8.31.2019

@bende mataram@ Bagian 166

@bende mataram@
Bagian 166


Sangaji tadi heran menyaksikan pukulannya sendiri yang sudah mempunyai
prabawa, sampai hatinya tak mau percaya. Ia belum mendapat pegangan
darimanakah asal tenaga dorong sekuat itu. Tetapi diam-diam hatinya bangga
dan bersyukur. Mendadak Gagak Seta memerintahkan agar menggempur padanya..
Keruan saja, ia jadi bingung berbimbang-bimbang. Pikirnya, mahkota dedaunan
bisa kuron-tokkan. Apakah dia yang terdiri dari darah dan daging bisa
bertahan? Gagak Seta rupanya bisa menebak kata hatinya. Maka orang tua itu
berseru nyaring, "Pukulanmu lagi bisa menggoyangkan pohon. Takkan mampu
menewaskan aku."


Mendapat penjelasan itu, anak muda itu jadi berlega hati. Segera ia menarik
napas menurut ilmu ajaran Gagak Seta. Tubuhnya meliuk, lutut ditekuk dan
sambil berputar ia menjodok. "Dak"


Gagak Seta tergetar sedikit. Matanya menutup rapat.


Mulutnya kemudian mengulum senyum. Katanya, "Eh—lumayan juga. Sekarang
gunakanlah ilmu tarikan napas yang pernah kautekuni. Dan gempurlah aku!"


Heran Sangaji mengawasi orang tua itu. Hatinya beragu lagi. Apakah
pukulanku tadi salah, sehingga tidak ada pengaruhnya?— pikirnya sibuk. Ia
tak tahu, kalau pukulannya tadi seujung rambut pun tak berbeda dengan
pukulannya yang pertama sewaktu memukul pohon. Hanya saja, keputusan Gagak
Seta mengumpankan diri sendiri untuk memperoleh jawaban, adalah luar biasa.
Jika tidak mempunyai pegangan kuat, bagaimanapun juga takkan berani
menerima pukulan Sangaji.


"Hai tolol!" bentak Gagak seta. "Pukulanmu hebat! Tak beda dengan tadi.
Hanya saja belum bisa menewaskan aku! Kaudengar? Nah—jangan tergugu seperti
orang linglung!


Sekarang kerjakan apa yang kuperintahkan tadi. Aku ingin mengetahui titik
perbedaannya." Puaslah hati Sangaji mendapat penjelasan ini. Diam-diam
hatinya kagum kepada orang-tua itu.




Benar-benar hatinya merasa takluk. Apakah tubuhnya lebih kukuh daripada
sebatang pohon? pikirnya lagi. Tak sempat lagi ia menunggu jawabannya.
Dalam dirinya terasa ada semacam hawa hangat yang merayap memenuhi
tubuhnya. Kemudian ia maju menggempur Gagak Seta.


Hebat suara itu. Tetapi Gagak Seta seperti tak merasakan sesuatu. Matanya
merem-me-lek seperti seseorang yang lagi menikmati makanan lezat.


"Telah kuduga! Telah kuduga!" serunya girang. Kemudian ia tertawa
berkakakan sambil mendongakkan kepala.


"Bocah tolol! Dengarkan penjelasanku! Apa yang pernah kaupelajari itu
adalah bait-bait Ilmu Bayu Sejati. Itulah suatu ilmu yang mengutamakan
tenaga semata untuk daya pertahanan. Apakah orang yang mengajarimu, pernah
menerangkan nama ilmu itu?"


Sangaji bergeleng kepala.


"Ah! Sekarang tahulah aku, mengapa kau begitu ulet, tabah dan makin lama
makin gagah tatkala kau tadi bertempur melawan calon isterimu. Itulah
berkat ajaran ilmu tarikan napas Bayu Sejati. Dasarnya adalah sama. Yakni
bersandar pada tenaga sakti kodrat manusia. Eh—eh ...


bocah tolol! Siapa mengira, kamu mempunyai tenaga sakti getah pohon
Dewadaru. Itulah karunia alam yang hebat bukan kepalang," kata Gagak Seta
girang. Kemudian ia merebahkan diri ke tanah dan berbaring merenungi angkasa.


"Sekiranya di kemudian hari kau berhasil menjalin dua ilmu ini sebagai satu
pengucapan, alangkah kamu akan jadi gagah perkasa. Tapi sekarang—di bawah
asuhanku— kamu kularang mengingat-ingat ilmu ajaran yang lalu. Sebab
lakunya jauh berlainan. Ilmu ajaranmu dahulu, adalah ilmu buat perempuan,
bukan buat laki-laki. kalau kamu diserang, kamu hanya mampu bertahan.
Sekiranya lawanmu menggenggam senjata tajam, apakah kamu hanya menerima
hajarannya belaka tanpa bisa membalas? Eh—bocah tolol! Akhirnya kamu hanya
jadi bakaran sate kambing!" ia berhenti mengesankan. "Karena itu, meskipun
kelak kamu mahir dengan ilmu ajaran dahulu, paling-paling kamu hanya bisa
menjadi seorang ahli olahraga belaka. Paling-paling kamu hanya pandai
meloncati jurang, memanjat pohon seperti kera dan tahan berenang di lautan
seperti ikan."


Gagak Seta tertawa berkakakan. Sangaji jadi heran terkejut. Mula-mula ia
memang agak tersinggung mendengarkan ulasan orang tua itu yang begitu
menusuk. Tetapi apa yang dikatakan adalah benar. Teringatlah dia, bagaimana
Ki Tunjungbiru pernah mem-pamerkan kepandaiannya menangkap dua ekor kera,
meloncat jurang dan bersampan di atas lautan menembus derum angin dan
gelombang. Dia pun hanya mengesankan, bahwa ilmu ajarannya hanya berguna
untuk membantu menelan ajaran ilmu kedua gurunya.


"Memang Ki Tunjungbiru hanya berkata, kalau ilmu itu adalah ilmu untuk
bersemedi. Bukan untuk berkelahi." Sangaji mencoba untuk mempertahankan.


"Bagus!" Sahut Gagak Seta cepat. "Aku pun tak mencela ilmu itu. Tapi kau
tahu apa arti bersemedi itu? Semedi itu adalah perempuan waktu hamil. Dia
tak bisa bergerak cepat. Tak bisa makan terlalu kenyang. Tak bisa minum
sebanyak sediakala. Tak bisa tidur tengkurap atau miring terlalu lama.
Pokoknya serba kurang dan tanggung. Laripun dia tak mampu.


Apa lagi berkelahi. Karena itu aku berkata, ilmu semedi itu adalah ilmu
perempuan! Kamu sakit hati?"


Sebenarnya Sangaji mendongkol mendengar semua kata-kata Gagak Seta. Tapi
karena kesannya lucu, diam-diam ia tersenyum geli.


"Lantas? Apakah yang harus kulakukan?" Ia mengalihkan pembicaraan.


"Berlatih dan berlatih, tolol!" damprat Gagak Seta. "Rejekimu sudah terlalu
besar. Bahwasanya tanpa bertapa, kamu sudah memiliki tenaga sakti yang
ajaib. Dulu aku pun tak bisa memiliki suatu bekal seperti kamu. Aku cuma
bisa menghapal jurus-jurusnya belaka. Tenaga saktinya, harus kutempuh
dengan bertapa selama tiga tahun terus menerus."




Sangaji tak berkata lagi. Ia memilih sebatang pohon yang berdiri tak jauh
daripadanya. Kemudian ia berlatih. Mula-mula ia mengatur napas dan
memusatkan ke urat nadi menurut ajaran Gagak Seta. Setelah itu menekuk
lutut, berputar dan meliuk tubuhnya. Lantas menyodok dengan menumpahkan
seluruh tenaga napasnya yang tersekam. Dan batang pohon di depannya lantas
saja bergoyang-goyang.


"Hai! Bocah tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa mengoyang-goyangkan pohon?


Apa kamu mau menangkap tikus? Kamu harus bisa menggempur musuh dengan
sekali pukulan. Bukan untuk mengitik-ngitik biar kegelian."


Sangaji tertawa menyeringai. Mukanya merah kebiru-biruan karena tercekat
hatinya. Segera ia minta petunjuk-petunjuk.


"Dengar!" kata Gagak Seta. "Sudah kukatakan tadi, kalau aku akan menyulapmu
menjadi tandingan anak siluman Karimun Jawa. Kamu harus sadar, bahwa bakal
isteri-mu itu cerdas otaknya. Bakatnya pun lebih besar daripadamu. Ia
mengenal bermacam-macam ilmu. Gerak-geriknya cekatan. Tapi hanya penuh
gertakan-gertakan belaka. Janganlah kamu sampai kena dipengaruhi. Tunggu
saja, sampai dia memukul benar-benar! Jika pukulannya tiba, nah— papakilah
dengan pukulanmu. Dia pasti kalah."


"Apa hanya itu saja?"


"Apa kau bilang?" bentak orang tua itu. "Sudah kukatakan ia memiliki ilmu
bermacam ragam. Gerak-geriknya, pasti sukar kauduga. Sekali kena pukul, dia
akan bisa membalas dengan ilmu tangkisan yang lain lagi. Sebab yang baru
kaupelajari ini, hanya satu macam ilmu saja. Di kolong langit ini, kamu
akan me-nemukan ratusan macam ilmu sakti."


Sangaji diam merenung-renung. Sekarang ia merasa dirinya kecil. Tadinya ia
mengira, sesudah mendapat ilmu ajaran gurunya rasanya cukup buat bekal
merajai orang. Tak tahunya, ilmu sakti di dunia ini banyak ragamnya.
Pantas, kedua gurunya tak mampu mengalahkan Pringgasakti meskipun dikerubut
empat orang.


"Sekarang yang penghabisan," kata Gagak Seta.


"Sesudah ini, tak mau lagi aku berbicara. Tadi kujelaskan, kalau kamu harus
berusaha menggiring lawan ke suatu pojok tertentu. Jepitlah dia dengan
gerakan-gerakan begitu rupa sampai dia tak mampu bergerak. Kemudian
hantamlah dengan Ilmu Kumayan Jati. Atau tunggu saja lawanmu sampai
memukulmu. Begitu ia memukul, sambutlah ia dengan suatu pukulan pula."


"Jika demikian aku harus bisa bergerak cepat dan sebat," potong Sangaji.
"Tentu saja, tolol!"


Sangaji tertawa geli. Istilah tolol yang diucapkan orang tua itu terlalu
sering, lambat-laun terdengar sedap juga. Bagaikan seorang minta sambal
dalam suatu perjamuan makan.


"Telah kukatakan kepadamu, kalau semua jurus ajaranku berjumlah delapan
belas dan enam ayunan. Pukulan keras ini terbagi menjadi sembilan. Tentu
saja ada perubahan-perubahannya. Setiap jurus aku beri nama, agar
memudahkan ingatanmu yang tolol. Kautahu?"


Sangaji mengangguk.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar