8.31.2019

@bende mataram@ Bagian 167

@bende mataram@
Bagian 167


"Bagus! Seperti seorang belajar menari atau menabuh gender. Tiap-tiap
bagian ada namanya. Umpamanya dalam ilmu menabuh gender atau clempung
terdapat istilah-istilah, Jarik-Kawung, Kutut Belut, Gantungan, Petih, Ayu
Kuning dan sebagainya. Nama-nama itu boleh diciptakan sesuka hati oleh yang
mengajar. Pokoknya memudahkan untuk penelitian dan ingatan. Juga pukulan
kuberi nama. Yang kautekuni tadi kuberi nama, Cacing Gering. Kemudian
perubahannya kuberi nama, Congor Babi, Anjing Buduk, Sate Gangsir, Terpedo
Kambing, Telur Kerbau, Sambel Goreng... hai! hai! Mana isterimu? Aduh, aduh
perutku! Perutku!"


Sehabis berkata begitu, ia menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba jadi
keruyukan. Lantas lari




berserabutan memasuki gua. Rupanya begitu menyebut jenis masakan,
teringatlah dia kepada masakan itu sendiri. Kebetulan sekali, semenjak tadi
pagi perutnya belum terisi sebutir nasi pun. Karuan saja, ia jadi blingsatan.


Mau tak mau Sangaji tersenyum geli. Siapa mengira, orang sesakti dia,
mempunyai tabiat doyan makan dan menggelikan. Sebentar ia mengawasi larinya
Gagak Seta yang pontang-panting memasuki gua, kemudian segera dia berlatih.


Waktu itu, Titisari telah mulai memasak di dalam gua. Ia tahu Gagak Seta
sedang menurunkan ilmu saktinya kepada Sangaji. Diam-diam ia bersyukur
dalam hati. Ia berdoa, moga-moga Gagak Seta berkenan menurunkan seluruh
ilmu saktinya dan Sangaji sanggup pula menerima warisannya. Untuk ikut
menyatakan terima kasih, dengan sungguh-sungguh ia memasak beberapa resep
masakan yang istimewa. Pikirnya, biarlah Paman Gagak Seta tahu, kalau kami
tahu apa arti terima-kasih. Tapi selagi ia membumbui beberapa ekor ikan dan
sedang pula dibakar, di luar dugaan asapnya meruap sampai ke luar gua.
Tahu-tahu, Gagak Seta sudah berada di sampingnya sambil mencak-mencak.


"Masakan apa ini? Masakan apa ini?"


Belum lagi Titisari dapat menjawab, tangannya sudah menyambar dua ekor ikan
sekaligus dan digerogoti sampai tulang-tulangnya.


"Bukan main! Bukan main!" pujinya berulang kali. Mulutnya terus dijejali
penuh-penuh, sampai tak kuasa berbicara lagi. Sekaligus menghabiskan enam
ekor ikan sebesar lengan kanak-kanak.


Ketika keenam ekor ikan tadi sudah habis dikunyahnya, barulah ia teringat
kepada Sangaji yang perutnya belum terisi sebutir nasi juga. Lantas ia
berkata menyesali diri sendiri.


"Ai! Ai! Perut edan! Perut gendeng! Mana kawanmu si bocah tolol itu! Suruh
berhenti dulu! Masa mau berlatih sampai mati?"


Tetapi Titisari hanya membalasnya dengan senyum. Bahkan tanpa berbicara ia
menyodorkan dua ekor ikan bakaran lagi. Gagak Seta jadi perasa, la jadi
sungkan sendiri. Meskipun demikian, tangannya menerima pemberian itu.


"Masakanmu benar-benar hebat!" ia mengalihkan pembicaraan untuk
menyembunyikan rasa sungkannya. "Masakan apa ini namanya?"


"Sebenarnya, kalau Paman agak bersabar sedikit, akan kumasakkan semacam
masakan khas dari Karimun Jawa," sahut Titisari seolah-olah menyesali.


"Ah!" Gagak Seta terhenyak. Mendadak mulutnya berliur tak karuan. Dan mau
tak mau, Titisari geli juga menyaksikan pera-ngainya.


"Baiklah! Biarlah aku menangkap beberapa ekor ikan lagi dan aku ingin
mencoba masakan Karimun Jawa."


"Tak usah tergesa-gesa," potong Titisari membesarkan hati. "Aku percaya,
Paman pandai menangkap ikan. Tapi aku yakin Paman belum pandai memilih
jenis ikan."


Gagak Seta diam menimbang-nimbang. Kemudian berkata mengakui.


"Ya, benar. Bagaimana aku bisa melawanmu dalam hal memilih jenis ikan."
Titisari kemudian mengalihkan pembicaraan.


"Kulihat muridmu tadi sudah bisa mematahkan batang pohon dalam sekali tumbuk."


Gagak Seta menggelengkan kepala sambil berkata, "Belum! Belum bisa dia
mematahkan batang pohon. Paling-paling hanya menggoyang-goyangkan sampai
melengkung. Sebenarnya, dia harus sanggup mematahkan sebatang pohon sebesar
lengan dengan sekaligus. Mengingat ia telah memiliki rejeki besar dalam
dirinya."


"Apakah itu?"




"Dia memiliki semacam tenaga ajaib dalam dirinya. Katanya, itulah getah
pohon sakti Dewadaru," sahutnya sungguh-sungguh. "Pastilah kamu mengerti,
bahwa untuk memi-liki pukulan sakti, orang harus berlatih dulu sampai
memiliki dasar tenaga murni. Inilah dasar utama. Sebab sekali pun orang
memiliki macam ilmu silat yang sebagus-bagusnya, tetapi tidak ada tenaga di
dalamnya adalah semacam hembusan angin menyerak-nye-rakkan dedaunan. Itu
tidak ada gunanya." Ia berhenti dengan dahi berkerenyit seakan-akan
berpikir keras. Tiba-tiba bertanya, "Hai Nona kecil, apa dia suamimu?"


Titisari adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik. Meskipun demikian,
mendapat pertanyaan Gagak Seta, ia terbungkam. Orang tua itu lantas tertawa
terbahak-bahak.


"Eh! Eh! Apakah aku salah omong? Ah, akulah yang tolol! Bukankah kalian
sedang berpacaran melulu? Baiklah! Aku kenal watak ayahmu. Seumpama kamu
sudah menyetujui pemuda itu, dan ayahmu merintangi, aku tak bakal diam. Aku
akan tampil ke depan mengurus perjodohan kalian. Andaikata ayahmu
menentang, biarlah aku bertempur satu tahun sampai salah seorang mati."


Entah apa sebabnya, Titisari bahagia mendengar kata-kata Gagak Seta.
Hatinya tiba-tiba menjadi senang dan tentram sampai air matanya hampir
membersit dari kelopak mata. Maka cepat-cepat ia menundukkan pandang ke
tanah sambil mencari sisa ikan lainnya, hendak dibakarnya dengan segera.


Gagak Seta adalah laki-laki yang sudah banyak makan garam. Dengan
sendirinya, tahulah dia menebak keadaan hati si gadis. Maka dengan lancar
ia berkata, "Dengarkan, Nona manis. Bakal suamimu itu, meskipun bakatnya
kalah jauh daripadamu tetapi berkat getah sakti itu, dia kelak akan menjadi
seorang pendekar ajaib yang sakti luar biasa. Tadi kulihat keajaiban
terpancar dari dirinya. Apabila kemudian hari, ia bisa melebur kedua macam
ajaran mengatur napas dan menghimpun tenaga yang dimiliki, tubuhnya akan
kebal dari segala. Bahkan apabila kena serangan dahsyat, maka yang
menyerang itu akan terpental balik. Sekarang tinggal melatih dan memasaknya
sampai kokoh benar. Siapa tahu, kedua macam ilmu mengatur napas dan
menghimpun tenaga akan bisa pula membersihkan otot-otot urat saraf,
sehingga pada suatu hari akan menjadi seorang manusia yang cerdas luar
biasa. Mengapa? Karena pada hakekatnya, Ilmu Bayu Sejati dan Kumayan Jati
itu seumpama sepasang suami istri yang saling memberi rasa asmara."


Titisari bersyukur dalam hati, mendengar tutur Gagak Seta. Ia percaya,
kalau ketajaman mata seorang ahli seperti yang cerdik, ia pandai
menyembunyikan kesan hatinya. Pandangnya tetap murung. Bahkan ia bisa
berkata dengan nada Gagak Seta tak mungkin salah. Tetapi sebagai seorang
gadis kurang senang.


"Bagus! Tapi dasar Paman berat sebelah. Seumpama dia menghinaku, apakah
yang akan Paman lakukan?"


Gagak Seta hendak mengambil hati si gadis. Mengapa dia berlaku demikian,
tidak seorang-pun di dunia ini yang bisa menerangkan. Dia sendiri tak
pandai membaca perasaan hatinya. Yang terasa dalam hati ialah ia senang
melihat Titisari, seolah-olah gadis itu bagian dari dirinya sendiri.
Barangkali karena tingkah lakunya begitu lincah dan cekatan. Lagi pula bisa
melayani dirinya. Kecuali itu pandai memasak pula. Rasanya, dia segan mau
berpisah daripadanya.


"Nona manis! Janganlah kamu bersedih. Coba katakan, apa yang kaupinta?
Seyogyanya aku hanya mengajar bakal suamimu satu dua jurus semata?" katanya.


"Tidak! Tidak!" Sahut Titisari cepat. "Bahkan Paman harus mengajarkan
dengan sungguh-sungguh. Syukur bisa menerima seluruh kepandaian Paman.
Hanya saja, Paman harus pula memberi ilmu simpanan kepadaku, yang bisa
memenangkan dia."


"Eh, anak siluman. Kamu benar-benar licin seperti ayahmu."


"Baiklah. Memang aku tak punya anak dan merindukan seorang anak selincah
kamu. Rasanya




tidak ada ruginya, mengabulkan permintaanmu. Moga-moga dikemudian hari—
kalau tulang belulangku sudah rontok—kau sudi mengurusi." Ia berhenti
mengesankan. Meneruskan, "Bakatmu lebih baik daripada calon suamimu itu.
Sebelum dia bisa memahami semua ilmu yang kuberikan kepadanya, kamu akan
kuberi suatu ilmu. Aku percaya, kamu akan cepat mengerti sebelum dia paham
ekornya. Ilmu itu merupakan tenaga imbangan dahsyat dari Kumayan Jati.


Namanya, Ratna Dumilah. Konon kabarnya—menurut cerita—ilmu itu berasal dari
Sanghyang Tunggal yang diberikan kepada putranya kedua, Sanghyang lsmoyo.
Ilmu itu khusus untuk melawan Ilmu Kumayan Jati yang diberikan Sanghyang
Tunggal kepada putranya ke empat, Sanghyang Manikmaya.


Tetapi karena kalian berdua adalah calon suami-isteri, maka akan kubuat
sedemikian rupa sehingga kalian berdua tak bisa saling menyentuh dan
melukai. Kau mengerti maksudku?"


Sehabis berkata demikian dan belum lagi Titisari membalas pertanyaannya, ia
meloncat dan bersilat berputaran cepat luar biasa. Gerak-geriknya cekatan,
gesit luar biasa sampai bisa mengaburkan penglihatan. Tapi anehnya, tidak
menerbitkan suatu tenaga dahsyat yang membahayakan. Setelah ia berhenti
bersilat, Titisari sudah bisa mengingat-ingat separah.


"Seluruhnya berjumlah 36 jurus," kata Gagak Seta. 'Tetapi mempunyai silang
perpecahan tujuh sudut tiap jurus. Jadi berjumlah 7 x 36, ditambah dengan
delapan penjuru. Utara, barat, selatan, timur, kemudian tenggara, barat
daya, timur laut dan barat laut. Jadi keseluruhan berjumlah 7 x 36 x 8 =
1008 jurus pecahan. Meskipun nampaknya tidak bertenaga, tetapi ilmu itu
memiliki daya lingkaran rahasia dan daya libatan rahasia. Dalam sekali
putaran, ilmu itu membawa pengaruh hawa tertentu. Sudut anginnya tajam luar
biasa, bagaikan sebilah pedang. Karena Ismoyo itu artinya dunia, maka
gerakannya berputar terus menerus seperti arus samudra dan arus angin yang
mengitari jagad. Kau sudah paham?"


Titisari lantas berdiri. Terus ia bersilat menirukan gaya Gagak Seta. Dasar
otak terang dan memiliki bakat keturunan yang luar biasa, hampir saja dia
bisa melakukan gerakan-gerakan Ilmu Ratna Dumilah dengan sempurna. Dia
hanya membutuhkan beberapa petunjuk dan penjelasan. Selang tiga jam, dia
sudah hapal seluruhnya. Tinggal memahirkan belaka.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar