8.30.2019

@bende mataram@ Bagian 164

@bende mataram@
Bagian 164


Tatkala Sangaji sedang asyik mengamat-amati kedua kudanya merenggut
rerumputan, sekonyong-konyong pundaknya terasa kena raba. Ia kaget luar
biasa. Karena sebagai anak murid Wirapati dan Jaga Saradenta, ia sudah
diajar dan diasuh meng-gunakan ketajaman pendengaran. Tapi si pendatang
kali ini tidak dapat tertangkap oleh pendengarannya. Suatu bukti bahwa
ilmunya sudah mencapai taraf kesempurnaan yang susah untuk dinilai. Waktu
ia menoleh, dilihatnya Gagak Seta berdiri merenungi dirinya.


"Eh, bocah! Dalam hal kecerdikan dan bakat, kamu kalah jauh daripada
kawanmu. Tapi dalam hal kejujuran barangkali aku memilihmu, kawanmu itu
mempunyai sifat-sifat berbahaya. Tak bisa aku lekas-lekas percaya
kepadanya. Karena itu, kemarilah! Aku akan mewariskan suatu ilmu khusus
bagimu," katanya.


Dengan gembira Sangaji menghadap padanya. Kemudian Gagak Seta berkata
melanjutkan, "Sekarang cepatlah kamu bersumpah kepadaku, bahwa tanpa
seijinku kamu kularang mewariskan ilmu ini kepada siapa saja. Juga terhadap
bakal isterimu yang licin sebagai belut itu. Nah, bersumpahlah!"


Sangaji yang sudah jadi bergembira, sekonyong-konyong nampak pudar. Pandang
mukanya jadi resah.


"Paman! Aku tak dapat bersumpah demikian terhadapmu. Sebab kalau Titisari
meminta agar aku mengajarkan ilmu Paman, tak dapat aku menolak."


Tapi ilmuku ini bukan ilmu murahan. Bakal berimu itu cerdik luar biasa dan
mempunyai s -at-sifat liar. Kalau kamu tak pandai menjaga diri, di kemudian
hari kamu bakal bisa ditak-lukkan dan disusahkan."


Sangaji diam menimbang-nimbang. Sejurus kemudian menjawab, "Jika demikian,
biarlah Paman tak usah mengajariku. Tak ingin aku belajar sesuatu ilmu yang
kelak akan merisaukan hati. Biarlah Titisari jauh lebih gagah daripadaku."


"Hai! Mengapa?"


"Sebab kalau dia minta kuajari, tak dapat aku menolaknya. Inilah sulit. Aku
akan mengkhianati Paman. Sebaliknya kalau kutolak, rasanya kurang
menyenangkan. Tak sampai hatiku, melihat dia akan bermurung sedih karena aku."


Mendengar keterangannya, Gagak Seta tertawa lebar. Gerutunya, "Anak goblok!
Biar otakmu bebal, hatimu mulia dan matamu tajam. Kau jujur sekali. Rasanya
tak gampang-gampang pula, bertemu dengan seorang pemuda seperti kamu.
Baiklah! Biarlah aku menyulapmu menjadi tandingan anak Adipati Surengpati
Karimun Jawa." la berhenti mengesankan diri. Meneruskan, "Kamu tahu, ayah
calon isterimu itu angkuh luar biasa. Ganas, kejam dan gagah perkasa.
Kegagahannya sebanding dengan Arya Penangsang pada zaman Kerajaan Bintara.
Dia merasa diri menjadi orang sakti nomor satu di jagad ini. Aha ... nah,
biarlah dia menyenakan mata. Kamu akan kuwarisi ilmuku Kumayan Jati. Tapi
entah kaumampu atau tidak. Sebab untuk bisa memiliki ilmu itu, kamu harus
berani bertapa paling tidak tujuh bulan..."


Sehabis berkata demikian, dia lantas berputar sambil menekuk lutut.
Kemudian tangannya menyodok. Dan tiba-tiba sebatang pohon yang berdiri
tegak dua puluh langkah di depannya,


patah berantakan. Dan dengan suara gemeretak, pohon itu tumbang sekaligus.


Sangaji kagum luar biasa. Hatinya bergetar. Dahinya pucat, karena
terperanjat dan tercekam suatu perbawa yang luar biasa kuat. Sama sekali
tak disangkanya, kalau dengan suatu sodokan yang nampaknya begitu sederhana
bisa menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuhnya. Kalau saja itu seorang
manusia, bisa dibayangkan bagaimana akan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba
saja insyaflah dia, apa arti julukan dan gelar orang sakti itu. Benar-benar
bukan suatu gelar kosong melompong.


"Pohon itu adalah suatu benda tak bergerak," Gagak Seta menjelaskan dengan
sederhana. "Jika dia manusia tidaklah semudah itu kena bidik. Sebab dia
bisa maju mundur, mengelak, meloncat tinggi atau mengendapkan diri. Karena
itu, tata-berkelahi Ilmu Kumayan Jati adalah lain daripada yang lain. Kamu
harus bisa mendesak musuh demikian rupa, sehingga dia tak dapat bergerak
lagi seolah-olah terdorong ke pojok. Kemudian kauhantam dengan pukulan itu.
Kalau dia bergerak hendak menangkis, nah itulah maksud pukulan Kumayan Jati
sesungguhnya. Sebab begitu dia menangkis, dia akan runtuh seperti
tumbangnya pohon tadi."


Sekali lagi. Gagak Seta melontarkan pukulan Ilmu Kumayan Jati ke arah suatu
pohon yang lebih besar. Pohon itu pun lantas saja gemeretak patah
berantakan dan tumbang ke tanah.


"Tapi Ilmu Kumayan Jati itu tidaklah hanya berupa suatu pukulan tunggal
belaka. Sekiranya hanya satu macam pukulan belaka, akan cepat diketahui
lawan. Lalu lawan akan berusaha menciptakan suatu daya pertahanan sehingga
Ilmu Kumayan Jati tidak berguna lagi. Sekarang lihat!"


Gagak Seta memutar tubuh untuk yang ketiga kalinya. Tiba-tiba tangannya
bergerak seperti mengusap, ke arah sebatang pohon. Sehabis bergerak
demikian, ia berdiri tegak sambil tersenyum puas.


Sangaji heran mengapa orang tua itu tersenyum puas. Dilihatnya pohon yang
menjadi sasaran bidiknya masih saja segar-bugar. Tidak nampak suatu
perubahan. Ingin ia minta penjelasan, tiba-tiba Gagak Seta berkata memerintah.


"Mengapa berdiri tegak seperti batu? Dekatilah dan lihat!"


Dengan kepala kosong, Sangaji menghampiri pohon itu. Sesampainya di depan
pohon itu, tak tahulah dia apa yang harus dilakukan.


"Dorong!" Perintah Gagak Seta dari kejauhan.


Sangaji mendorong pohon itu dengan telapak tangannya. Mendadak saja, pohon
itu roboh hancur berkeping seperti rapuh.


"Hai! Mengapa begini rapuh?" serunya heran. Gagak Seta tertawa berkakakan.


"Kamu masih belum percaya? Nah, cobalah pilih sebatang pohon yang terkuat!"


Di seberang-menyebrang jalan, banyak terdiri batang-batang pohon liar. Maka
dengan mudah Sangaji bisa memilih pohon kuat sentosa. Ia mencoba memeriksa
dengan suatu dorongan dan depakan. Yakin, bahwa pohon itu tangguh sentosa,
maka segera ia berkata nyaring.


"Inilah pilihanku."


"Bagus! Sekarang minggirlah cepat dan sedikit menjauh!" perintah Gagak Seta.


Dengan cepat Sangaji melompat ke samping. Ia berdiri tegak mengawaskan
gerak-gerik Gagak Seta yang sedang berputar mengayunkan tangan kemudian
seperti tadi, ia mengusapkan tangannya. Setelah itu berdiri tegak sambil
tersenyum. Perintahnya, "Periksalah!"


Dengan kepala menebak-nebak dan jantung berdegupan, Sangaji menghampiri
pohon itu. Ternyata pohon itu sekaligus roboh berantakan begitu kena raba.
Orat-uratnya hancur seperti terhangus. Kulitnya remuk berkeping seperti
abu. Sudah barang tentu, anak muda itu heran


terlongoh-longoh seperti kanak-kanak menonton permainan sulap.


"Nah, ke marilah!" perintah Gagak Seta. "Dengarkan kuberi kamu suatu
penjelasan."


Dengan rasa takjub, kagum, hormat dan takluk, Sangaji datang
menghampirinya. Orang tua itu lantas saja memberi penjelasan.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar