8.23.2019

@bende mataram@ Bagian 149

@bende mataram@
Bagian 149


Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta kenal akan kegagahan Pringgasakti. Akan
tetapi begitu mereka mendengar ucapannya yang bernada sombong dan tak
memandang orang, tanpa memperhitungkan akibatnya lantas saja mereka
menyahut berbareng.


"Bagus! Mari kita mencoba bergebrak dalam sepuluh jurus."


"Baik," jawab Pringgasakti sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Bagaimana jika
kalian tak dapat mempertahankan dalam sepuluh jurus?"


"Kalau tak dapat bertahan dalam sepuluh jurus, apa pedulimu?" sahut Jaga
Saradenta yang berwatak uring-uringan. "Kalau aku mampus, apa kamu mau
menangis?"


Pringgasakti lantas saja menjejak tanah tiga kali sambil berkumat-kamit
membaca mantran. Kemudian membentak, "Bagus! Kau pendeta edan, minggirlah
dahulu. Aku kan mengirimkan kawanmu ini ke neraka biar digerumuti setan."


Setelah membentak demikian, ia mengeluarkan senjatanya yang lain berbentuk
sebongkah batu baja. Batu baja bertali, ternyata senjata itu berbentuk
semacam bandul-an. Kemudian ia mengayun-ayunkan berputaran sampai berbunyi
berdengungan. Orang-orang yang




menyaksikan senjata aneh itu, pada kasak-kusuk membicarakan. Meskipun
mereka bukan ahli-ahli tata-berkelahi, tapi tahu bagaimana akibatnya bila
orang kena kemplang bandul batu baja. Seseorang yang tidak memiliki
sekelumit kepandaian, akan hancur kepalanya jika kena sambit. Jangan lagi
kena sambit, baru saja tergulung kesiur anginnya sudah bisa dirobohkan
tanpa berkutik.


Ki Hajar Karangpandan sadar akan bahaya. Ia segera menyerahkan cempuling
Jaga Saradenta kepada pemiliknya. Dia sendiri lantas mengeluarkan sepucuk
senjata berbentuk bulan sabit. Sedangkan Ki Tunjungbiru diam-diam
mengeluarkan senjata andalannya pula terbuat seperti penjalin dan berbentuk
semacam tongkat panjang.


"Kalian sudah siap?" tantang Pringgasakti. "Nah, amat-amatilah
sekelilingmu, karena sebentar lagi kalian akan berpisah untuk
selama-lamanya dari semuanya."


Tanpa berbicara lagi, Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta telah membuka
serangan. Senjata mereka jauh berbeda, tetapi mempunyai tipu-tipu serangan
yang hampir sama dan sejiwa. Dalam satu gebrakan, cempuling Jaga Saradenta
mengarah mata, pelipis, hidung, tenggorokan dan dada. Sedangkan tongkat Ki
Tunjungbiru, menyodok perut, menyabet pinggang, menusuk ketiak dan membabat
kaki. Dengan demikian, Pringgasakti sudah terancam penuh-penuh. Tetapi
Pringgasakti memang seorang yang tangguh. Kalau tidak, masa dia sanggup
bertempur melawan guru Wirapati sampai tujuh hari tujuh malam lamanya.
Dalam setiap pertempuran, belum pernah ia dikalahkan. Kecuali tatkala
melawan Adipati Karimun Jawa Surengpati—ayah Titisari. la hanya cukup
menggunakan tiga jurus. Pada jurus keempat, lawannya pasti sudah kena
dirobohkan. Itulah sebabnya, ia tak memandang mata terhadap macam serangan
lawan. Meskipun demikian, kali ini ia terkejut benar-benar. Sama sekali tak
diduganya, bahwa dalam satu gebrakan saja lawannya telah mengancam seluruh
tubuhnya yang berbahaya. Cepat ia memutar senjata ban-dringannya sambil
menusukkan alunya. Dengan menerbitkan suara berdetakan ia menangkis dan
mendesak lawan.


"Bagus!" teriak Ki Hajar Karangpandan. "Satu, dua, tiga, empat, lima. Nah,
tinggal lima jurus saja."


Mendengar teriak Ki Hajar Karangpandan, Pringgasakti mendongkol bukan main.
Dalam mengatakan sepuluh jurus tadi, maksud Pringgasakti adalah, jika
mereka berdua sanggup mempertahankan serangannya dengan sepuluh jurus.
Tetapi Ki Hajar Karangpandan yang berwatak edan-edanan itu, sudah
menghitung jumlah serang-menyerang kedua belah pihak. Meskipun demikian,
Pringgasakti yang tinggi hati tak mau cekcok berebut benar. Dengan sedikit
menggerakkan tangan, batu bajanya lantas saja berputar kencang dan dengan
suara mengaung-aung menyerang bertubi-tubi.


Benar-benar cepat dan diluar dugaan orang, cara Pringgasakti menyerang
musuh-musuhnya. Tahu-tahu batu baja telah menerobos jaring-jaring
pertahanan mereka dan kini menyambar dada. Jarak batu baja dengan dada
mereka sudah terlalu dekat. Tak mungkin mereka bisa menghindar atau
membebaskan diri. Sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru malah maju sambil
menonjokkan tongkatnya. Serangan mengarah kepada urat nadi yang berada di
bawah leher. Jika mengenai sasaran, meskipun Pringgasakti berkepandaian
setinggi langit, akan punah semua kesaktiannya dan akhirnya akan hidup
cacat selama-lamanya.


Sadar akan bahaya, Pringgasakti cepat-cepat menarik batu bajanya, la enggan
mati berbareng dengan lawannya. Dengan demikian, masing-masing bebas dari
ancaman bahaya.


Enam, tujuh, delapan, sepuluh ... Ya sepuluh jurus!" Teriak Ki Hajar
Karangpandan. "Hai kau iblis edan!- Kedua kawanku telah berhasil menangkis
sepuluh seranganmu. Sekarang kau mau apa?"


Dalam dua gebrakan itu, Pringgasakti tahu bahwa mereka bukan tandingannya.
Ia tahu, bahwa jika bertempur sungguh-sungguh dalam sepuluh jurus pasti
akan dapat merobohkan mereka. Sungguh mendongkolkan, mengapa pendeta edan
itu sudah menghitung dua gebrakan




sejumlah sepuluh jurus. Dengan mata melolot ia berpikir, baik! Kau boleh
mengumbar mulutmu. Biar kurobohkan dahulu mereka. Baru akan membungkam mulutmu.


Setelah memperoleh ketetapan demikian. Lantas saja ia menyerang Ki
Tunjungbiru dan Jaga Saradenta. Mereka lantas saja bertempur dengan seru.
Ki Hajar Karangpandan jadi gelisah. Tahulah dia, bahwa Ki Tujungbiru dan
Jaga Saradenta takkan mampu melawan kesaktian Pringgasakti. Andaikata dia
sendiri ikut pula terjun dalam gelanggang pertarungan, belum tentu dapat
menolong mereka.


Memang Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta waktu itu sudah mulai terdesak
kalah. Setelah mendapat pengalaman getir, hati mereka jadi gentar. Tak
berani lagi mereka menyambut serangan lawan secara berhadapan. Gerakan
lawan terlalu cepat dan diluar dugaan. Maka mereka melayani Pringgasakti
dengan cara lain. Dengan mengerahkan tenaga, mulailah mereka bergerak
berputaran. Terang sekali mereka hendak menggempur lawan dari samping.
Tetapi Pringgasakti bukan anak kemarin sore. Seketika itu juga, tahulah dia
menebak maksud mereka. Senjata ban-dringnya lantas saja diputarnya
kencang-kencang dan senjata alunya menggempur dari depan. '


Menyaksikan kehebatan Pringgasakti, Ki Hajar Karangpandan mengeluh. Tak
dapat lagi ia tinggal diam. Meskipun tak ungkulan ia harus membantu
secepat-cepatnya. Tetapi belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong
berkelebatlah sesosok bayangan yang terus saja merabu lawan. Itulah
pendekar muda Wirapati yang sudah semenjak tadi berada di luar gelanggang
memperhatikan pertarungan mereka. Ki Hajar Karangpandan jadi berbesar hati.
Lantas saja dengan bersuit panjang, ia memutar senjatanya dan bergerak
berputar dengan gesit.


Dengan demikian Pringgasakti dikerubut empat orang. Ternyata ia tangguh
luar biasa.


Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia merubah tata-berkelahinya. Tak berani
lagi ia memandang rendah lawan-lawannya. Senjata alunya kemudian
diangkatnya tinggi dan menggempur pundak Jaga Saradenta. Jaga Saradenta
kaget bukan main. Tak sempat ia menangkis atau menghindar. Ia menutup mata
menerima nasib. Sekonyong-konyong ia mendengar suara benda beradu. Ia
menyenak mata dan melihat pedang Wirapati menangkis serangan si iblis.
Hebat akibatnya. Pedang Wirapati meskipun tiada patah, tetapi melengkung
menjadi bulan sabit. Dan lengannya terasa nyeri menusuk jantung. Terpaksa
ia meloncat mundur sambil menarik napas dalam.


Sangaji yang berada di luar gelanggang gugup menghampiri gurunya. Tetapi ia
didorong pergi.


"Minggir! Kamu bukan tandingannya," kata gurunya. Setelah berkata demikian,
gurunya meloncat lagi memasuki gelanggang. Dan diam-diam si bocah kagum,
bagaimana gurunya dapat memulihkan tenaganya begitu cepat.


Sekarang ia memusatkan seluruh penglihatannya ke medan pertempuran. Ki
Tun-jungbiru sedang melabrak maju. Bentuk dan perwujudan orang itu
benar-benar mirip


Pringgasakti. Pantaslah—kedua gurunya dahulu—pernah menyangka dia si iblis
Pringgasakti. Dan kedua gurunya, dengan gerak-geriknya yang aneh mengepung
dari samping. Sedangkan Ki Hajar Karangpandan menyerang dengan berputaran.
Pendeta edan itu mengandalkan kegesitannya. Ia bertarung seperti seekor
Belibis yang timbul tenggelam di antara gelombang serangan lawan.


Tak lama kemudian Wirapati telah berhasil melibat kaki Pringgasakti. Ia
menggaet dengan pedangnya yang sudah melengkung. Tetapi aneh. Meskipun ia
menarik dengan sekuat tenaga, kaki Pringgasakti tak bergeming. Kulitnya
sangat kebal. Malahan dengan tiba-tiba alu Pringgasakti sudah berkesiur
menyambar mukanya.


Cepat-cepat ia menarik pedangnya dan menangkis sedapat-dapatnya. Ia
berhasil membebaskan diri dari serangan si iblis, meskipun demikian
lengannya jadi pegal kena tindih suatu tenaga dahsyat.




Selama hidupnya, baru kali ini Sangaji melihat kedua gurunya bertempur
melawan musuh tangguh. Ia selalu mengagung-agungkan keperkasaan dan
kesaktian kedua gurunya, tak tahunya pada hari itu dengan mata kepalanya
sendiri dia menyaksikan bagaimana mereka berdua jadi kerepotan melawan si
iblis.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar