-was. Tetapi selagi ia hendak melepaskan peluru racunnya,
mendadak berkelebatlah seorang gadis berpakaian putih bersih. Dialah
Titisari—sahabat Sangaji.


Sanjaya tak kenal siapa dia. Hanya saja dia heran menyaksikan
gerak-geriknya yang gesit dan berwibawa. Gadis itu dengan tak mengenal
takut, lantas saja berteriak kepada Pringgasakti. "Abu! Masih berani kamu
jual tampang di sini?'




Waktu itu Pringgasakti sudah berada di atas angin. Meskipun ia dikerubut
empat orang pendekar sakti, ia bisa mempertahankan diri. Bahkan, makin lama
makin bisa mengatasi dan akhirnya mulai pula merangsak membalas menyerang.
Menurut pantas, ia takkan mempedulikan siapa saja yang datang mengganggu.
Tetapi sungguh—aneh! Begitu ia mendengar ucapan si gadis, mendadak saja ia
melompat undur. Ki Hajar Karangpandan, Wirapati dan Jaya Saradenta heran
sampai tercengang-cengang. Mereka lantas saja menduga-duga siapakah itu.
Memang keadaan mereka waktu itu sudah payah. Meskipun belum tentu dapat
dirobohkan, tetapi untuk merebut kemenangan adalah sukar. Kedatangan si
gadis yang bisa memberi kesempatan mereka untuk bernapas, benar-benar
merupakan dewa penolong belaka.


Sanjaya yang sudah siap membidikkan senjata rahasianya heran. Pikirnya,
siapakah dia yang bisa memberi perintah gurunya Pringgasakti agar berhenti
berkelahi? Sebagai seorang yang cerdik, licik dan licin, tahulah dia
menjaga diri. Cepat ia menyelinap kembali di antara gerombol manusia
melihat gelagat.


Waktu itu Pringgasakti berdiri tertegun mengamat-amati si gadis. Meskipun
tak kentara, tetapi raut-mukanya nampak berubah.


"Bagaimana adik bisa datang ke mari?"


Mendengar si iblis Pringgasakti memanggil adik terhadap seorang gadis muda
belia, semua jadi keheran-heranan. Mereka bertambah sibuk menebak-nebak.
Sebaliknya Titisari nampak tenang dan tiada kesan. Dengan pandang mata
berwibawa ia merenungi wajah Pringgasakti.


Titisari sebenarnya sudah lama berada di sekitar lapangan. Sewaktu hendak
kembali ke kadipaten mencari Sangaji, ia melihat Pangeran Bumi Gede
menunggu kuda keluar jalan dengan diikuti semua pasukannya dan dua puluh
orang tetamu undangannya. Sebagai seorang cerdik tahulah dia, bahwa di luar
kadipaten terjadi suatu peristiwa yang penting. Meskipun demikian, masih
saja dia memasuki kadipaten. Ketika dilihatnya Sanjaya ke luar kadipaten
pula, dan semua kamar kosong tiada penghuninya, barulah ia mengejar mereka.
Segera ia menyaksikan pertempuran itu. Hatinya lega, ketika dilihatnya
Sangaji sehat wal'afiat. Bahkan anak muda itu siap pula bertempur.
Diam-diam ia bersiaga memberi bantuan, apabila kawannya dalam keadaan
berbahaya. Begitulah, dengan berturut-turut ia menyaksikan semua peristiwa
yang terjadi di tengah lapangan. Hanya saja ia tak mendengar janji Ki Hajar
Karangpandan hendak menjodohkan Sangaji dengan Nuraini. Tatkala hendak
menghampiri mereka, mendadak ia melihat berkelebatnya Sanjaya.


Anak muda itu sedang berbicara dengan seseorang yang berada di
tengah-tengah kerumunan manusia. Ia sadar, bahwa pemuda ningrat itu cerdik,
licik dan licin. Karena itu ia curiga. Ketika ia mengenal siapa orang yang
sedang diajaknya berbicara, sudahlah dia dapat menebak separoh bagian.
Lantas saja ia bersembunyi menunggu perkembangan.


Orang itu adalah Pringgasakti, murid ayahnya yang melarikan diri dengan
menggondol sebuah kitab pusaka. Ia mengenal orang itu dengan nama Abu.
Melihat dia bertempur melawan rombongan Sangaji, segera ia dapat
menempatkan diri. Begitu ia melihat Pringgasakti mulai dapat menguasai
lawannya, lantas saja ia muncul dan dengan cerdik menggunakan pengaruh ayahnya.


"Hm," dengusnya, "masih saja kamu berpura-pura dungu? Apakah kamu percaya,
bahwa kamu dungu? Apakah kamu percaya, bahwa aku bisa bebas mengarungi
lautan di luar pengetahuan ayah?"


Mendengar ujar Titisari, raut-muka Pringgasakti benar-benar jadi berubah.
Dengan suara gagap ia berkata, "Apakah ayahmu berada di sini?'


"Kamu boleh menebak-nebak sesukamu," sahut Titisari. "Legakan hatimu. Ayah
masih berada di luar kota. Beliau telah menemukan jejakmu. Aku disuruhnya
mendahului. Nah, sebelum Ayah




melihatmu, lekaslah kamu kabur. Kalau tidak, kamu harus mengembalikan kitab
pusakanya beserta bunganya."


Pringgasakti berdiri tegak. Tubuhnya menggigil sebentar. Kemudian ia
mencoba menguasai ketenangan. Berkata keras, "Kamu kelinci cerdik,
janganlah membohongi kakakmu. Ayahmu tak berada di sini."


"Bagus! Tapi mengapa aku bisa berada di sini? Bagaimana menurut pendapatmu?"


Pringgasakti diam menimbang-nimbang. Ia kenal ayah Titisari. Adipati
Karimun Jawa itu bukan orang sembarangan. la seorang sakti, kebal, cerdik
dan cerdas luar biasa. Seluruh dunia, hanya dia seorang yang dikagumi,
ditakuti dan disegani. Ia bisa berada di mana saja sesuka hatinya. Ia
timbul dan lenyap seperti iblis. Dan kekejamannya melebihi iblis juga.
Sewaktu ia berhasil mencuri kitab pusakanya dan melarikan diri dari pulau


Karimun Jawa bersama adiknya, ayah Titisari melampiaskan amarahnya kepada
segenap nelayan dan pegawai-pegawai kadipaten. Mereka dikutungi lengan dan
kakinya dan diusirnya pergi. Semuanya berjumlah empat puluh orang yang jadi
cacat tubuh sepanjang hidupnya. Sekarang ia mendengar dari Titisari, kalau
Adipati Karimun Surengpati sedang mencari jejaknya. Jika sampai bertemu,
bagaimana ia bisa melarikan diri lagi. Hukuman apa yang bakal ditanggung,
tak dapatlah dibayangkan lagi. Si kejam itu akan menurunkan tangannya
semau-maunya sendiri. Ia bisa dikutungi, diputuskan urat-nadinya, dicukil
matanya atau dicabut lidahnya. Memikirkan ancaman hukuman ini, hatinya jadi
keder sampai seluruh tubuhnya menggigil.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar